Cari Blog Ini

Jumat, 02 Maret 2012

“Aku Lebih Baik Dari Dia”


Mencermati kondisi ke-Indonesia-an kita kekinian sangatlah menyedihkan. Berbagai macam konflik dalam masyarakat baik di akar rumput maupun elit terus bermunculan di permukaan. Konflik antar suku yang terjadi dibeberapa daerah, bentrok antara pendukung kandidat dalam pilkada yang kadang merenggut nyawa, konflik antara ORMAS dengan institusi pemerintahan, ORMAS yang suka main hakim sendiri dalam menyelesaikan konflik, kelompok agama yang satu yang suka menyerang  kelompok agama lain, suatu kelompok agama yang suka mengkafirkan kelompok lain, politikus yang suka menindas, penguasa yang despotik, ulama yang suka “menjilat” pada penguasa, mahasiswa penjilat, ilmuwan yang materialis, negarawan yang falsafahnya karung nasi. 

Manusia yang hadir dizaman modern adalah manusia yang individual [tanpa menggeneralisir] dan itu adalah konsekuensi dari perkembangan zaman yang sangat ganas dan tidak ada filter dalam sebuah masyarakat. jika kita memperhatikan banyak hal yang terjadi dalam masyarakat, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat kita hari ini cenderung pada individualisme dan menganggap dirinya yang paling baik diantara yang lain. 

Dalam Q.S Al.A’raaf [7] ayat 12. Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah."

Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa ungkapan atau kalimat “aku lebih baik dari dia” adalah kalimat yang pertama kali diungkapkan oleh iblis kepada tuhannya untuk membantah penciptaan adam. Konsep aku lebih baik daripada dia adalah konsep yang tidak hanya diterapkan pada individu-individu manusia, tetapi konsep yang dapat diterapkan pada keluarga, kelompok, suku, bangsa, ras dan mazhab pemikiran. Jika seoarang anak manusia mengatakan bahwa dia lebih baik dari manusia yang lain maka pada saat itu juga sebenarnya terjebak dalam kerangka individualisme dan kesombongan, kerangka yang tidak menghasilkan keharmonisan dan keberlanjutan kehidupan dalam alam semesta.

Jika kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menerapkan ungkapan tersebut maka pada dasarnya kita menjatuhkan diri kita dalam jurang kehinaan. Hal yang sangat sederhana tapi rumit ketika kita menganalisis pernyataan yang ada di ayat tersebut karena kita harus mengidentifikasi bagaimana sebenanrnya dan dimana kita bisa mengklasifikasikan ayat tersebut dalam realitas kehidupan bermasyarakat.

Dalam kehidupan kita menyaksikan bahwa para penguasa sering menganggap dirinya paling baik [cerdas, tahu segalanya, mampu dll] dan mengaggap masyarakat itu adalah orang-orang bodoh yang hanya bisa mendengarkan ceramah dari pemerintah. Sehingga yang hadir adalah kebijakan seragam yang tidak memperhatikan keunikan budaya yang ada di indonesia. Contoh yang paling dekat dengan kita adalah para penguasa yang ada di institusi pendidikan. Penguasa yang ada didalamnya tidak melihat peserta didik sebagai manusia yang punya keunikan tersendiri. Peserta didik hanya dilihat sebagai objek yang siap untuk menerima resep-resep dari para penguasa karena mereka menganggap bahwa merekalah yang lebih tahu kebutuhan pendidikan untuk peserta didik. Ini juga sebagai konsekuensi kehidupan di zaman modern yang mana permasalahan individu-individu hanya bisa dipecahkan oleh ilmuwan padahal yang lebih mengetahui kebutuhan individu adalah individu itu sendiri.

Dalam kehidupan juga kita akan menyaksikan para ulama yang berdebat diantara para ulama yang menganggap dirinya lebih hebat dari ulama yang lain sehingga membingungkan masyarakat dari perdebatan mereka dan lahirlah keputusan yang tidak bijak dan tidak adil. Pertentangan pemikiran diantara para ulama yang menghasilkan golongan-golongan yang terkadang pertentangan tersebut tidak dilihat secara arif oleh orang-orang yang mengikuti ulama sehingga yang muncul adalah fanatisme golongan. Fanatisme golongan memunculkan penindasan baru dengan atas nama agama. Fanatisme golongan melahirkan kekakuan cara berpikir dan bertindak dalam kehidupan karena segala sesuatunya sudah dianggap final dan tidak ada lagi perdebatan didalamnya. Padahal dalam keberagamaan para ulama dan kita hanya mengikuti riwayat yang ada dan begitu banyak dan tentunya kita hanya mengikuti riwayat yang kita bisa buktikan secara rasional dan tidak bertentangan antara dalil aqli dan naqli.

Selain itu adalah kaum intelektual yang selalu menganggap dirinya paling mengerti semua permasalahan dan jawaban yang ada dan saling menjatuhkan dengan hujjah-hujjah yang mereka munculkan sehingga yang hadir adalah tidak bertemunya arah pemikiran mereka dalam masyarakat. Di sisi lain muncul golongan intelektual yang bersekongkol dengan kekuasaan, dan ulama untuk melanggengkan penindasan. Hadirnya orang-orang yang notabene punya pengetahuan didalam masyarakat, tetapi pengetahuan tersebut tidak digunakan untuk mengantarkan umat manusia pada pembebasan. Pengetahuan yang dimiliki hanya digunakan untuk memecah belah kaum intelektual itu sendiri dan mengelompokkan diri kedalam berbagai kelompok-kelompok. Pengetahuan yang dimiliki satu kelompok selalu dianggap lebih unggul dari kelompok yang lain dan dari hal itu melahirkan kebencian dalam kehidupan kaum intelektual.   

Problematika lain yang hadir dalam kehidupan kita hari ini adalah menguatnya pandangan yang selalu menganggap dirinya lebih baik dari orang lain. Lebih baik dalam artian selalu menganggap diri, keluarga, keturunan, suku, bangsa, ras dan agamanya yang paling unggul. Dan terciptalah struktur masyarakat yang saling menghancurkan ketika tidak sama pandangannya tentang realitas kehidupan. Konflik kesukuan, konflik keagamaan dan banyak konflik yang lain yang hadir dalam masyarakat dan itu menandakan bahwa pandangan kehidupan bermasyarakat kita masih menatap masa depan yang sangat suram. Manusia indonesia tidak sampai pada persatuan karena yang ditonjolkan adalah perbedaan agama, fikih, kekayaan, suku, ras, jabatan dan ideologi. 

Manusia indonesia hari ini sampai pada persaudaraan di wilayah basyariah, sampai pada persaudaraan di wilayah keyakinan dalam satu agama dan satu mazhab pemikiran akan tetapi tidak sampai pada pandangan bahwa mereka adalah sama-sama anak manusia, dan mereka adalah makhluk ciptaan Tuhan yang berada di alam semesta yang begitu luas. Logika menganggap diri ini yang paling baik adalah mengantarkan kita pada sikap angkuh, hasud, penjilat, dengki, iri hati, dan penyakit hati yang lain. Ketika pandangan kita tentang semesta kemanusiaan tidak pernah sampai maka berharap untuk menjalankan ukhuwah insaniyah juga hal yang mustahil untuk diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat. Alih-alih meneriakkan persatuan umat manusia, tetapi yang sering dipraktekkan adalah despotisme [kesewenang-wenangan] oleh mereka-mereka yang menganggap dirinya paling baik diantara yang lain.

Tamalanrea, 30 RaA 1433 H/23 Februari 2012 M  pukul 23.55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUNGA, LILIN dan MULUT

Ada yang mengirim bunga ada yang membakarnya,  Ada yang menyalakan lilin ada yang memadamkannya,  Semuanya tersulut dari mulut kebencian. ...