“Rumah adalah tempat kita berangkat dan kembali. Tempat kita
berkumpul dan menjadi sebuah keluarga. Tempat kita merancang masa depan.”
Entah sejak kapan kita bertemu dan saling mengenal. Entah sejak
kapan pula kita saling menatap dan bercerita tentang diri kita masing-masing sampai
bersepakat untuk memilih tinggal dalam sebuah rumah dan menjadi keluarga. Yang
jelas bahwa kita tidak memilih tinggal di jalanan atau dibawah kolong jembatan,
di emperan toko atau rumah orang, di hutan atau di kesunyian.
Rumah kita tidak dibangun dari kayu, batu, pasir, semen, baja, dan
bahan-bahan material lainnya yang mudah hancur seiring dengan perputaran roda
zaman. Bukan rumah yang dibangun dengan mengupah orang lain. Bukan rumah yang
diterangi lampu-lampu yang mudah padam. Bukan rumah yang dipenuhi oleh
rongsokan barang dari pasar.
Tapi, rumah yang fondasinya adalah ajaran dasar samawi. Rumah yang
dindingnya adalah keyakinan. Rumah yang atapnya adalah kebijaksanaan. Rumah
yang pintunya adalah belajar. Rumah yang jendelanya adalah gagasan. Rumah yang
tiangnya adalah sholat. Rumah yang bahan bakar pelitanya adalah ideologi yang
terus menyalakannya. Bahan makanannya adalah realitas yang diracik menjadi
sebuah tindakan nyata. Rumah yang tamannya adalah akhlak dan kesederhannan. Itulah rumah batin atau rumah psikologi atau rumah jiwa kita.
Di dalamnya kita memulai pelajaran untuk menjadi seorang manusia. Pelajaran
tentang cakrawala kehidupan untuk menyambut mentari perubahan. Di dalamnya kita saling berbagi dan bercerita sampai pada
urusan yang pelik. Masih ingatkah ketika kita mulai membuka diri untuk
bercerita tentang masa depan dan pilihan hidup? Ingatkah diantara kita ada yang
ngambek atau marah-marah atau hanya senyum-senyum saja atau bahkan menangis
ketika memikul sebuah tanggungjawab? Bertengkar adalah hal biasa bagi kita.
Bertengkar dalam pemikiran untuk saling menguatkan jiwa. Masihkah kita belajar?
Masihkah kita berjalan sesuai koridor? Ataukah kita sudah tergilas oleh zaman
dengan berbagai macam tawaran kepentingan pragmatis?
Air mata, candaan, kritikan dan segala macamnya menjadi bumbu
kehidupan rumah dan keluarga kita. Spirit dan cita-citalah yang terus membawa
kita untuk tidak bercerai. Kita tidak menginginkan hidup dibawah gilasan roda
sepatu zaman. Kita tidak menginginkan hidup tanpa keyakinan. Kita tidak ingin
membanggakan keimanan apalagi tanpa verifikasi praktis. Kita tidak menginginkan
gagasan itu mati diam-diam dan membusuk dalam perputaran zaman. Dari rumah kita
berangkat untuk memberikan transfusi darah segar bagi kehidupan masa depan.
Rumah sebagai tempat kita kembali untuk melepaskan kepenatan dan merasakan
kesejukan setelah bergulat dengan panasnya bara api kehidupan sosial.
Mahja’iy,
06 Februari 2014 pukul 11:35 PM