Hansuru-hansuru mbadha, sumano konohansuru liwu
(hancur-hancurlah
badan, asalkan kampung tidak hancur)
Hansuru-hansuru liwu, sumano konohansuru adhati
(hancur-hancurlah kampung,
asalkan adat istiadat tidak hancur)
Hansuru-hansuru adhati, sumano konohansuru agama
(hancur-hancurlah
adat istiadat, asalkan agama tidak hancur)
Kalimat-kalimat
diatas adalah kalimat yang pernah diajarkan kepada saya. Saya lupa siapa yang
pertama kali mengajarkannya, apakah
orang tua kandung, kakek atau nenek saya. Yang jelas bahwa
kalimat-kalimat diatas tidak pernah penulis diajarkan dibangku sekolah formal
dari TK-SMA walaupun dari SD-SMP belajar mata pelajaran muatan lokal.
Ungkapan-ungkapan yang begitu indah tapi kemungkinan sudah hilang dari
masyarakat. Lunturnya pengetahuan tentang falsafah kehidupan mieno wuna tersebut tidak terlepas dari
kurangnya peran keluarga, pendidikan formal dan pemerintah daerah dalam mengajarkan apa yang sebenarnya menjadi
pegangan dalam kehidupan bermasyarakat yang menjadi warisan kehidupan pada
zaman kehidupan kerajaan.
Hancurnya
tatanan kehidupan dalam masyarakat Muna hari ini sebagai akibat dari
tinggalkannya falsafah kehidupan yang ada dan menjadi warisan budaya dalam
masyarakat Muna. Entah falsafah itu dituangkan secara tertulis atau tidak.
Kenyataan yang harus disaksikan oleh generasi muda adalah berantakannya
kehidupan dalam pemerintahan, masyarakat dan keluarga. Kecenderungan masyarakat
kota dalam kehidupan individualis mulai juga merasuki masyarakat pedesaan.
Dikala masyarakat sudah terjebak pada logika kehidupan materialisme pada saat
itu juga sebenarnya kita akan menjemput kehancuran daerah.
Para
pemimpin yang hadir di daerah baik legislatif, eksekutif dan yudikatif tidak
lagi memegang prinsip kehidupan yang ada dalam masyarakat yang biasa kita
menyebutnya kearifan lokal. Indikator tidak dipegangnya lagi kearifan lokal itu
adalah orientasi pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan adalah untuk
mencari pelayanan terhadap diri sendiri, keluarga dan kelompoknya sehingga
fenomena yang kita saksikan adalah APBD kebanyakan lari untuk membiayai hal-hal
yang tidak perlu di lakukan.
Munculnya
pembangunan gelanggang olahraga dengan melakukan penimbunan laut, munculnya
pembangunan gedung PEMKAB dan DPRD yang baru, munculnya pembangunan
gedung-gedung baru, munculnya rumah jabatan bupati yang begitu mewah, habisnya
kas daerah pada saat pergantian kepala daerah, dan tentunya masih ada juga hal
lain yang tidak dipahami sama masyarakat. Hancurnya hutan jati di semua wilayah
kabupaten Muna, hancurnya jalan raya yang hampir disemua di wilayah kabupaten Muna,
pemotongan gaji pegawai yang tidak jelas arahnya, mutasi pejabat yang tidak
jelas arahnya dan cenderung merugikan para pegawai sebagai korban perpolitikan
busuk para bajingan dan elit daerah.
Jika
dalam falsafah diatas di ungkapkan bahwa “hansuru-hansuru mbhadha, sumano konohansuru liwu”, tapi kenyataan adalah daerah sudah
menuju kehancuran tetapi para elitnya terus menikmati hasil pajak masyarakat
dan uang yang bersumber dari penjualan hasil sumber daya alam daerah. Dan
merekalah (pejabat, keluarga, dan kelompoknya) yang menikmati semuanya,
sedangkan masyarakat terus mengalami kesengsaraan.
Jika
dalam falsafah diungkapkan bahwa “hansuru-hansuru liwu, sumano konohansuru adhati”. Kenyataan bahwa kampung sudah
menjalani proses penghancuran dan adat-istiadat dalam masyarakat juga sudah
mulai ditinggalkan sebagai hukum yang tidak tertulis dan kecenderungan kita
pada adat budaya modern yang berlandaskan pada logika materialisme dan inilah
yang dipegang oleh para elit daerah.
Jika
dalam falsafah diungkapkan bahwa “hansuru-hansuru adhati, sumano konohansuru agama”, kenyataan bahwa adat istiadat sudah
mulai luntur dari masyarakat dan agama tidak lagi menjadi pedoman kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pertanyaan sederhana bagi generasi muda
adalah apakah kita masih memegang falsafah kehidupan yang dimiliki oleh daerah Muna?
Jika
agama menjadi sesuatu yang terpenting dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara, maka agama sekarang hanya menjadi sebuah ritual dan penuh ibadah
tanpa makna. Agama yang hadir adalah agama yang sudah tercerabut dari
akar-akarnya, agama hanya sebagai simbolitas untuk mencapai kepentingan
pribadi. Agama hanya hadir sebagai hukum yang kaku yang tidak ada kritik
didalamnya, dan ketika tidak ada kritik didalamnya maka pada saat itu
menegakkan semua mitos kehidupan tentang agama.
Falsafah
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diwariskan oleh para
pendahulu kita sebagai bentuk kearifan lokal telah diputarbalikkan oleh
generasi mudanya. Generasi muda telah larut dalam glamour kehidupan modern dan
melupakan identitasnya sebagai mieno wuna
yang datang dengan kearifan tersendirinya. Generasi muda mieno wuna kecenderungannya lebih suka budayanya orang, budaya yang
tidak berasal dari masyarakatnya sendiri dan akhirnya menjadi sebuah kebablasan
dalam kebudayaan masyarakat Muna.
Falsafah
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dipegang oleh mieno wuna hari ini adalah :
Hansuru-hansuru agama, sumano konohansuru adhati
(hancur-hancurlah
agama, asalkan adat istiadat tidak hancur)
Hansuru-hansuru adhati, sumano konohansuru liwu
(hancur-hancurlah
adat istiadat, asalkan kampung tidak hancur)
Hansuru-hansuru liwu, sumano konohansuru mbhadha.
(hancur-hancurlah
kampung, asalkan badan tidak hancur)
Falsafah
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagian mieno wuna telah berubah. Jika warisan para leluhur menempatkan
agama sebagai puncak dari kearifan lokal dan badan sebagai sesuatu yang rendah
dan hina dan tidak begitu penting, maka generasi muda mieno wuna hari ini menempatkan agama sebagai kearifan yang rendah
dan badan yang material sebagai puncak dari kearifan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kenyataanlah yang akan mengantarkan
pada kita untuk memahami bahwa falsafah itu memang telah diputarbalikkan.
Pemutarbalikkan itu telah dimulai dari para elit daerah. Mereka telah
mendudukkan kekuasaannya untuk mencapai segala kepentingan individu, keluarga
maupun kelompoknya. Mereka telah membangun penguasaannya terhadap masyarakat
dengan despotisme. Falsafah kehidupan yang diwariskan para leluhur kita pada
saat itu adalah untuk meruntuhkan despotisme manusia dan menempatkan agama pada
puncak kearifan bukan malah sebaliknya..
Tamalanrea-Makassar, 13 Februari 2012 / 20:34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar