Cari Blog Ini

Minggu, 04 Maret 2012

Falsafah Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara Mieno Wuna















Hansuru-hansuru mbadha, sumano konohansuru liwu
(hancur-hancurlah badan, asalkan kampung tidak hancur)
Hansuru-hansuru liwu, sumano konohansuru adhati
(hancur-hancurlah kampung, asalkan adat istiadat tidak hancur)
Hansuru-hansuru adhati, sumano konohansuru agama
(hancur-hancurlah adat istiadat, asalkan agama tidak hancur)
 
Kalimat-kalimat diatas adalah kalimat yang pernah diajarkan kepada saya. Saya lupa siapa yang pertama kali mengajarkannya, apakah  orang tua kandung, kakek atau nenek saya. Yang jelas bahwa kalimat-kalimat diatas tidak pernah penulis diajarkan dibangku sekolah formal dari TK-SMA walaupun dari SD-SMP belajar mata pelajaran muatan lokal. Ungkapan-ungkapan yang begitu indah tapi kemungkinan sudah hilang dari masyarakat. Lunturnya pengetahuan tentang falsafah kehidupan mieno wuna tersebut tidak terlepas dari kurangnya peran keluarga, pendidikan formal dan pemerintah daerah  dalam mengajarkan apa yang sebenarnya menjadi pegangan dalam kehidupan bermasyarakat yang menjadi warisan kehidupan pada zaman kehidupan kerajaan. 

Hancurnya tatanan kehidupan dalam masyarakat Muna hari ini sebagai akibat dari tinggalkannya falsafah kehidupan yang ada dan menjadi warisan budaya dalam masyarakat Muna. Entah falsafah itu dituangkan secara tertulis atau tidak. Kenyataan yang harus disaksikan oleh generasi muda adalah berantakannya kehidupan dalam pemerintahan, masyarakat dan keluarga. Kecenderungan masyarakat kota dalam kehidupan individualis mulai juga merasuki masyarakat pedesaan. Dikala masyarakat sudah terjebak pada logika kehidupan materialisme pada saat itu juga sebenarnya kita akan menjemput kehancuran daerah.

Para pemimpin yang hadir di daerah baik legislatif, eksekutif dan yudikatif tidak lagi memegang prinsip kehidupan yang ada dalam masyarakat yang biasa kita menyebutnya kearifan lokal. Indikator tidak dipegangnya lagi kearifan lokal itu adalah orientasi pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan adalah untuk mencari pelayanan terhadap diri sendiri, keluarga dan kelompoknya sehingga fenomena yang kita saksikan adalah APBD kebanyakan lari untuk membiayai hal-hal yang tidak perlu di lakukan. 

Munculnya pembangunan gelanggang olahraga dengan melakukan penimbunan laut, munculnya pembangunan gedung PEMKAB dan DPRD yang baru, munculnya pembangunan gedung-gedung baru, munculnya rumah jabatan bupati yang begitu mewah, habisnya kas daerah pada saat pergantian kepala daerah, dan tentunya masih ada juga hal lain yang tidak dipahami sama masyarakat. Hancurnya hutan jati di semua wilayah kabupaten Muna, hancurnya jalan raya yang hampir disemua di wilayah kabupaten Muna, pemotongan gaji pegawai yang tidak jelas arahnya, mutasi pejabat yang tidak jelas arahnya dan cenderung merugikan para pegawai sebagai korban perpolitikan busuk para bajingan dan elit daerah.

Jika dalam falsafah diatas di ungkapkan bahwa “hansuru-hansuru mbhadha, sumano konohansuru liwu”, tapi kenyataan adalah daerah sudah menuju kehancuran tetapi para elitnya terus menikmati hasil pajak masyarakat dan uang yang bersumber dari penjualan hasil sumber daya alam daerah. Dan merekalah (pejabat, keluarga, dan kelompoknya) yang menikmati semuanya, sedangkan masyarakat terus mengalami kesengsaraan. 

Jika dalam falsafah diungkapkan bahwa “hansuru-hansuru liwu, sumano konohansuru adhati”. Kenyataan bahwa kampung sudah menjalani proses penghancuran dan adat-istiadat dalam masyarakat juga sudah mulai ditinggalkan sebagai hukum yang tidak tertulis dan kecenderungan kita pada adat budaya modern yang berlandaskan pada logika materialisme dan inilah yang dipegang oleh para elit daerah.

Jika dalam falsafah diungkapkan bahwa “hansuru-hansuru adhati, sumano konohansuru agama”, kenyataan bahwa adat istiadat sudah mulai luntur dari masyarakat dan agama tidak lagi menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pertanyaan sederhana bagi generasi muda adalah apakah kita masih memegang falsafah kehidupan yang dimiliki oleh daerah Muna? 

Jika agama menjadi sesuatu yang terpenting dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, maka agama sekarang hanya menjadi sebuah ritual dan penuh ibadah tanpa makna. Agama yang hadir adalah agama yang sudah tercerabut dari akar-akarnya, agama hanya sebagai simbolitas untuk mencapai kepentingan pribadi. Agama hanya hadir sebagai hukum yang kaku yang tidak ada kritik didalamnya, dan ketika tidak ada kritik didalamnya maka pada saat itu menegakkan semua mitos kehidupan tentang agama.

Falsafah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diwariskan oleh para pendahulu kita sebagai bentuk kearifan lokal telah diputarbalikkan oleh generasi mudanya. Generasi muda telah larut dalam glamour kehidupan modern dan melupakan identitasnya sebagai mieno wuna yang datang dengan kearifan tersendirinya. Generasi muda mieno wuna kecenderungannya lebih suka budayanya orang, budaya yang tidak berasal dari masyarakatnya sendiri dan akhirnya menjadi sebuah kebablasan dalam kebudayaan masyarakat Muna.  

Falsafah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dipegang oleh mieno wuna hari ini adalah :
Hansuru-hansuru agama, sumano konohansuru adhati
(hancur-hancurlah agama, asalkan adat istiadat tidak hancur)
Hansuru-hansuru adhati, sumano konohansuru liwu
(hancur-hancurlah adat istiadat, asalkan kampung tidak hancur)
Hansuru-hansuru liwu, sumano konohansuru mbhadha.
(hancur-hancurlah kampung, asalkan badan tidak hancur)

Falsafah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagian mieno wuna telah berubah. Jika warisan para leluhur menempatkan agama sebagai puncak dari kearifan lokal dan badan sebagai sesuatu yang rendah dan hina dan tidak begitu penting, maka generasi muda mieno wuna hari ini menempatkan agama sebagai kearifan yang rendah dan badan yang material sebagai puncak dari kearifan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kenyataanlah yang akan mengantarkan pada kita untuk memahami bahwa falsafah itu memang telah diputarbalikkan. Pemutarbalikkan itu telah dimulai dari para elit daerah. Mereka telah mendudukkan kekuasaannya untuk mencapai segala kepentingan individu, keluarga maupun kelompoknya. Mereka telah membangun penguasaannya terhadap masyarakat dengan despotisme. Falsafah kehidupan yang diwariskan para leluhur kita pada saat itu adalah untuk meruntuhkan despotisme manusia dan menempatkan agama pada puncak kearifan bukan malah sebaliknya..

Tamalanrea-Makassar, 13 Februari 2012 / 20:34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUNGA, LILIN dan MULUT

Ada yang mengirim bunga ada yang membakarnya,  Ada yang menyalakan lilin ada yang memadamkannya,  Semuanya tersulut dari mulut kebencian. ...