Ada yang
mengirim bunga ada yang membakarnya, Ada yang
menyalakan lilin ada yang memadamkannya, Semuanya tersulut dari mulut
kebencian.
Kemajemukan masyarakat Indonesia
akhir-akhir ini menjadi sebuah pertaruhan dan terus berlanjut pasca PILKADA di
Ibu Kota. Kebencian yang (mungkin) sudah terpendam lama menyeruak dan
menampakkan wajahnya kepermukaan. Masyarakat tergiring pada dua arus utama
kepentingan. Bukan soal itu yang ingin saya tulis. Tapi tentang karangan bunga
dan nyala lilin sampai-sampai manusia diberbagai belahan bumi gaduh. Komentar
bermunculan dari berbagai macam kalangan. Hampir tak ada yang menjadi problem
solver dan kita lebih banyak menemukan nyinyir dibalas nyinyir.
Apa yang ditakutkan dari sebuah
karangan bunga yang tumbuh menjadi ribuan? Apa yang ditakutkan dari sebatang
atau ribuan lilin yang menyala menjelang malam hari? Pertanyaan-pertanyaan ini mesti
dijawab dengan konteks dan rentetan peristiwa bukan dengan nyinyir atau
kebencian yang terpendam. Karangan bunga dan lilin hanya bagian dari varian
gerakan. Boleh jadi masyarakat kita yang tak pernah bersuara dan mengambil
sikap diam mulai sadar dan muak dengan kondisi kebangsaan. Muak dengan
kekerasan dan intimidasi, fitnah dan kebencian, monopoli tafsir dan realitas
kemajemukan.
Tak ada yang aneh dengan aksi kirim
bunga dan menyalakan lilin diberbagai kota. Toh, itu hanyalah varian gerakan pesan
kebangkitan masyarakat tanpa kekerasan. Cobalah kita merunut peristiwa-peristiwa
pembubaran kegiatan bedah buku, seminar, diskusi, lapakan buku, pelarangan
perayaan hari-hari besar keagamaan, pengusiran komunitas tertentu dari
rumah-rumah ibadah. Atau marilah kita menengok kampanye pengkafiran terhadap
komunitas tertentu melalui surat edaran yang dipaksakan dengan stempel pemerintah.
Apakah mereka yang melakukan perlawanan atau pemadaman nyala lilin itu sama
dengan jaringan atau komunitas yang melakukan pembubaran kegiatan-kegiatan
lain? Jika iya, maka hemat saya perlu waspada dan mengorganisir diri sedini
mungkin.
Nyinyir, kebencian dan fitnah yang
terus diproduksi menjalar seperti api yang membakar sesama anak bangsa. Entah
sampai kapan api itu akan menjalar dan membakar dan siapa yang akan memadamkannya.
Ada mulut-mulut yang mengirimkan tangan-tangannya untuk merampas dan membakar
bunga-bunga yang mekar atau untuk memadamkan lilin-lilin yang mulai menyala. Apalagi
perilaku ini (seolah-olah) didukung oleh aparat negara dan organisasi-organisasi
yang memonopoli tafsir atas kebenaran agama.
Jakarta, 15 Mei 2017 ; Pukul 02:59 WIB