Mencermati
kondisi ke-Indonesia-an kita kekinian sangatlah menyedihkan. Berbagai macam
konflik dalam masyarakat baik di akar rumput maupun elit terus bermunculan di
permukaan. Konflik antar suku yang terjadi dibeberapa daerah, bentrok antara
pendukung kandidat dalam pilkada yang kadang merenggut nyawa, konflik antara
ORMAS dengan institusi pemerintahan, ORMAS yang suka main hakim sendiri dalam
menyelesaikan konflik, kelompok agama yang satu yang suka menyerang kelompok agama lain, suatu kelompok agama yang
suka mengkafirkan kelompok lain, politikus yang suka menindas, penguasa yang
despotik, ulama yang suka “menjilat” pada penguasa, mahasiswa penjilat, ilmuwan
yang materialis, negarawan yang falsafahnya karung nasi.
Manusia
yang hadir dizaman modern adalah manusia yang individual [tanpa
menggeneralisir] dan itu adalah konsekuensi dari perkembangan zaman yang sangat
ganas dan tidak ada filter dalam sebuah masyarakat. jika kita memperhatikan
banyak hal yang terjadi dalam masyarakat, maka kita akan sampai pada kesimpulan
bahwa masyarakat kita hari ini cenderung pada individualisme dan menganggap
dirinya yang paling baik diantara yang lain.
Dalam
Q.S Al.A’raaf [7] ayat 12. Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu
untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya
lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau
ciptakan dari tanah."
Dari
ayat diatas dapat dipahami bahwa ungkapan atau kalimat “aku lebih baik dari dia”
adalah kalimat yang pertama kali diungkapkan oleh iblis kepada tuhannya untuk
membantah penciptaan adam. Konsep aku lebih baik daripada dia adalah konsep
yang tidak hanya diterapkan pada individu-individu manusia, tetapi konsep yang
dapat diterapkan pada keluarga, kelompok, suku, bangsa, ras dan mazhab
pemikiran. Jika seoarang anak manusia mengatakan bahwa dia lebih baik dari
manusia yang lain maka pada saat itu juga sebenarnya terjebak dalam kerangka
individualisme dan kesombongan, kerangka yang tidak menghasilkan keharmonisan
dan keberlanjutan kehidupan dalam alam semesta.
Jika
kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menerapkan ungkapan
tersebut maka pada dasarnya kita menjatuhkan diri kita dalam jurang kehinaan. Hal
yang sangat sederhana tapi rumit ketika kita menganalisis pernyataan yang ada
di ayat tersebut karena kita harus mengidentifikasi bagaimana sebenanrnya dan
dimana kita bisa mengklasifikasikan ayat tersebut dalam realitas kehidupan
bermasyarakat.
Dalam kehidupan kita menyaksikan bahwa para penguasa sering menganggap dirinya paling baik [cerdas, tahu segalanya, mampu dll] dan mengaggap masyarakat itu adalah orang-orang bodoh yang hanya bisa mendengarkan ceramah dari pemerintah. Sehingga yang hadir adalah kebijakan seragam yang tidak memperhatikan keunikan budaya yang ada di indonesia. Contoh yang paling dekat dengan kita adalah para penguasa yang ada di institusi pendidikan. Penguasa yang ada didalamnya tidak melihat peserta didik sebagai manusia yang punya keunikan tersendiri. Peserta didik hanya dilihat sebagai objek yang siap untuk menerima resep-resep dari para penguasa karena mereka menganggap bahwa merekalah yang lebih tahu kebutuhan pendidikan untuk peserta didik. Ini juga sebagai konsekuensi kehidupan di zaman modern yang mana permasalahan individu-individu hanya bisa dipecahkan oleh ilmuwan padahal yang lebih mengetahui kebutuhan individu adalah individu itu sendiri.
Dalam
kehidupan juga kita akan menyaksikan para ulama yang berdebat diantara para
ulama yang menganggap dirinya lebih hebat dari ulama yang lain sehingga
membingungkan masyarakat dari perdebatan mereka dan lahirlah keputusan yang
tidak bijak dan tidak adil. Pertentangan pemikiran diantara para ulama yang
menghasilkan golongan-golongan yang terkadang pertentangan tersebut tidak
dilihat secara arif oleh orang-orang yang mengikuti ulama sehingga yang muncul
adalah fanatisme golongan. Fanatisme golongan memunculkan penindasan baru
dengan atas nama agama. Fanatisme golongan melahirkan kekakuan cara berpikir
dan bertindak dalam kehidupan karena segala sesuatunya sudah dianggap final dan
tidak ada lagi perdebatan didalamnya. Padahal dalam keberagamaan para ulama dan
kita hanya mengikuti riwayat yang ada dan begitu banyak dan tentunya kita hanya
mengikuti riwayat yang kita bisa buktikan secara rasional dan tidak
bertentangan antara dalil aqli dan naqli.
Selain
itu adalah kaum intelektual yang selalu menganggap dirinya paling mengerti
semua permasalahan dan jawaban yang ada dan saling menjatuhkan dengan
hujjah-hujjah yang mereka munculkan sehingga yang hadir adalah tidak bertemunya
arah pemikiran mereka dalam masyarakat. Di sisi lain muncul golongan
intelektual yang bersekongkol dengan kekuasaan, dan ulama untuk melanggengkan
penindasan. Hadirnya orang-orang yang notabene punya pengetahuan didalam
masyarakat, tetapi pengetahuan tersebut tidak digunakan untuk mengantarkan umat
manusia pada pembebasan. Pengetahuan yang dimiliki hanya digunakan untuk
memecah belah kaum intelektual itu sendiri dan mengelompokkan diri kedalam
berbagai kelompok-kelompok. Pengetahuan yang dimiliki satu kelompok selalu
dianggap lebih unggul dari kelompok yang lain dan dari hal itu melahirkan
kebencian dalam kehidupan kaum intelektual.
Problematika
lain yang hadir dalam kehidupan kita hari ini adalah menguatnya pandangan yang
selalu menganggap dirinya lebih baik dari orang lain. Lebih baik dalam artian
selalu menganggap diri, keluarga, keturunan, suku, bangsa, ras dan agamanya yang
paling unggul. Dan terciptalah struktur masyarakat yang saling menghancurkan
ketika tidak sama pandangannya tentang realitas kehidupan. Konflik kesukuan,
konflik keagamaan dan banyak konflik yang lain yang hadir dalam masyarakat dan
itu menandakan bahwa pandangan kehidupan bermasyarakat kita masih menatap masa
depan yang sangat suram. Manusia indonesia tidak sampai pada persatuan karena
yang ditonjolkan adalah perbedaan agama, fikih, kekayaan, suku, ras, jabatan
dan ideologi.
Manusia indonesia hari ini sampai pada persaudaraan di wilayah basyariah,
sampai pada persaudaraan di wilayah keyakinan dalam satu agama dan satu mazhab
pemikiran akan tetapi tidak sampai pada pandangan bahwa mereka adalah sama-sama
anak manusia, dan mereka adalah makhluk ciptaan Tuhan yang berada di alam
semesta yang begitu luas. Logika menganggap diri ini yang paling baik adalah
mengantarkan kita pada sikap angkuh, hasud, penjilat, dengki, iri hati, dan
penyakit hati yang lain. Ketika pandangan kita tentang semesta kemanusiaan
tidak pernah sampai maka berharap untuk menjalankan ukhuwah insaniyah juga hal
yang mustahil untuk diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat. Alih-alih
meneriakkan persatuan umat manusia, tetapi yang sering dipraktekkan adalah
despotisme [kesewenang-wenangan] oleh mereka-mereka yang menganggap dirinya
paling baik diantara yang lain.
Tamalanrea, 30 RaA 1433 H/23 Februari 2012 M pukul 23.55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar