Ingatkah
apa yang kita lakukan pada saat libur atau pulang sekolah? Masih ingatkah
disuatu pagi dan sore kita duduk di tepi laut hanya untuk menyaksikan senyum
merekahnya sebagai salam sapa dan perpisahan pada saat itu. Ingatkah juga kita
sering mengunjungi gunung dibelakang rumah atau di beberapa tempat dengan
teman-teman sebaya yang ada. Atau ingatkah juga waktu kita duduk diatas pohon sambil
bercanda atau diatas sebuah gubuk yang
kita bangun bersama? Kemudian kita saling bertanya dan menatap. Bertanya bukan
untuk dijawab. Saling menatap hanya untuk memastikan kalau kita saling memahami
jawabannya. Kemudian kita duduk termenung dengan penuh decak kagum, hanya untuk
menyaksikan atau menikmati indahnya mentari orange pada saat senyum merekahnya
muncul disebelah timur atau tenggelam disebelah barat.
Saya
tidak mengetahui pasti apakah senyuman merekah itu kita perhatikan atau tidak.
Yang jelas diantara kita memperhatikan hal yang berbeda dari senyum merekah
itu. Senyum yang merekah untuk kehidupan seluruh semesta kehidupan. Apakah kita
mengingat sudah berapa detik atau menit atau jam kita duduk menghabiskan waktu untuk
menyaksikannya? Kita tidak peduli berapa lama kita duduk yang penting sama-sama
menikmatinya. Kemudian kita bercerita banyak tentang apa yang kita perhatikan
dari senyumnya yang merekah. Terhadap apa yang tampak dalam senyumnya. Terhadap
apa yang tampak disekeliling senyumnya. Terhadap apa yang terjadi pada semesta
kehidupan di muka bumi. Kapankah kita terakhir mengingatnya bahwa kita pernah
melihatnya dan bersedia untuk melihatnya kembali?
Entah
sejak kapan kita suka untuk duduk menikmati cahaya mentari yang orange itu. Separuh
mentari orange yang kita saksikan itu selalu muncul atau hilang diantara
dedaunan dan pohon-pohon yang rindang atau diantara belantara hutan yang
kering. Diantara gunung-gunung yang berjejer atau seolah-olah muncul dan
tenggelam dari dan dalam laut yang tak bertepi. Kemunculannya atau tenggelamnya
selalu ditandai dengan rona merah yang berseri-seri. Separuh mentari itu kita
tidak pernah memintanya untuk tersenyum kepada kita bahkan kita pun tidak bisa
menghentikan senyumnya. Kitalah yang tidak mau menyapa dan mengantarnya atau
selalu lari bersembunyi dari senyum merekahnya yang indah.
Kehadirannya
selalu ditandai dengan tarian dan nyanyian burung-burung yang indah. Kokok ayam
di halaman yang bersahut-sahutan, gumaman sapi, nyanyian burug gereja, mekarnya
bunga di taman, dan berbagai macam kesibukan makhluk yang lain dalam menyambut
senyum merekahnya. Kita pun selalu menyambut kehadirannya dengan mempersiapkan
bekal dan peralatan untuk bekerja dan belajar merawat bunga-bunga yang indah yang
tumbuh subur di taman yang ada di rumah kehidupan kita. Begitupun ketika senyum
merekahnya mulai perlahan-lahan tenggelam dan tidak tampak maka segenap makhluk
di bumi, kembali ke rumah kehidupan untuk
beristirahat setelah seharian bergelut dalam balutan kelembutan yang dituntun
oleh senyumnya. kita bersegera untuk beristirahat dan kembali ke taman kehidupan
setelah seharian juga menikmati senyum merekahnya.
Kini
kita hampir tidak bergairah untuk mau melihatnya atau menyambutnya lagi
walaupun sesaat. Pohon-pohon rindang tempat kita menyaksikan kemunculannya dari
sela-selanya sudah berganti menjadi pohon-pohon batu yang menjulang tinggi.
Gunung-gunung tempat kita duduk menyaksikannya sudah gundul bahkan rata akibat
keserakahan kita. Kita berusaha mati-matian dalam mengeluarkan kulit dan isinya
hanya untuk memenuhi kebutuhan perut manusia. Tepi laut yang menjadi tempat
kita dan orang lain juga untuk menyambut kehadirannya juga sudah di beri pagar.
Pagar yang digunakan untuk menghalangi orang-orang yang datang
berbondong-bondong untuk menyaksikannya. Kita tidak bisa lagi menyaksikannya
kalau tidak memberikan uang sebagai syarat untuk melintasi pagar pembatas. Uang
yang dikumpulkan yang konon digunakan untuk merawatnya. Entah sejak kapan kita
bersepakat bahwa untuk melihatnya harus membayar.
Pernahkah
kita mengambil pelajaran darinya? Belajar tentang keikhlasan dari setiap gerak senyumnya.
Belajar tentang kedamaian dalam geraknya. Belajar tentang pengabdian yang
tulus. Belajar darinya tentang bagaimana memberi kepada semesta kehidupan.
Belajar tentang kesederhanaan dari kehadirannya. Belajar tentang warna-warni
kehidupan yang ada di sekelilingnya yang tidak ditolaknya. Belajar tentang
tugas dan amanah yang harus disampaikan kepada semesta kehidupan. Belajar
tentang setiap pancaran berkah dari setiap kehadirannya.
Tamalanrea,
11 Rabiul Akhir 1435 H
12 Februari
2014 M
Pukul
12:29 PM