Sebelum kepergiannya sebagaimana penuturun
pamannya beliau meminta handphone. “Saya mau bicara sama bapakku sebentar.”
Itulah permintaan terakhir dari Ahmad Jalaluddin di di atas bangsal yang tetap
setia menemani hari-harinya sebelum dilarikan dan masuk ruang PICU RSWS. Beliau
adalah salah satu pasien yang menjalani perawatan di RSWS karena mengidap penyakit
Leukimia (kanker darah). Sejak tahun 2012 beliau mengidap penyakit kanker darah
sebagaimana yang telah divonis oleh dokter yang memeriksanya. Beliau salah seorang
pelajar kelas 1 SMA di sebuah pesantren. Usianya baru 15 tahun. Sejak tahun
2000 beliau berada dibawah asuhan pamannya pada usia 2 atau 3 tahun. Saya
mengenalnya di tahun 2012 melalui Daeng Beta (pak Husein) bapaknya Egi. Pada
saat itu mereka sedang mencari darah untuk kebutuhan transfusi. Dari pamannya Ahmad
dan daeng Beta saya diperkenalkan lagi dengan salah satu pasien yang bernama I Made
Satria dari kota Palu. Akhirnya mereka mendapat julukan tiga serangkai. Mereka saling membantu mencari
darah atau pendonor. Selain itu mereka saling menjaga dalam kondisi-kondisi
kritis.
Ahmad yang diadopsi oleh pamannya (saudara
kandung ibunya) dari ibunya yang bekerja di Malaysia. Saya bertanya-tanya
kepada pamannya, dimana bapak dan ibunya? Pamannya menuturkan banyak hal. ibunya
telah menikah kembali di Malaysia setelah perceraian dengan suaminya yang
pertama. Ibu kandungnya adalah saudara pamannya yang mengasuhnya sejak usia
sekitar tiga tahun. Sedangkan ayah kandungnya beliau menetap di Sidrap
berprofesi sebagai petani. Beliau telah menyerahkan putra keduanya kepada
pamannya untuk dirawat. Begitupun kakaknya ahmad tinggal dalam asuhan pamannya.
Ahmad yang begitu pendiam tidak mau merepotkan pamannya tentang penyakit yang
dideritanya. Beliau tinggal di asrama santri sebuah pesantren. Ketika sakit,
beliau tidak segera memberitahu pamannya yang mengasuhnya. Pamannya tinggal di
sebuah kampung di Bulukumba di daerah
pegunungan.
Hampir setengah tahun Ahmad telah menghabiskan
hari-harinya menjalani perawatan intensif di bangsal RS. Kemudian beliau mendapat
izin untuk keluar dari rumah sakit. Oleh tim dokter yang merawatnya
merekomendasikan beliau kepada pamannya untuk tetap menjalani rawat jalan serta
sering melakukan kontrol penyakit. Setelah keluar, sebagai seorang santri beliau
mengikuti kembali pelajaran di pesantren. Lama tidak berjumpa dengannya dan kehilangan
kontak. Tak ada kabar sepotong pun yang
sampai mengenai kondisinya. Setelah beberapa bulan keluar dari rumah sakit
meninggalkan bangsal pembaringannya, penyakit yang terus menggerogoti badannya
membuatnya semakin lemah. Dalam kondisi kritis pamannya segera membawanya ke
rumah sakit di Makassar.
Saya mengajak pamannya untuk bercerita tentang
keponakan yang sedang di rawatnya. Karena berbulan-bulan tidak melakukan kontrol
penyakit. Ketika sudah parah dan kritis baru beliau membawanya ke rumah sakit. Beliau
bertutur kalau keponakannya menyembunyikan penyakitnya dan tidak mau bercerita
tentang kondisinya. Alasannya tidak mau merepotkan pamannya dan kakaknya yang tinggal
di kampung sementara dia ada di asrama santri dan ada teman-temannya. Selain
itu adalah ketidakmampuan untuk membiayai biaya ketika masuk rumah sakit.
Beliau hanya mengandalkan kartu Jamkesmas untuk tanggungan biaya perawatan di
rumah sakit. Setelah beberapa bulan di tahun 2013 yang lalu, menjalani
perawatan di bangsal pemegang kartu jamkesmas kondisi kesehatannya terus
menurun. Pada hari jum’at pagi itu beliau menghembuskan nafas terakhir dan
pergi untuk selama-lamanya. Meninggalkan seluruh kenangan berbulan-bulan di
bangsal rumah sakit.
Semoga Allah berkenaan menghisabnya dengan
rahmat dan kasih sayang-Nya. Mengampuni dosa-dosanya dengan limpahan rahmat dan
kasih sayang-Nya yang tak bertepi.