Cari Blog Ini

Minggu, 12 Februari 2012

MEMBONGKAR PRIVATISASI DAN BIROKRATISASI AGAMA


Catatan ini kupersembahkan untuk saudara-saudaraku yang ada di fakultas ekonomi yang selalu berjuang atas nama agama,, semoga catatan ini bermanfaat dan menjadi bahan perenungan bersama. Selamat Membaca........





Sejak awal kemunculannya, agama-agama yang ada sampai sekarang dalam hal ini agama samawi, datang dengan wujud yang punya perhatian dan kepedulian yang sangat tinggi atas segala penderitaan dan pembodohan yang menimpa umat manusia di muka bumi ini. Agama senantiasa hadir sebagai respon atas segala penindasan dan kesengsaraan hidup yang terjadi di muka bumi. Agama adalah sebagai anak kandung yang paling sah dari penderitaan. Di sini bisa di artikan bahwa agama dating untuk membebaskan manusia dari segala penjara pembodoha. Sekiranya tidak ada agama yang datang sebagai bahan ekspresi kesenangan dan kenikmatan maka bagaimana kondisi umat manusia. Bahkan, agama terutama agama-agama besar yang pernah ada dan bertahan sampai sekarang merupakan gerakan kritik yang paling telanjang atas upaya penistaan terhadap umat manusia.

Goresan-goresan tinta dalam sejarah telah melukiskan bahwa sejumlah pembawa agama yang justru datang dari golongan masyarakat yang lama terperas dan tertindas dalam perjalananya. Orang-orang atau para Nabi seperti Musa As, Isa As, dan Muhammad SAW sudah dikenal sangat luas sebagai tonggak utama dari gerakan pembelaan dan pembebasan terhadap kelas-kelas masyarakat yang tertindas, suku-suku yang terhina, dan kelompok-kelompok masyarakat yang semakin terdesak ke pinggiran akibat pembodohan yang di lakukan oleh orang-orang cerdas dan licik. Mereka (para nabi) bukan hanya mengorbankan harta bendanya, keluarganya akan tetapi lebih dari itu bahkan mereka harus bertaruh dengan segala macam ancaman kehilangan nyawa. Dalam wilayah penderitaan umat manusia di muka bumi, agama kemudian datang menyuguhkan ajaran-ajaran cinta-kasih sebagai fondasi untuk melawan segala kegetiran dan penderitaan hidup. Di dalam ajaran Kristen, cinta kasih telah menjadi daging dalam diri Kristus. Ajaran dan dogma/doktrin cinta kasih yang menyebar di setiap agama merupakan simpati untuk membela dan membebaskan mereka yang mengalami ketertindasan.

Pembebasan adalah tujuan ajaran dari seluruh agama samawi yang pernah ada sampai sekarang. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW datang untuk melakukan pencerahan terhadap pembodohan yang dilakukan oleh orang-orang cerdas pada saat itu. Agama sangatlah identik dengan kerja-kerja advokasi untuk lapisan manusia yang berada di level paling rendah dalam strata sosial yang sering didiskusikan. Oleh karena itu, sangatlah tepat ketika suatu ungkapan menyatakan bahwa “Janganlah kejar Tuhan ke atas langit, tapi kejarlah Dia di kolong bumi”. Tuhan selalu bersama mereka yang tertindas dan kelaparan. Ungkapan ini secara gamblang hendak menegaskan bahwa agama sebenarnya bukanlah sebuah benda di langit yang sangat terpisah dari kehidupan bumi, melainkan air yang menjadi roh bagi semua kehidupan di bumi. Agama bukanlah hanya memuat resep keselamatan akhirat, melainkan juga keselamatan duniawi. Bahkan lebih dari itu, perhatian utama agama sesungguhnya lebih pada tegaknya keadilan dan kesejahteraan di dunia, baru kemudian disusul dengan keadilan dan kesejahteraan di akhirat. “Dunia akan bertahan dengan keadilan meskipun kafir Dan tidak akan bertahan dengan kezaliman meskipun islam” (Imam Ali).

Begitulah penjelasan yang ditemukan ketika orang menelaah buku-buku sejarah agama yang pernah ditulis umat manusia. Akan tetapi, akhir-akhir ini kita sering menyaksikan fenomena-fenomena ketercerabutan agama dari akar sejarah dan khitah awal kehadirannya. Agama sudah cenderung menjadi milik pribadi para elite agama dan tidak merakyat atau bukan lagi milik kelas awam. Kitab suci yang ada di dalam setiap agama sudah tidak lagi menjadi bacaan hati nurani rakyat, melainkan menjadi bacaan akademis kaum agamawan. Warga awam sudah sangat sedikit memiliki akses langsung terhadap kitab suci. Aturan-aturan teknis tata bahasa yang begitu ketat di dalam membaca kitab suci atau goresan-goresan tinta di atas kertas menyebabkan kitab suci itu semakin jauh dari umat awam, tapi sebaliknya semakin melekat kuat/melengket dengan kaum agamawan yang akademis.

Peluang kaum awam untuk membaca kitab suci yang ada telah tertutup dengan adanya ketentuan-ketentuan hasil kreasi kaum agamawan itu. Agama dengan kitab sucinya, tak bisa disangkal lagi, telah sempurna menjadi milik para elite baru di agama. Padahal agama Kristen pada era Isa As, Islam pada era Muhammad SAW adalah agama yang sangat merakyat, dan jauh dari kesan elitis. Agama mengalami privatisasi justru pada era awal formatifnya. Nabi Muhammad SAW dan Nabi Isa As tidak pernah bersabda bahwa agama Islam dan Kristen adalah properti pribadi mereka, melainkan milik seluruh umat manusia. Fenomena birokratisasi agama terasa semakin mengganggu setiap umat beragama untuk terus berkreasi dan berinovasi. Agama sudah sangat birokratis. Padahal, Islam pada masa awal kehadirannya adalah agama yang sangat praktis.

Masalah ritual-ritual peribadatan, upacara-upacara keagamaan yang sangat spektakuler telah mengaburkan konsep ajaran paling konkret dalam agama, membantu mereka yang tertindas/kaum mustadafin. Kita semua dapat menyaksikan fenomena-fenomena di setiap acara keagamaan misalnya: Idul Fitri, Natal, Paskah, dan perayaan-perayaan lain yang sangat spektakuler tapi sangat kering akan makna. Keselamatan telah dibelokkan hanya kepada keselamatan akhirati. Sehingga penderitaan hidup di dunia tidaklah mengapa karena sudah digantikan dengan keselamatan akhirat yang abstrak bahkan terlampau semu itu yang sering dikhotbahkan. Coba kita perhatikan para pendakwah agama disetiap masjid-masjid khususnya pada saat shalat Jum’at yang kebanyakan hanya fasih berbicara tentang janji-janji kesenangan eskatologis atau hari akhir, tetapi tidak mencoba untuk memberikan solusi konkrit bagi pemecahan masalah-masalah menuju kesenangan dan keselamatan duniawi. Tapi yang diberikan adalah solusi-solusi moral,akhlak, ataupun etika yang sangat kecil pengaruhnya sebagai perubahan pandangan hidup pada saat ini. Kaum awam yang termiskinkan hanya diminta untuk bersabar dan bersabar karena Tuhan akan memberikan kebahagiaan bagi mereka di akhirat sebagai balasan atas penderitaannya di dunia yang penuh limpahan materi ini. Apakah ini yang harus di jalankan???

Pengarahan agama ke arah hukum yang legal-formalistik seperti hukum positive buatan manusia sudah tampak makin menguat di kalangan umat Islam. Islam sudah menjadi rangkaian aturan hukum yang dikawal oleh sejumlah kaum agamawan yang sangat formalistik. Kecenderungan sebagian umat Islam yang sangat bernafsu dan memaksakan melakukan formalisasi syariat Islam adalah salah satu indikator yang harus di baca semua kaum tertindas. Syariat Islam yang ditampilkannya pun berupa syariat-syariat yang sangat privat. Dan di sini Islam seakan-akan hanya memuat ajaran-ajaran hukum yang sangat kaku. Islam sebagai agama kerap kali keji, yang memerintah untuk menghancurkan orang lain yang berbeda dengan mereka. Seolah-olah sudah tidak ada kerangka etika-moral yang menjadi payung utama sebagai pelindung dari seluruh gerak perjuangan Islam. Perhatian Islam terhadap penegakan keadilan, kemakmuaran, lingkungan hidup di muka bumi ini, dan lain-lain sudah mulai di lupakan sebagai syariat Islam.

Agama selalu diidentikkan dengan kitab suci yang harus dipedomani dalam keseharian pemeluknya, dan hal inilah kaum awam akan memandang bahwa agama telah terpenjara di dalam teks. Agama bukanlah hal yang hanya disederhanakan menjadi perkara teks semata, sebab teks dalam agama sesungguhnya sekunder yang berfungsi sebagai pelengkap atas kerja-kerja kemanusiaan yang diusungnya. Di luar teks suci yang dipahami kaum agamawan yang akademis tidak ada sentrum kebenaran atau Tidak dibenarkan ada ajaran-ajaran di luar teks suci agama. Agama lalu terbelenggu atau terpenjara dalam teks-teks atau goresan-goresan yang diterjemahkan tanpa makna, dan belum bisa keluar dari jeruji penjara teks itu. Agama telah diposisikan sebagai cetak biru yang kukuh dalam bangunan teks yang menjulang tingi kelangit, sehingga tidak ada pembenaran untuk seorang pun bekerja di luar bingkai itu. 

Kalau, melihat contoh kasus, Islam datang dan dibawa pada zaman Nabi Muhammad SAW sama sekali bukanlah agama yang senantiasa sibuk mengurusi dan memperbincangkan tentang teks atau gorean-goresan tinta. Karena yang penting dalam Islam bukanlah penafsiran teks yang sangat dangkal, tapi perhatian dan keseriusan dalam membela mereka yang tertindas dan terlantar. Kita pahami bahwa persoalan teks tidak menjadi diskursus yang dominan dalam perbincangan Muhammad SAW bersama para sahabatnya yang tetap berada dijalan-Nya (bukan para pengkhianat). Agama yang dipahami terbatas pada konteks teks itu sangatlah lemah, tapi yang terpenting sebenarnya adalah bagaimana menafsirkan teks ke konteks bukan konteks ke teks. Setiap umat beragama harus merefleksikan dan berjuang mengembalikan agama pada semangat awal kehadirannya sebagai agama yang memiliki fokus utama pada ajaran penebaran kasih pada seluruh umat manusia di muka bumi tanpa kecuali. Agama pada masa kini harus segera diselamatkan dari formalisme dan birokratisme yang telah lama memenjarakannya.

Agama sebenarnya mengandung doktrin dan ajaran keselamatan yang sama sekali jauh dari kesan birokratis yang sangat formal. Agama sudah sepantasnya tidak tersandera di tangan-tangan para elite-elite baru di agama. Agama bukanlah hal yang harus terjatuh dan hanya menjadi milik pribadi para agamawan akademis yang sangat terpenjara pada teks. Oleh karena itu, setiap umat manusia, karena kedudukannya sama di mata Tuhan sudah selayaknya untuk melakukan pembongkaran terhadap upaya-upaya privatisasi dan pemenjaraan agama melalui birokrasi formal yang sangat kaku dan mengekang pilihan-pilihan jalan yang akan dilalui oleh tiap umat manusia.


(Pernah dipublikasikan di fb, 12 Mei 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUNGA, LILIN dan MULUT

Ada yang mengirim bunga ada yang membakarnya,  Ada yang menyalakan lilin ada yang memadamkannya,  Semuanya tersulut dari mulut kebencian. ...