Cari Blog Ini

Sabtu, 19 November 2011

FILSAFAT ISLAM


Dalam sejarah peradaban Islam, berbagai kedisiplinan ilmu muncul begitu cepat sesuai dengan tahap perkembangan duniawi dan berkembang terus sesuai dengan situasi dan kondisi, sehingga banyak pakar ilmuan dan tokoh-tokoh dalam Islam melahirkan pernik-pernik mutiara untuk dijadikan bahan rujukan oleh Ummat Sekarang dan dikagumi Oleh banyak lawan. Sejarah adalah pengetahuan tentang peristiwa peristiwa masa lampau, sedangkan Filsafat adalah Ilmu tentang berfikir sesuatu apapun untuk mencari kebenaran sesuatu tersebut.

Kalau kita perhatikan defenisi-defenisi yang telah diberikan oleh ahli-ahli filsafat kendatipun defenisi yang mereka berikan itu jauh berbeda-beda, namun dapat kita simpulkan bahwa berfilsafat itu ialah “berfikir”, dengan kata lain” Berfilsafat ialah berfikir sedalam-dalamnya secara bebas, dan teliti. Menurut penulis, seorang muslim boleh berfikir sedalam-dalamnya demi untuk menemukan sebuah kebenaran dengan ketentuan befikir yang tidak keluar dari garis-garis koridor logika dan syar’i. 

Kata filsafat Islam telah lama kita dengar, tetapi apa itu maknanya, lingkup, dan pandangannya, sepertinya masih harus didiskusikan. Oleh karena itu perlu mendiskusikan topik penting, yaitu: (1) Apa itu filsafat Islam? Dengan ini diharapkan pemahamanan kita tentang filsafat Islam dari sudut cita dan fakta bisa menjadi lebih baik dan bermakna.

1.         Apa itu Filsafat Islam?
Dalam buku yang berjudul wacana baru filsafat islam, ada beberapa pandangan tentang istilah filsafat Islam. Ada yang megatakan bahwa Islam tidak pernah dan bisa memiliki filsafat yang independen. Adapun filsafat yang dikembangkan oleh para filosof Muslim adalah pada dasarnya filsafat Yunani, bukan filsafat Islam. Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang tepat untuk itu adalah filsafat Muslim, karena yang terjadi adalah filsafat Yunani yang kemudian diterjemahkan dan dipelajari serta dikembangkan oleh para pemikir Muslim. Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang lebih tepat adalah filsafat Arab, dengan alasan bahwa bahasa yang digunakan dalam karya-karya filosofis mereka adalah bahasa Arab, sekalipun para penulisnya banyak berasal dari Persia, dan nama-nama lainnya seperti filsafat dalam dunia Islam.

Adanya sebutan atau penamaan filsafat Islam (Islamic philosophy), dengan setidaknya 3 alasan. Pertama: Ketika filsafat Yunani diperkenalkan ke dunia Islam, Islam telah mengembangkan sistem teologi yang menekankan keesaan Tuhan dan syari’ah, yang menjadi pedoman bagi siapapun. Begitu dominannya Pandangan tauhid dan syari’ah ini, sehingga tidak ada suatu sistem apapun, termasuk filsafat, dapat diterima kecuali sesuai dengan ajaran pokok Islam tersebut (tawhid) dan pandangan syari’ah yang bersandar pada ajaran tauhid. Oleh karena itu ketika memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Islam, para filosof Muslim selalu memperhatikan kecocokannya dengan pandangan fundamental Islam tersebut, sehingga disadari atau tidak, telah terjadi “pengislaman” filsafat oleh para filosof Muslim.

Kedua, sebagai pemikir Islam, para filosof Muslim adalah pemerhati filsafat yang kritis. Ketika dirasa ada kekurangan yang diderita oleh filsafat Yunani, misalnya, maka tanpa ragu-ragu mereka mengkritiknya secara mendasar. Misalnya, sekalipun Ibn Sina sering dikelompokkan sebagai filosof Peripatetik, namun ia tak segan-segan mengkritik pandangan Aristoteles, kalau dirasa tidak cocok dan menggantikannnya dengan yang lebih baik. Beberapa tokoh lainnya seperti Suhrawardi, Ibn Taymiyyah, juga mengkritik sistem logika Aristoteles.

Ketiga, adalah adanya perkembangan yang unik dalam filsafat islam, akibat dari interaksi antara Islam, sebagai agama, dan filsafat Yunani. Akibatnya para filosof Muslim telah mengembangkan beberapa isu filsafat yang tidak pernah dikembangkan oleh para filosof Yunani sebelumnya, seperti filsafat kenabian, filsafat pergerakan, filsafafat akhlak, mikraj dsb.

Berbeda dengan lingkup filsafat modern, filsafat Islam, sebagaimana yang telah dikembangkan para filosof agungnya, meliputi bidang-bidang yang sangat luas, seperti logika, fisika, matematika dan metafisika yang berada di puncaknya. Seorang filosof tidak akan dikatakan filosof, kalau tidak menguasai seluruh cabang-cabang filosofis yang luas ini. Ketika Ibn Sina menulis al-Syifa’, yang dipandang sebagai karya utama filsafatnya, ia tidak hanya menulis tentang metafisika, tetapi juga tentang logika, matematika dan fisika. Dan ia menulisnya sedeikian lengkap pada setiap bidang tersebut, sehingga kita misalnya memiliki beberapa jilid tentang logika, meliputi pengantar, kategori, analitika priora, analitika posteriora, topika, dialektika, retorika, sopistika dan poetika. Sedangkan untuk matematika, ia menulis beberapa jilid meliputi, aritmatika, geometri, astronomi dan musik. Untuk fisika, ia juga menulis beberapa jilid yang meliputi bidang kosmologi, seperti tentang langit, meteorologi, kejadian dan kehancuran yang menandai semua benda fisik, tentang batu-batuan (minerologi), tumbuh-tumbuhan (botani), hewan (zoologi), anatomi, farmakologi, kedokteran dan psikologi. Dan sebagai puncaknya ia menulis tentang metafisika (al-‘ilm al-ilahi) yang meliputi bidang ketuhanan, malaikat dan akal-akal, dan hubungan mereka dengan dunia fisik yang dibahas dalam bidang fisika.

Pembicaraan tentang lingkup filsafat Islam ini perlu dikemukakan, berhubung banyaknya kesalahpahaman terhadapnya, sehingga filsafat Islam dipahami hanya sejauh ia meliputi bidang-bidang metafisik. Kebanyakan kita hanya tahu Ibn Sina sebagai filosof, dan hanya mempelajari doktrin dan metode filsafatnya. Sedangkan Ibn Sina sebagai ahli kedokteran, ahli fisika, atau dengan kata lain sebagai saintis dan metode-metode ilmiah yang digunakannya sama sekali luput dari perhatian kita. Jarang sekali, kalau tidak dikatakan tidak ada, pemikir filsafat Islam di negeri ini yang pernah meneliti teori-teorinya tentang fisika, psikologi, atau geometri, astronomi dan musiknya. Tidak juga kedokterannya yang sangat dikenal di dunia Barat berkat karya agungnya al-Qanun fi al-Thibb. Hal ini terjadi, karena selama ini filsafat hanya dipahami sebagai disiplin ilmu yang mempelajari hal-hal yang bersifat metafisik, sehingga fisika, matematika, seolah dipandang bukan sebagai disiplin ilmu-ilmu filsafat.         

Satu hal lagi yang perlu didiskusikan dalam mengenal filsafat Islam ini adalah pandangannya yang bersifat integral-holistik. Filsafat Islam mengakui, sebagai sumber ilmu, bukan hanya pencerapan indrawi, tetapi juga persepsi rasional dan pengalaman mistik. Dengan kata lain menjadikan indera, akal dan hati sebagai sumber-sumber ilmu yang sah. Akibatnya terjadilah integrasi di bidang klasifikasi ilmu antara metafisika, fisika dan matematika, dengan berbagai macam divisinya. Demikian juga integrasi terjadi di bidang metodologi dan penjelasan ilmiah. Karena itu filsafat Islam tidak hanya mengakui metode observasi, sebagai metode ilmiah, sebagaimana yang dipahami secara eksklusif dalam sains modern, tetapi juga metode burhani, untuk meneliti entitas-entitas yang bersifat abstrak, ‘irfani, untuk melakukan persepsi spiritual dengan menyaksikan (musyahadah) secara langsung entitas-entitas rohani, yang hanya bisa dianalisa lewat akal, dan terakhir bayani, yaitu sebuah metode untuk memahami teks-teks suci, seperti al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, filsafat Islam mengakui keabsahan observasi indrawi, nalar rasional, pengalaman intuitif, dan juga wahyu sebagai sumber-sumber yang sah dan penting bagi ilmu.

Hal ini penting dikemukakan, mengingat selama ini banyak orang yang menolak filsafat dan tasawuf sebagai tidak bermakna. Atau ada juga yang telah merasa menjadi filosof, lalu menyangkal keabsahan tasawuf, dengan alasan bahwa tasawuf bersifat irrasional. Atau ada juga yang telah merasa menjadi Sufi lalu menganggap tak penting filsafat dan sains. Dalam pandangan filsafat Islam yang holistik, ketiga bidang tersebut diakui sebagai bidang yang sah, yang tidak perlu dipertentangkan apa lagi ditolak, karena ketiganya merupakan tiga aspek dari sebuah kebenaran yang sama. Sangat mungkin bahwa ada seorang yang sekaligus saintis, filosof dan Sufi, karena sekalipun indera, akal dan hati bisa dibedakan, tetapi ketiganya terintegrasi dalam sebuah pribadi. Namun, seandainya kita tidak bisa menjadi sekaligus ketiganya, seyogyanya kita tidak perlu menolak keabsahan dari masing-masing bidang tersebut, karena dalam filsafat Islam ketiga unsur tersebut dipandang sama realnya.

Pada saat ini, umat Islam telah dilanda berbagai persoalah ilmiah filosofis, yang datang dari pandangan ilmiah-filosofis Barat yang bersifat sekuler. Berbagai teori ilmiah, dari berbagai bidang, fisika, biologi, psikologi, dan sosiologi, telah, atas nama metode ilmiah, menyerang fondasi-fondasi kepercayaan agama. Tuhan tidak dipandang perlu lagi dibawa-bawa dalam penjelasan ilmiah. Misalnya bagi Laplace (w. 1827), kehadiran Tuhan dalam pandangan ilmiah hanyalah menempati posisi hipotesa. Dan ia mengatakan, sekarang saintis tidak memerlukan lagi hipotesa tersebut, karena alam telah bisa dijelaskan secara ilmiah tanpa harus merujuk kepada Tuhan. Baginya, bukan Tuhan yang telah bertanggung jawab atas keteraturan alam, tetapi adalah hukum alam itu sendiri. Jadi Tuhan telah diberhentikan sebagai pemelihara dan pengatur alam. Demikian juga dalam bidang biologi, Tuhan tidak lagi dipandang sebagai pencipta hewan-hewan, karena menurut Darwin (w. 1881), munculnya spesies-spesies hewan adalah karena mekanisme alam sendiri, yang ia sebut sebagai seleksi alamiah (natural selection). Menurutnya hewan-hewan harus bertransmutasi sendiri agar ia dapat tetap survive, dan tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Ia pernah berkata, “kerang harus menciptakan engselnya sendiri, kalau ia mau survive, dan tidak karena campur tangan sebuah agen yang cerdas di luar dirinya. Oleh karena itu dalam pandangan Darwin, Tuhan telah berhenti menjadi pencipta hewan. Dalam bidang psikologi, Freud (w. 1941) telah memandang Tuhan sebagai ilusi. Baginya bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusialah yang menciptakan Tuhan. Tuhan, sebagai konsep, muncul dalam pikiran manusia ketika ia tidak sanggup lagi menghadapi tantangan eksternalnya, serti bencana alam dll., maupun tantangan internalnya, ketergantungan psikologis pada figur yang lebih dominan. Sedangkan Emil Durkheim, menyatakan bahwa apa yang kita sebut Tuhan, ternyata adalah Masyarakat itu sendiri yang telah dipersonifikasikan dari nilai-nilai sosial yang ada. Dengan demikian jelaslah bahwa, dalam pandangan sains modern Tuhan tidak memiliki tempat yang spesial, bahkan lama kelamaan dihapus dari wacana ilmiah. 

Tantangan yang lain juga terjadi di bidang lain seperti bidang spiritual, ekonomi, politik, ekologi dll. Tentu saja tantangan seperti ini tidak boleh tanpa kritik, atau respons kritis dan kreatif yang dapat dengan baik menjawab tantangan-tantangan tersebut secara rasional dan elegan, dan tidak semata-mata bersifat dogmatis dan otoriter. Dan di sinilah saya melihat bahwa filsafat Islam bisa berperan sangat aktif dan signifikan.

Berbeda dengan yang dikonsepsikan al-Ghazali, di mana filsafat dipandang sebagai lawan bagi agama, saya melihat filsafat bisa kita jadikan sebagai mitra atau pendukung bagi agama. Dalam keadaan di mana agama mendapat serangan yang gencar dari sains dan filsafat modern, filsafat Islam bisa bertindak sebagai pembela atau tameng bagi agama, dengan cara menjawab serangan sains dan filsafat modern terhadap agama secara filosofis dan rasional. Karena tantangan ilmiah-filosofis harus dijawab juga secara ilmiah-filosofis dan bukan semata-mata secara dogmatis. Dengan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang menempatkan akal pada posisi yang terhormat, saya yakin bahwa Islam, pada dasarnya bisa dijelaskan secara rasional dan logis.

Selama ini filsafat dicurigai sebagai disiplin ilmu yang dapat mengancam agama. Ya, memang betul. Apaalagi filsafat yang selama ini kita pelajari bukanlah filsafat Islam, melainkan filsafat Barat yang telah lama tercerabut dari akar-akar metafisiknya. Tetapi kalau kita mempelajari filsafat Islam dan mengarahkannya secara benar, maka filsafat Islam juga adalah sangat potensial untuk menjadi mitra filsafat atau bahkan pendukung agama. Di sini filsafat bisa bertindak sebagai benteng yang melindungi agama dari berbagai ancaman dan serangan ilmiah-filosofis seperti yang dideskripsikan di atas.

Serangan terhadap eksistensi Tuhan, misalnya dapat dijawab dengan berbagai argument adanya Tuhan yang telah banyak dikemukakan oleh para filosof Muslim, dari al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, M. Taqi Misbah Yazdi dll., Serangan terhadap wahyu bisa dijawab oleh berbagai teori pewahyuan yang telah dikemukakan oleh banyak pemikir Muslim dari al-Ghazali, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Taymiyyah, Ibn Rusyd, Mulla Shadra dll.

Demikian juga serangan terhadap validitas pengalaman mistik dan religius, juga telah dijawab secara mendalam oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya Reconstruction of Religiuous Thought in Islam dan Mehdi Ha’iri Yazdi dalam bukunya The Principle of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence. Dalam kedua karya ini, Iqbal dan Yazdi telah mencoba menjelaskan secara filosofis tentang realitas pengalaman religius dan mistik, dan berusaha menjadikan pengalaman mistik sebagai salah satu sumber ilmu yang sah. Tentu saja masih banyak hal yang dapat dilakukan filsafat Islam untuk mendukung agama, yang tidak pada tempatnya untuk dijelaskan secara rinci di sini.

BUNGA, LILIN dan MULUT

Ada yang mengirim bunga ada yang membakarnya,  Ada yang menyalakan lilin ada yang memadamkannya,  Semuanya tersulut dari mulut kebencian. ...