Cari Blog Ini

Jumat, 14 Februari 2014

Separuh Mentari Orange

Ingatkah apa yang kita lakukan pada saat libur atau pulang sekolah? Masih ingatkah disuatu pagi dan sore kita duduk di tepi laut hanya untuk menyaksikan senyum merekahnya sebagai salam sapa dan perpisahan pada saat itu. Ingatkah juga kita sering mengunjungi gunung dibelakang rumah atau di beberapa tempat dengan teman-teman sebaya yang ada. Atau ingatkah juga waktu kita duduk diatas pohon sambil bercanda  atau diatas sebuah gubuk yang kita bangun bersama? Kemudian kita saling bertanya dan menatap. Bertanya bukan untuk dijawab. Saling menatap hanya untuk memastikan kalau kita saling memahami jawabannya. Kemudian kita duduk termenung dengan penuh decak kagum, hanya untuk menyaksikan atau menikmati indahnya mentari orange pada saat senyum merekahnya muncul disebelah timur atau tenggelam disebelah barat.

Saya tidak mengetahui pasti apakah senyuman merekah itu kita perhatikan atau tidak. Yang jelas diantara kita memperhatikan hal yang berbeda dari senyum merekah itu. Senyum yang merekah untuk kehidupan seluruh semesta kehidupan. Apakah kita mengingat sudah berapa detik atau menit atau jam kita duduk menghabiskan waktu untuk menyaksikannya? Kita tidak peduli berapa lama kita duduk yang penting sama-sama menikmatinya. Kemudian kita bercerita banyak tentang apa yang kita perhatikan dari senyumnya yang merekah. Terhadap apa yang tampak dalam senyumnya. Terhadap apa yang tampak disekeliling senyumnya. Terhadap apa yang terjadi pada semesta kehidupan di muka bumi. Kapankah kita terakhir mengingatnya bahwa kita pernah melihatnya dan bersedia untuk melihatnya kembali?

Entah sejak kapan kita suka untuk duduk menikmati cahaya mentari yang orange itu. Separuh mentari orange yang kita saksikan itu selalu muncul atau hilang diantara dedaunan dan pohon-pohon yang rindang atau diantara belantara hutan yang kering. Diantara gunung-gunung yang berjejer atau seolah-olah muncul dan tenggelam dari dan dalam laut yang tak bertepi. Kemunculannya atau tenggelamnya selalu ditandai dengan rona merah yang berseri-seri. Separuh mentari itu kita tidak pernah memintanya untuk tersenyum kepada kita bahkan kita pun tidak bisa menghentikan senyumnya. Kitalah yang tidak mau menyapa dan mengantarnya atau selalu lari bersembunyi dari senyum merekahnya yang indah.

Kehadirannya selalu ditandai dengan tarian dan nyanyian burung-burung yang indah. Kokok ayam di halaman yang bersahut-sahutan, gumaman sapi, nyanyian burug gereja, mekarnya bunga di taman, dan berbagai macam kesibukan makhluk yang lain dalam menyambut senyum merekahnya. Kita pun selalu menyambut kehadirannya dengan mempersiapkan bekal dan peralatan untuk bekerja dan belajar merawat bunga-bunga yang indah yang tumbuh subur di taman yang ada di rumah kehidupan kita. Begitupun ketika senyum merekahnya mulai perlahan-lahan tenggelam dan tidak tampak maka segenap makhluk di bumi, kembali  ke rumah kehidupan untuk beristirahat setelah seharian bergelut dalam balutan kelembutan yang dituntun oleh senyumnya. kita bersegera untuk beristirahat dan kembali ke taman kehidupan setelah seharian juga menikmati senyum merekahnya.

Kini kita hampir tidak bergairah untuk mau melihatnya atau menyambutnya lagi walaupun sesaat. Pohon-pohon rindang tempat kita menyaksikan kemunculannya dari sela-selanya sudah berganti menjadi pohon-pohon batu yang menjulang tinggi. Gunung-gunung tempat kita duduk menyaksikannya sudah gundul bahkan rata akibat keserakahan kita. Kita berusaha mati-matian dalam mengeluarkan kulit dan isinya hanya untuk memenuhi kebutuhan perut manusia. Tepi laut yang menjadi tempat kita dan orang lain juga untuk menyambut kehadirannya juga sudah di beri pagar. Pagar yang digunakan untuk menghalangi orang-orang yang datang berbondong-bondong untuk menyaksikannya. Kita tidak bisa lagi menyaksikannya kalau tidak memberikan uang sebagai syarat untuk melintasi pagar pembatas. Uang yang dikumpulkan yang konon digunakan untuk merawatnya. Entah sejak kapan kita bersepakat bahwa untuk melihatnya harus membayar.           

Pernahkah kita mengambil pelajaran darinya? Belajar tentang keikhlasan dari setiap gerak senyumnya. Belajar tentang kedamaian dalam geraknya. Belajar tentang pengabdian yang tulus. Belajar darinya tentang bagaimana memberi kepada semesta kehidupan. Belajar tentang kesederhanaan dari kehadirannya. Belajar tentang warna-warni kehidupan yang ada di sekelilingnya yang tidak ditolaknya. Belajar tentang tugas dan amanah yang harus disampaikan kepada semesta kehidupan. Belajar tentang setiap pancaran berkah dari setiap kehadirannya.
                             
Tamalanrea, 11 Rabiul Akhir 1435 H
    12    Februari    2014 M
Pukul 12:29 PM



Selasa, 11 Februari 2014

Kita Dan Imajinasi

Entah sejak kapan kita saling mengenal dan memperkenalkan diri masing-masing, tapi yang pastinya kita saling mengenal. Saya juga tidak memahami apa yang sebenarnya mempertemukan kita dan dimana kita pertama kali bertemu, dan saya juga tidak mengetahui sejak kapan kita selalu berdiskusi panjang membahas segala macam topik yang mengalir begitu saja. Dalam setiap pembicaraan itu saya mendapatimu sebagai orang yang penuh imajinasi yang mengingatkanku pada banyak hal tentang orang-orang yang penuh imajinasi yang pernah saya temui dan sering berinteraksi dengan mereka. Imajinasimu selalu melampaui ruang dimana kamu hidup. Imajinasimu yang selalu terfokus dan menukik tajam menembus carut marutnya dunia dan kehidupan kita.

Imajinasimu mengingatkanku pada beberapa teman pada saat masih duduk di taman kanak-kanak, di pendidikan dasar maupun menengah. Ketika kita ditanya apa yang menjadi cita-cita kalian atau apa yang akan kalian lakukan kalau sudah besar nanti? Berbagai macam jawaban kita sampaikan dengan lurus tanpa ada hambatan, meluncur deras dari mulut. Berbagai macam profesi yang kita akan lakoni kedepannya kita sampaikan juga walaupun profesi itu sangat asing dari kehidupan kita sebagai orang yang tinggal di desa. Profesi yang pada dasarnya banyak dipahami oleh orang-orang yang tinggal di daerah yang sudah menikmati kemajuan teknologi dan informasi dan kita sebut saja daerah perkotaan. Begitupun ketika kita tinggal di daerah yang teknologi dan informasinya sudah maju, kita selalu berimajinasi untuk melakoni profesi mereka yang sudah ditinggalkan oleh orang-orang yang konon modern. Kita mungkin pernah atau bahkan tidak pernah melihat contohnya tapi kita selalu mendengarnya melalui dongeng atau cerita-cerita yang disampaikan ke kita pada saat kita di rumah, sekolah atau pada saat kita bermain bersama.

Kini kalau pertanyaan itu diajukan kembali, kita selalu kesusahan untuk menjawabnya. Kita mulai berpikir panjang dan biasa juga terbata-bata dalam menjawabnya. Yang jelas dari pertanyaan atau pernyataan yang lahir dan meluncur dari imajinasimu tanpa putus yang bahkan kita kadang sebelumnya sama-sama tidak pernah memikirkan pertanyaan atau pernyataan yang terlontar itu. Ketika kita sudah tidak mampu menjawabnya atau menanggapinya kita sama-sama terdiam untuk berpikir kembali dengan melintasi cakrawala pengetahuan yang ada. Atau kita sama-sama mengakhirinya dengan mengajukan pertanyaan apa yang kita harus lakukan?

Imajinasimu sebagai protes tentang carut marutnya dunia dan kehidupan kita yang sering kita bicarakan bahkan kadang kita sama-sama susah untuk menjawabnya kalau itu kita aplikasikan dalam kehidupan riil. Kita sama-sama mengetahui kalau imajinasi itu mengembara kemana saja dan menyasar apa saja yang terlintas di kepala kita. Dari imajinasimu kita melahirkan beberapa gagasan yang tidak tertulis yang secara diam-diam kita bersepakat untuk menjalankannya. Dalam menjalankan gagasan itu kita tidak saling menegur bahwa ini salah dan itu benar. Dalam beberapa kesempatan dari beberapa imajinasi yang disampaikan sebagai isyarat untuk saling membantu, kita secara diam-diam bergerak melakukan pekerjaan itu tanpa ada perintah yang masing-mnasing dari kita sudah memahami apa yang harus dikerjakan. Kita juga jarang untuk mengevaluasi secara tertulis setiap gagasan yang lahir dari imajinasi yang kita pernah bicarakan. Kita hanya bercerita panjang tentang apa yang telah dan akan kita lakukan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Dari cerita yang imajinatifmu kita sama-sama masih mengharapkan orang-orang bahkan diri kita untuk menyelipkan harapan dan kecintaan untuk selalu berbuat kebaikan dan konsisten.

Terima kasih untuk cerita-cerita imajinatifnya yang menyegarkan kembali ingatan saya tentang imajinasi anak-anak yang masih menyelipkan harapan tentang kehidupan. Mereka paham bahwa yang mereka imajinasikan itu sangat jauh dari konteks kehidupan mereka. Mereka juga tahu bahwa mereka tidak akan pernah mencicipi atau merasakan manisnya dari hal yang mereka imajinasikan.

Tamalanrea, 9 Rabiul Akhir 1435 H
                   10  Februari   2014  M  

Pukul 04:53 AM
        

  

BUNGA, LILIN dan MULUT

Ada yang mengirim bunga ada yang membakarnya,  Ada yang menyalakan lilin ada yang memadamkannya,  Semuanya tersulut dari mulut kebencian. ...