Sudah
menjadi hal yang lumrah dalam sebagian masyarakat muna untuk merayakan
hari-hari penting dalam kehidupan mereka terutama masalah keagamaan. Tradisi
turun temurun itu telah dijaga dalam setiap keluarga yang ada dalam masyarakat.
Tradisi yang susah dipahami oleh nalar manusia modern karena cerita yang penuh mistis
dalam setiap perayaan terus dijalankan tanpa peduli dengan cemoohan generasi
muda modern yang sudah belajar agama jauh-jauh dan mereka terkadang
menganggapnya sebagai bid’ah, haram, sesat, atau kafir dan segala macam
penghukumannya.
Tradisi
baca-baca atau peringatan itu biasanya dilakukan pada malam 27 Rajab (Isra
Mir’aj), malam 15 Syaban yang disebut dengan Nifsyu Syaban (jawaban lain adalah
kelahiran Imam Mahdi), 1 Ramadhan (Awal Puasa), 15 Ramadhan (Malam Qunut), 17
Ramadhan (Turunnya Al Qur’an), untuk 21-29 ramadhan (Lailatul Qadr) lebih
banyak melakukan doa’ sendiri tanpa ada baca-baca tapi makanan tetap disediakan
dalam rumah dan tidak boleh dihabiskan, id’ fitri, 6 syawal, id’ adha, 10 Muharram, 12-17 rabiul awal (Pekan Maulid
Nabi),. Itulah tradisi untuk mengenai hari-hari besar dalam Islam. Sedangkan
tradisi lain adalah baca-baca ketika habis panen, Aqiqah Anak, Pengislaman
Anak, setiap akhir tahun mata pelajaran bagi anak-anak yang sekolah, memasuki
rumah baru yang ditinggali, pernikahan, ketika seseorang dari anggota keluarga
akan pergi di luar kampung halamannya untuk pertama kalinya, hari ke tiga, ke
tujuh, 20 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dan tiap malam jum’at setelah
tujuh hari sampai masuk pada hari ke 100 meninggalnya bagi seseorang.
Doa’
sebagai salah satu sarana untuk meminta/memohon kepada Tuhan begitu kuat
pengaruhnya dalam kehidupan setiap umat manusia. Doa’ sebagai alat pengakuan
akan kelemahan umat manusia dan kebergantungannya kepada tuhan telah menjadi
nikmat tersendiri. Nikmat islam yang hadir dalam masyarakat telah menyatu dalam
tradisi keislaman yang kemudian menjadi nikmat tersendiri. Ekspresi terhadap
doa’ kepada Tuhan yang dilakukan dapat berbentuk akhlak yang baik dan
pengabdian yang sering dilakukan oleh masyrakat. Jika masyarakat mempercayai
kekuatan doa’ maka itulah jalan untuk memadukan antara permintaan kepada Tuhan
dan ikhtiarnya sendiri terhadap segala aktivitas masyarakat.
Tradisi
peringatan hari-hari besar dalam islam selalu diisi dengan acara “baca-baca”
yang dipimpin oleh seorang Imam desa/kampung/dusun. Imam besar biasa dipanggil
dengan gelar modhi kamokula, wakil imam besar biasa dipanggil dengan gelar
modhi anahi. Imam besar dan wakilnya, pada waktu khusus mereka biasa bertugas
untuk memimpin ibadah di masjid tua [masigino wuna] peninggalan kerajaan muna
yang menjadi masjid kabupaten. Modhino desa [imam desa], modhino dusun [imam
dusun] atau hatibi [khatib] mereka berperan di desa-desa yang diangkat
berdasarkan sistem penunjukkan langsung dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dan
mereka berperan sebagai sistem dewan syara [dewan agama] dalam masyarakat.
Kembali
pada pembahasan tradisi peringatan hari-hari penting dalam kehidupan setiap
keluarga. Dalam tradisi baca-baca itu selalu tersedia makanan [biasa disebut
haroa dan tidak bisa disamakan dengan sesajen] yang disediakan dalam bhosara
yang biasanya dilapisi daun pisang sebelum ditempatkan aneka makanan khas
buatan tuan rumah. Bhosara sebagai tempat nasi biasa selalu ditutupi dengan
kain kerudung yang harus berwarna putih.
Dalam
baca-baca itu biasanya imam akan memulainya dengan pertanyaan “daebhasagho
ohae bhe ohaeno sokamesalontomu nekakawasa [kita mau membacakan apa dan apa
permintaannya/hajatnya kita kepada Tuhan” kemudian tuan rumah akan
menjawab “daebasa daesalogho nekakawasa [nama hajat; kaghosa, naolalesa radhakii,
naewanta umuru, dll] (kita baca-baca untuk meminta hajat kepada Tuhan seperti
kekuatan, kesehatan, keluasan rejeki, panjang umur dll)” kemudian sang
Imam melanjutkan dengan penyampaian mulai dari tuan rumah sampai kepada
khalayak yang hadir dengan kalimat “atumandamo aebhasa pada inia/abhasaemo pada
[saya sudah akan mulai membaca/saya baca ini]” kemudian dijawab oleh
keluarga dan khalayak yang hadir dengan kalimat “umbe [ya]” sebagai
isyarat bahwa semua orang sudah paham dan semua orang yang hadir untuk
menundukkan hati dan pikiran dan fokus pada bacaan-bacaan sang Imam.
Setelah
itu Imam akan mulai dengan bacaan Syahadat dan istighfar yang kemudian dilanjutkan
dengan bacaan Al qur’an yang biasanya surah YaaSiin kemudian dilanjutkan dengan
bacaan Tasbih, Tahmid, Tahlil, dan Takbir yang biasanya dibaca masing-masing
100 kali bahkan masing-masing bisa sampai 1000 kali. Kemudian dilanjutkan
dengan membaca Doa’ dan dalam doa’ itu biasanya dibaca doa’ tolak bala dan doa’
permohanan rahmat atau hajat yang diinginkan dan doa’ untuk keluarga yang sudah
pergi jauh, keluarga yang tidak hadir dan untuk arwah keluarga yang sudah
meninggalkan dunia fana’. Kemudian sang imam akan menyentuh tempat nasi dan
membacakan doa’ agar makanan itu menjadi berkah bagi keluarga dalam rumah itu.
Kemudian sebagai penutup dalam doa’ itu adalah membaca surah Al fatihah dan
dilanjutkan dengan salam-salaman dengan semua orang yang hadir dalam acara itu.
Pada
akhirnya tradisi itu sebagai sebuah jalan bagi keluarga atau masyarakat muna
untuk menjadi penyatu masyarakat, tradisi untuk berbagi dan saling mendoakan
dan tradisi yang punya makna tersendiri bagi keluarga atau masyarakat muna.
Inilah sebagian dari kearifan lokal yang kemudian beradaptasi dengan tradisi
islam untuk menunjukkan bahwa islam itu
tidak bertentangan dengan budaya itu, yang terpenting adalah tujuannya hanya
kepada Allah SWT. Seberapa kuatpun nalar manusia modern yang terkadang datang
dan menghujat bahwa tradisi ini adalah tradisi jahiliyah, bid’ah, kafir, sesat
dan segala macamnya tidak akan mampu menelaah lebih jauh apa yang terkandung
didalamnya apabila tidak pernah merenungkannya lebih dalam.
Lakanaha, 14
Rajab 1433/4 Juni 2012
Pukul 07:12 WITA
Yang mau punya bisnis sampingan dengan modal kecil dan cara yang simple silakan buka link:
BalasHapusgoo.gl/D6nQLZ