Kenapa kita menolak peradaban dan perkembangan
ilmu pengetahuan?? kemajuan peradaban modern dan perkembangan ilmu pengetahuan
yang begitu pesat akan berhadapan dengan manusia-manusia yang anti kemajuan dan
itu terjadi dalam beberapa kelompok masyarakat baik secara terbuka atau
terang-terangan. Bahkan boleh jadi diri kita juga secara diam-diam adalah menjadi
bagian dari orang yang secara totalitas menolak kemajuan peradaban dan
pengetahuan di zaman ini. Penolakan ini justru terjadi dalam dunia kampus yang
terus dikampanyekan secara terbuka oleh mereka-mereka yang berlagak lebih cerdas dari yang lain atau oleh
mereka-mereka yang secara gelagat mengklaim diri menjadi penafsir dan pemilik
tunggal “kebenaran” yang tanpa melalui mereka orang lain tidak diizinkan untuk
berbicara tentang “kebenaran”.
Propaganda manusia-manusia anti
peradaban dan kemajuan pengetahuan telah melahirkan manusia-manusia yang hampir
tidak memiliki daya kritis alias mandul. Melahirkan manusia-manusia yang secara
kejiwaan berjalan diatas keangkungan dan menaruh kebencian terhadap yang lain
yang sewaktu-waktu dapat meledak menjadi perang dan melahirkan manusia-manusia
yang buta dan tunduk terhadap Propaganda penjajahan. Propaganda ini telah
menjadi dogma yang secara turun temurun menjadi hal yang tidak perlu pertanyaan
dan jawaban didalamnya. Dan anehnya dogma dan propaganda ini telah
diinstitusikan menjadi sebuah organisasi.
Dilarangnya orang-orang untuk
mengembangkan daya pikir kritis dan analisis rasional, membaca buku apa saja
yang bisa memberikan informasi yang lebih banyak, larangan perlawanan terhadap
para penguasa yang zalim, larangan untuk berdiskusi dengan berbagai macam
kelompok masyarakat, larangan untuk tidak terlibat aktif dalam berbagai macam
organisasi, larangan untuk membeli buku-buku penerbit tertentu, larangan untuk
berdiskusi yang dianggap hal-hal sensitif dalam permasalahan agama dan seruan
untuk melawan secara fisik orang-orang yang mengembangkan budaya berpikir
kritis dan menyerang paham anti peradaban dan kemajuan. Seruan ini di dalam
semua dimensi kehidupan kita telah menciptakan manusia-manusia hampa yang tidak
punya rasionalitas dan hati nurani. Siapa yang diuntungkan? Tentunya para
penjajah.
Kalau masyarakat barat menggunakan
logika, filsafat, budaya dan ilmu-ilmu rasional lainnya untuk membangun
peradaban dan masuk menjajah masyarakat-masyarakat dunia ketiga dalam semua
dimensi kehidupannya, kita masih berdebat dan berkelahi untuk menentukan siapa
yang kafir, sesat, bid’ah, murtad, masuk surga atau neraka, halal darahnya, yang
mana shahih atau tidak, dapat pahala atau tidak, siapa yang berhak menafsirkan
kebenaran tunggal. Itulah yang sering dipropagandakan daripada membicarakan dan
bertindak bagaimana membangun peradaban dan pengetahuan yang tidak menentang
kebenaran, kemanusiaan dan keadilan yang tentunya dengan menggunakan logika,
filsafat, budaya, teknologi dan ilmu-ilmu rasional lainnya sebagaimana mereka
menggunakan hal itu untuk menjajah. Ilmu-ilmu itu digunakan dalam seluruh
dimensi kehidupan masyarakat tentu sebagai alat untuk melawan penjajahan serta
melibatkan seluruh komponen masyarakat untuk bangkit dan keluar dari dogma,
bangun dari tidur panjangnya, dan keluar dari janji-janji pembangunan peradaban
dan pengetahuan yang dipropagandakan oleh para penajajah.
Gerakan manusia-manusia anti peradaban
yang muncul dalam kelompok-kelompok kecil sebenarnya merupakan perpanjangan
tangan dari para penjajah. Mereka hanya menjadi musuh-musuh kecil bagi setiap
mereka yang masih menjunjung tinggi rasionalitas. Ketika masyarakat yang
berjalan diatas rasionalitasnya yang ditopang oleh cara berpikir kritis
tentunya ini menjadi ancaman bagi para penjajah. Nah, dari hal inilah mereka
membutuhkan manusia-manusia yang bisa mewujudkan keinginan-keinginan para
penjajah dengan membangun dogma dalam masyarakat yang terus menjadi belenggu
untuk membangun peradaban yang sejalan dengan kebenaran, keadilan dan
kemanusiaa. Gerakan anti peradaban ini menjadi musuh sebenarnya bagi masyarakat
yang mau melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Itulah orang-orang bodoh
yang mengaku cerdas, beriman dan merepresentasikan dirinya sebagai wakil
masyarakat dan simbolitas kebenaran tunggal yang merusak masyarakat. Secara
sadar atau tidak mereka telah menjadi bagian dari para penjajah yang
menghancurkan kebenaran, kemanusiaan dan keadilan.
Apa yang kita bisa lakukan? Berdiam
diri bukan jawaban karena kita juga akan menjadi bagian dari manusia-manusia
anti peradaban. Menerima pandangan mereka secara keseluruhan berarti kita
menerima penjajahan yang mereka lakukan. Salah satu hal yang dibangun dari kita
adalah tradisi berpikir kritis dan inklusif di generasi muda. Selain itu
kemampuan kita menentukan siapa musuh bersama akan mengantarkan kita untuk
konsisten dalam perjuangan. Dalam pandangan saya musuh besar kita adalah
mereka-mereka yang menjadi aktor tunggal atau pengendali secara keseluruhan
dalam setiap propaganda anti peradaban dan kemajuan yang ada. Kita terlalu
banyak disibukkan dalam permasalahan kecil yang dikirimkan oleh mereka-mereka
yang berkepentingan untuk menjajah yang memalingkan kita untuk mengidentifikasi
para penjajah sebenarnya. Sudah menjadi hal umum bahwa setiap kelompok gerakan
anti peradaban yang muncul adalah hanyalah menjadi pengacau konsentrasi masyarakat
yang membangun tradisi berpikir kritis dan inklusif. Ketika tradisi berpikir
kritis dan inklusif dalam masyarakat tidak terus dibangun, maka konsekuensi
logisnya adalah kita akan menyaksikan manusia yang terus dibayangi ketakutan
dalam kemajuan peradaban, manusia yang tidak punya harapan dan optimisme dalam
kehidupan.
BTP, 22 Mei 2013 M/ 12
Rajab 1434 H, Pukul
16:22