Bangsa
indonesia khusus selama hampir satu bulan terakhir ini telah dilanda beberapa
kerusuhan dalam beberapa demonstrasi yang hampir terjadi diseluruh wilayah yang
ada. Benturan fisik telah meluas dan menjadi jalan untuk menyampaikan segala
aspirasi agar didengarkan oleh mereka-mereka yang mengambil kebijakan di
parlemen dan eksekutif.
Huru-hara
atau keributan/kerusuhan/kekacauan [bukan anarkis karena anarkis beda dengan
ricuh/ribut/kacau/brutal] telah terbentuk begitu lama dan kembali mencuat
kepermukaan akhir-akhir ini di berbagai daerah dalam negara yang namanya
indonesia. Dalam beberapa demonstrasi yang terjadi selalu berakhir dengan
ricuh, penembakan, dan berbagai macamnya.
Ada
hal yang harus dianalisis bahwa huru-hara tidak terjadi begitu saja tapi ada
yang menjadi pemicu. Yang mana kita memahami logika sederhana, setiap akibat
pasti punya sebab. Jika huru-hara selalu dilekatkan pada para demonstran maka
kita hanya melihat efek dari setiap proses demonstrasi tapi kita tidak pernah
melihat masalah dasarnya atau sebabnya. Sebab mahasiswa, masyarakat dan
elemen-elemen lain yang melakukan demonstrasi itu adalah karena kebijakan
pemerintah dan pemerintah itu sendiri. Selain itu para demonstran juga harus
mengevaluasi dari setiap tergetan aksi karena terkadang tujuan aksi dengan
metodologi aksi saling bertentangan. Misalnya menolak kenaikan harga BBM dengan
menjarah toko serba ada dan membakar mobil perusahaan.
Ada
hal yang menarik dalam setiap proses demonstrasi selama ini adalah
kecenderungannya yang disorot adalah aksi yang selalu berakhir dengan ricuh.
Kericuhan tidak akan terjadi jika pemerintah mendengarkan apa yang disampaikan
oleh para demonstran dengan telinga serta mata hati. Pembentukan opini oleh
media dan pemerintah telah menggiring masyarakat banyak pada penumpulan
pemikiran dan sifat pengecut atau pecundang kaum intelektual. Banyak aksi
demonstrasi secara damai yang tidak terliput oleh media nasional sehingga isu
yang dibawa tidak pernah ditanggapi dan berlalu begitu saja.
Dialog,
diskusi, seminar, teatrikal, kampanye massa, parlemen jalanan secara damai dan
semua bentuk aksi damai tidak terlalu menarik buat media dan pemerintah.
Pilihan yang menarik bagi para demonstran adalah aksi dengan setting ricuh.
Pernahkah kita berpikir bahwa yang menjadi pemicu huru hara sebenarnya adalah
pemerintah itu sendiri [eksekutif, legislatif, yudikatif] tanpa maksud
menggeneralisir isu. Huru hara yang diciptakan oleh pemerintah tidak dalam
bentuk fisik tapi dalam bentuk kebijakan yang akan selalu diikuti dengan aparat
yang akan mengamankan kebijakan itu. Hadirnya aparat [tentara, polisi, preman
dll] telah melindungi pemerintah untuk tidak mendengarkan teriakan dan jeritan
hati rakyat indonesia yang disampaikan secara damai dan teratur.
Mahasiswa,
masyarakat dan elemen-elemen lainnya yang terlibat dalam aksi parlemen jalanan
punya potensi untuk terjebak dalam kerusuhan atau kericuhan di dalam aksi itu
sendiri. Potensi itu teraktual ketika ada yang memicu atau membuat gerakan tambahan
dalam aksi itu sendiri. Saya masih percaya kerusuhan dalam aksi itu sengaja
diciptakan untuk merusak semua gerakan yang ada di masyarakat. Tapi siapakah
yang menciptakan kerusuhan itu? Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa ada
orang-orang yang disusupkan dalam gerakan untuk memancing emosi massa aksi.
Intelijen yang disusupkan baik dari mahasiswa itu sendiri, preman, polisi dan
tentara bahkan harus tertangkap tangan oleh massa aksi itu sendiri atau
dipukuli oleh polisi itu sendiri [tidak semua parlemen jalanan disusupi].
Informasi-informasi intelijen yang tidak akurat dan disampaikan pada badan-bdan
yang menangani pertahanan dan keamanan telah menjadi pemicu sehingga
memperkeruh suasana di lapangan dalam setiap proses penyampaian aspirasi.
Hadirnya
tentara dan polisi yang bersenjata lengkap turut memperkeruh suasana karena
massa aksi akan dilihat seperti pengacau atau teroris atau musuh negara dalam
kehidupan bernegara sehingga harus disediakan perlengkapan militer untuk
mengawal mereka. Militer telah menjadi alat kekuasaan dan diam dalam kezaliman
serta melanggengkan penindasan para penguasa. Mereka rela menjaga penguasanya
dan menghancurkan pemilik negara itu sendiri yaitu rakyat.
Kembali
pada sebab terjadinya huru hara itu sendiri adalah pemerintah dan kebijakannya.
Kenapa pemerintah dan kebijakannya dikatakan sebagai pelaku huru hara? Hal ini
berangkat dari kenyataan dalam masyarakat bahwa pemerintah dengan wacana
menaikkah harga BBM, pencabutan subsidi, komersialisasi sektor-sektor yang
berhubungan langsung dengan kehidupan rakyat banyak telah menimbulkan gejolak
dalam kehidupan masyarakat sebelum kebijakan itu diberlakukan dengan penuh sehingga
model perlawanan diekspresikan dengan berbagai macam pula. Berarti dari
kenyataan tersebut kita patut mempertanyakan kembali wacana huru hara yang
selalu digemborkan media dan pemerintah. Bukankah dari setiap kebijakan
penghapusan, pengurangan dan berbagai macam modelnya yang dihilangkan dari
tanggungan negara [hasil pemungutan pajak dari rakyat indonesia] telah menjadi
pemicu huru hara itu sendiri dan gejolak dalam masyarakat hanya menjadi efek
dari setiap kebijakan yang diambil.
Gejolak
dalam masyarakat yang merespon kebijakan secara damai seperti diskusi, seminar
dan macam-macamnya yang telah disebutkan tidak terlalu mendapatkan tanggapan
yang psoistif dari media, pemerintah dan segala pembantunya. Jadi pilihan untuk
mengekspresikan itu semua adalah parlemen jalanan yang tentunya punya potensi
tinggi untuk terjadi kericuhan. Dengan parlemen jalanan yang ricuh menjadi
jalan yang efektif untuk membangunkan pemerintah dari tidurnya, membukakan
telinga mereka, membuka mata hati mereka, membuka mata mereka dan membuka akal
mereka supaya mereka untuk berpikir kembali dengan kebijakan penghilangan
subsidi dari sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Konsekuensi
dari semua gejolak yang ada dalam mahasiswa, masyarakat dan elemen-elemen
lainnya dengan berbagai macam ekspresi yang dilakukan akan mendapatkan berbagai
macam tanggapan juga. Dalam setiap perlemen jalanan baik itu ricuh atau tidak
pasti ada sekelompok orang atau masyarakat akan mengeluh dan mengutuk mereka
yang sering turun dijalanan untuk menyuarakan penentangan terhadap kebijakan
penguasa. Alasan-alasan yang diungkapkan adalah mengganggu ketertiban dan
menyebabkan kerugian besar-besaran bagi pemerintah dan masyarakat sebagaimana
aparat negara dan media membentuk opini itu. Setidaknya bahwa mereka-mereka
telah berjuang dan lebih baik dari pada penguasa dan pembantu-pembantunya yang
bebal. Lebih baik dari mereka yang hanya mengutuk dan tidak pernah memberikan
solusi selain diam menonton kezaliman yang terjadi. Jadi akar semuanya itu
adalah kebijakan dan pemerintah itu sendiri. Kisruh sosial itu sebagai efek
dari semua kebijakan serta pengambil kebijakan dan bukan sebagai sebab. Teruslah untuk berjuang.
Tamalanrea, 30 Maret 2012 Pukul 12.54