Cari Blog Ini

Sabtu, 31 Maret 2012

HURU HARA DEMONSTRASI


Bangsa indonesia khusus selama hampir satu bulan terakhir ini telah dilanda beberapa kerusuhan dalam beberapa demonstrasi yang hampir terjadi diseluruh wilayah yang ada. Benturan fisik telah meluas dan menjadi jalan untuk menyampaikan segala aspirasi agar didengarkan oleh mereka-mereka yang mengambil kebijakan di parlemen dan eksekutif.

Huru-hara atau keributan/kerusuhan/kekacauan [bukan anarkis karena anarkis beda dengan ricuh/ribut/kacau/brutal] telah terbentuk begitu lama dan kembali mencuat kepermukaan akhir-akhir ini di berbagai daerah dalam negara yang namanya indonesia. Dalam beberapa demonstrasi yang terjadi selalu berakhir dengan ricuh, penembakan, dan berbagai macamnya. 

Ada hal yang harus dianalisis bahwa huru-hara tidak terjadi begitu saja tapi ada yang menjadi pemicu. Yang mana kita memahami logika sederhana, setiap akibat pasti punya sebab. Jika huru-hara selalu dilekatkan pada para demonstran maka kita hanya melihat efek dari setiap proses demonstrasi tapi kita tidak pernah melihat masalah dasarnya atau sebabnya. Sebab mahasiswa, masyarakat dan elemen-elemen lain yang melakukan demonstrasi itu adalah karena kebijakan pemerintah dan pemerintah itu sendiri. Selain itu para demonstran juga harus mengevaluasi dari setiap tergetan aksi karena terkadang tujuan aksi dengan metodologi aksi saling bertentangan. Misalnya menolak kenaikan harga BBM dengan menjarah toko serba ada dan membakar mobil perusahaan.    

Ada hal yang menarik dalam setiap proses demonstrasi selama ini adalah kecenderungannya yang disorot adalah aksi yang selalu berakhir dengan ricuh. Kericuhan tidak akan terjadi jika pemerintah mendengarkan apa yang disampaikan oleh para demonstran dengan telinga serta mata hati. Pembentukan opini oleh media dan pemerintah telah menggiring masyarakat banyak pada penumpulan pemikiran dan sifat pengecut atau pecundang kaum intelektual. Banyak aksi demonstrasi secara damai yang tidak terliput oleh media nasional sehingga isu yang dibawa tidak pernah ditanggapi dan berlalu begitu saja.

Dialog, diskusi, seminar, teatrikal, kampanye massa, parlemen jalanan secara damai dan semua bentuk aksi damai tidak terlalu menarik buat media dan pemerintah. Pilihan yang menarik bagi para demonstran adalah aksi dengan setting ricuh. Pernahkah kita berpikir bahwa yang menjadi pemicu huru hara sebenarnya adalah pemerintah itu sendiri [eksekutif, legislatif, yudikatif] tanpa maksud menggeneralisir isu. Huru hara yang diciptakan oleh pemerintah tidak dalam bentuk fisik tapi dalam bentuk kebijakan yang akan selalu diikuti dengan aparat yang akan mengamankan kebijakan itu. Hadirnya aparat [tentara, polisi, preman dll] telah melindungi pemerintah untuk tidak mendengarkan teriakan dan jeritan hati rakyat indonesia yang disampaikan secara damai dan teratur.

Mahasiswa, masyarakat dan elemen-elemen lainnya yang terlibat dalam aksi parlemen jalanan punya potensi untuk terjebak dalam kerusuhan atau kericuhan di dalam aksi itu sendiri. Potensi itu teraktual ketika ada yang memicu atau membuat gerakan tambahan dalam aksi itu sendiri. Saya masih percaya kerusuhan dalam aksi itu sengaja diciptakan untuk merusak semua gerakan yang ada di masyarakat. Tapi siapakah yang menciptakan kerusuhan itu? Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa ada orang-orang yang disusupkan dalam gerakan untuk memancing emosi massa aksi. Intelijen yang disusupkan baik dari mahasiswa itu sendiri, preman, polisi dan tentara bahkan harus tertangkap tangan oleh massa aksi itu sendiri atau dipukuli oleh polisi itu sendiri [tidak semua parlemen jalanan disusupi]. Informasi-informasi intelijen yang tidak akurat dan disampaikan pada badan-bdan yang menangani pertahanan dan keamanan telah menjadi pemicu sehingga memperkeruh suasana di lapangan dalam setiap proses penyampaian aspirasi.

Hadirnya tentara dan polisi yang bersenjata lengkap turut memperkeruh suasana karena massa aksi akan dilihat seperti pengacau atau teroris atau musuh negara dalam kehidupan bernegara sehingga harus disediakan perlengkapan militer untuk mengawal mereka. Militer telah menjadi alat kekuasaan dan diam dalam kezaliman serta melanggengkan penindasan para penguasa. Mereka rela menjaga penguasanya dan menghancurkan pemilik negara itu sendiri yaitu rakyat.

Kembali pada sebab terjadinya huru hara itu sendiri adalah pemerintah dan kebijakannya. Kenapa pemerintah dan kebijakannya dikatakan sebagai pelaku huru hara? Hal ini berangkat dari kenyataan dalam masyarakat bahwa pemerintah dengan wacana menaikkah harga BBM, pencabutan subsidi, komersialisasi sektor-sektor yang berhubungan langsung dengan kehidupan rakyat banyak telah menimbulkan gejolak dalam kehidupan masyarakat sebelum kebijakan itu diberlakukan dengan penuh sehingga model perlawanan diekspresikan dengan berbagai macam pula. Berarti dari kenyataan tersebut kita patut mempertanyakan kembali wacana huru hara yang selalu digemborkan media dan pemerintah. Bukankah dari setiap kebijakan penghapusan, pengurangan dan berbagai macam modelnya yang dihilangkan dari tanggungan negara [hasil pemungutan pajak dari rakyat indonesia] telah menjadi pemicu huru hara itu sendiri dan gejolak dalam masyarakat hanya menjadi efek dari setiap kebijakan yang diambil.

Gejolak dalam masyarakat yang merespon kebijakan secara damai seperti diskusi, seminar dan macam-macamnya yang telah disebutkan tidak terlalu mendapatkan tanggapan yang psoistif dari media, pemerintah dan segala pembantunya. Jadi pilihan untuk mengekspresikan itu semua adalah parlemen jalanan yang tentunya punya potensi tinggi untuk terjadi kericuhan. Dengan parlemen jalanan yang ricuh menjadi jalan yang efektif untuk membangunkan pemerintah dari tidurnya, membukakan telinga mereka, membuka mata hati mereka, membuka mata mereka dan membuka akal mereka supaya mereka untuk berpikir kembali dengan kebijakan penghilangan subsidi dari sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak. 

Konsekuensi dari semua gejolak yang ada dalam mahasiswa, masyarakat dan elemen-elemen lainnya dengan berbagai macam ekspresi yang dilakukan akan mendapatkan berbagai macam tanggapan juga. Dalam setiap perlemen jalanan baik itu ricuh atau tidak pasti ada sekelompok orang atau masyarakat akan mengeluh dan mengutuk mereka yang sering turun dijalanan untuk menyuarakan penentangan terhadap kebijakan penguasa. Alasan-alasan yang diungkapkan adalah mengganggu ketertiban dan menyebabkan kerugian besar-besaran bagi pemerintah dan masyarakat sebagaimana aparat negara dan media membentuk opini itu. Setidaknya bahwa mereka-mereka telah berjuang dan lebih baik dari pada penguasa dan pembantu-pembantunya yang bebal. Lebih baik dari mereka yang hanya mengutuk dan tidak pernah memberikan solusi selain diam menonton kezaliman yang terjadi. Jadi akar semuanya itu adalah kebijakan dan pemerintah itu sendiri. Kisruh sosial itu sebagai efek dari semua kebijakan serta pengambil kebijakan dan bukan sebagai sebab. Teruslah untuk berjuang.

Tamalanrea, 30 Maret 2012 Pukul 12.54

BIAYA MAHAL WACANA KENAIKAN HARGA BBM


Sekitar awal maret pengumuman kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik diumumkan oleh pemerintah telah menjadi malapetaka baru bagi masyarakat indonesia. Sebelum tanggal efektifnya ditetapkan kenaikan harga itu yang mulai tanggal 1 april 2012, banyak hal yang telah terjadi dan menjadi pendahulu kenaikan harga BBM. Mungkin ini adalah hal yang tidak pernah menjadi pertimbangan bagi pemerintah. Gejolak akibat digulirkannya wacana menaikkan harga BBM dengan kenaikkan rata-rata 1.500 rupiah/liter telah membawa masyarakat dan pemerintah kepada hal yang tentunya tidak diinginkan bersama. Biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat akibat wacana itu adalah semakin membengkaknya biaya yang dibutuhkan untuk meloloskan wacana kenaikan harga BBM itu sendiri. 

Dengan lahirnya kebijakan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi telah mendorong pemerintah untuk menambah biaya untuk mengamankan kebijakan ini. Mulai dari biaya untuk membahasnya di badan anggaran DPR sampai pada paripurna DPR. Biaya ini tentunya masyarakat tidak mengetahui seberapa besar biaya yang digelontorkan utuk membahas sebuah kebijakan. Selain itu pemerintah juga harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk membiayai pihak keamanan untuk bekerja ekstra keras dalam mengamankan segala bentuk kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Ataukah logika mengerahkan puluhan ribu pihak militer baik polisi maupun tentara adalah logika bisnis yag harus dijalankan. Jika itu adalah logika bisnis maka semuanya adalah demi kepentingan bisnis militer karena jika militer turun kejalan maka secara otomatis kebutuhan logistik militer untuk mengamankan sebuah kebijakan akan ditambah. Jadi yang mendapatkan keuntungan dari kebijakan ini adalah perusahaan asing yang bermitra sama pemerintah dan bukan rakyat. Bisnis logistik militer dalam setiap pengambilan kebijakan yang mungkin akan mendapatkan penentangan dalam masyarakat luas sudah menjadi keniscayaan dan militer pun akan selalu menguji coba sebagian peralatan militernya kepada masyarakat dan penyuplai pun akan mendapatkan keuntungan dengan huru-hara yang terjadi dalam masyarakat akibat sebuah kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Itu baru dari sisi pemerintah, bagaimana dari sisi masyarakat? Jika kita terus memperhatikan bagaimana pemerintah mengambil kebijakan menaikkan harga BBM maka sebelumnya telah didahului oleh kenaikan harga-harga. Harga sembako telah melambung tinggi, ongkos kendaraan telah mendahului naik, BBM menjadi langka dalam masyarakat, biaya makan menjadi naik, dan semuanya menjadi barang mahal sebelum kebijakan itu diberlakukan. Masyarakat yang menentang kebijakan itu akan mengeluarkan biaya untuk membiayai segala proses penentangan, tapi selama itu menjadi kebutuhan masyarakat maka masyarakat tidak akan mempedulikan biaya yang harus dibayar sesaat untuk menyelamatkan kehidupan banyak orang dalam jangka panjang. Korban yang berjatuhan akibat saling berhadap-hadapannya masyarakat-mahasiswa-polisi dalam demonstrasi penentangan kebijakan kenaikan harga BBM menjadi tinggi karena hampir setiap demonstrasi menuju pada benturan fisik. Selain kerugian material harus dibayar mahal, kerugian non material pun harus ditanggung oleh masyarakat dan mahasiswa. Logika itupun hanya mengorbankan masyarakat dan mahasiswa yang hanya bersenjatakan megafon, spanduk kata-kata, spanduk perangkat aksi lainnya harus berlawanan dengan gas air mata, water canon, peluru karet dan senjata militer lainnya. 

Bagaimana dengan pegawai negeri rendahan, buruh, atau mereka yang bekerja di instansi pemerintahan? Jika buruh dan pegawai yang bekerja di instansi pemerintah atau swasta belum lama menikmati kenaikan gaji mereka dan sekarang diperhadapkan dengan kenaikan harga barang-barang dengan kenaikan harga bahan bakar minyak maka sebenarnya gaji yang mereka terima tidak ada artinya karena harga kebutuhan telah melambung lebih dahulu. Jadi yang sengaja menciptakan huru-hara dalam masyarakat adalah pemerintah itu sendiri. Ketika huru-hara sudah terjadi dalam masyarakat maka akan ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dalam huru-hara tersebut. Perusahaan yang bergerak dalam militer akan terus mengucurkan peralatan militer kepada pihak keamanan, perusahaan yang bergerak dalam sektor BBM akan meraup keuntungan lebih tinggi dan pengusaha-pengusaha kelas atas. Selain itu, strategi ini bisa menjadi alat untuk mengembalikkan citra politik penguasa ditengah keterpurukan yang melanda pemerintahan. 

Kerugian akibat kebijakan dan huru hara itu akan ditanggung oleh masyarakat. Masyarakat yang akan menanggung biaya akibat kerugian itu dengan memberikan subsidi kepada negara dengan melalui pajak masyarakat dan bukan negara yang mensubsidi masyarakat. jadi logika yang hadir adalah negara hadir sebagai penindas bagi rakyatnya sendiri. Biaya perjuangan masyarakat memang sangat mahal, tapi itu adalah untuk masa depan anak-cucu dan orang lain yang akan hidup berpuluh-puluh tahun kemudian.. Teruslah untuk berjuang!!!

Tamalanrea, 28 Maret 2012 pukul 12.22

Kamis, 29 Maret 2012

TIPOLOGI MAHASISWA


Mahasiswa adalah kelompok masyarakat yang sangat unik. Unik karena semua pelajar yang ada di Indonesia hanya kelompok merekalah yang menyandang status maha. Ditangan mereka pula perubahan di negeri ini tergenggam. Di dalam diri mereka pengetahuan itu tersimpan. Tetapi tidak sedikit dari mereka menjadi pengkhianat di negeri ini. Dengan pengetahuannya mereka mengkhianati kebenaran, keadilan dan kemanusiaan. Di tangan mereka pengetahuan diperdebatkan. Di tangan mereka para rezim ditumbangkan. Di tangan mereka juga penindasan dilanggengkan. Di dalam jiwa mereka keangkuhan terpatri. Tapi diantara semua itu tentunya kita masih punya harapan. Harapan untuk bangkit, harapan untuk menatap masa depan yang cerah. Dibawah ini ada beberapa tipologi mahasiswa yang coba diidentifikasi dalam sebuah seminar wawasan kebangsaan dengan tema “pemuda dan ideologi bangsa” dan diklasifikasikan dalam beberapa bagian, yaitu: 

Pertama, Mahasiswa ideologis adalah orang yang mempunyai pegangan yang kuat mengenai jalan kesempurnaan dan dalam setiap aktivitasnya selalu konsisten pada nilai yang dipegangnya. Pada dasarnya mahasiswa seperti ini [ideologis] sangat sedikit dalam kampus dan cenderung ditinggalkan oleh temannya yang tidak sepaham. Mereka biasanya berbagi tugas dalam sebuah gerakan. Mahasiswa ideologis selalu berbicara masalah kebenaran, keadilan dan kemanusiaan. Mereka terus memperjuangkan hal itu dan sangat jarang kita akan menemukan mereka berada dalam penyimpangan antara apa yang dikatakan dan diperbuatnya. Kelompok mereka ini akan selalu menjadi perdebatan karena kehidupannya menyimpang dari kehidupan mahasiswa pada umumnya yang lebih banyak diam walaupun nyawanya sudah mau dicabut dan suka hura-hura. 

Kedua, Mahasiswa organisatoris adalah orang yang berada dalam sebuah organisasi yang selalu berjalan dengan rutinitas keseharian dan dalam setiap aktivitas keseharian tidak memiliki tujuan jangka panjang. Pada dasarnya mereka adalah kelompok yang lebih besar dari kelompok mahasiswa ideologis. Jadi dalam setiap aktivitasnya mereka hanya ingin menyelesaikan dan memikirkan masalah yang tampak dipermukaan sebagaimana yang sering dilakukan pemerintah. Mahasiswa seperti ini kecenderungan kuatnya pada pragmatisme dan individualisme yang hanya memikirkan apa yang akan diperbuat sekarang dan besok dan apa keuntungannya. Ketika keuntungan bagi dirinya tidak ada maka kegiatan itu tidak akan berjalan maksimal dan asal-asalan saja atau tidak ada keikhlasan dalam segala aktivitasnya untuk orang lain. Untuk memikirkan apa yang harus diperbuat hari ini dan dampaknya satu tahun atau beberapa tahun kedepannya sangat  minim. Dalam kuliahpun mereka hanya mempelajari apa yang disampaikan sama penceramah yang sangat terikat dari satu buku [dosen] dan jarang untuk memikirkan secara mendalam dari ceramah yang didapatkan dari penceramah yang menjadi dogma. 

Ketiga, Mahasiswa penggembira adalah orang yang berada dalam sebuah kampus hanya untuk menjadi penonton dan penggembira bagi orang lain. Pada dasarnya mereka tidak punya ideologi yang jelas dan orientasi kehidupan juga yang tidak jelas.  Mahasiswa seperti ini tidak mau berpikir lebih filosofis dan lebih mengikut atau larut dalam realitas sehingga kecenderungannya pada pragmatisme, hedonisme dan individualisme. Kelompok mahasiswa seperti ini muncul ketika ada kegiatan yang tingkat aktualisasi individu-individu sangat tinggi. Misalnya pada saat Ospek dan Bina Akrab atau juga hanya ada pada saat ada acara makan-makan. Jumlah mereka sangat banyak bahkan merupakan kelompok dominan dalam kampus. Mereka kurang mau terlibat dalam kegiatan-kegiatan kampus yang tingkat aktualisasi dirinya sangat rendah [lebih suka hura-hura]. 

Keempat, Mahasiswa preman adalah orang-orang yang berlagak seperti jagoan dalah artian secara fisik dan mereka menganggap diri sebagai orang-orang yang paling berkuasa dan menjadi sosok menakutkan dalam kampus. Kelompok ini tidak punya pegangan ideologi yang kuat dan kecenderungannya pula pada pragmatisme. Mereka biasanya jago ketika berkelompok. Mereka adalah kelompok yang kecil dan selalu membuat permasalahan. Mereka selalu berjalan atas nama solidaritas kelompok dan biasa orang menamakannya sebagai solidaritas buta. Mereka biasa ditemui ketika pada saat-saat ospek, bina akrab dan tawuran untuk aktualisasi diri dan setelah melakukan “ritual preman” mereka lari dan tidak mempertanggungjawabkan tindakannya, mereka juga biasa disebut sebagai preman kesiangan. Biasanya mahasiswa seperti ini susah untuk diajak diskusi dalam menyelesaikan masalah ketika kebencian dalam dirinya memuncak dan segala permasalahan dengan orang lain harus diselesaikan dengan kekerasan fisik.

Catatan atas seminar wawasan kebangsaan oleh KEMASOS

Minggu, 04 Maret 2012

Falsafah Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara Mieno Wuna















Hansuru-hansuru mbadha, sumano konohansuru liwu
(hancur-hancurlah badan, asalkan kampung tidak hancur)
Hansuru-hansuru liwu, sumano konohansuru adhati
(hancur-hancurlah kampung, asalkan adat istiadat tidak hancur)
Hansuru-hansuru adhati, sumano konohansuru agama
(hancur-hancurlah adat istiadat, asalkan agama tidak hancur)
 
Kalimat-kalimat diatas adalah kalimat yang pernah diajarkan kepada saya. Saya lupa siapa yang pertama kali mengajarkannya, apakah  orang tua kandung, kakek atau nenek saya. Yang jelas bahwa kalimat-kalimat diatas tidak pernah penulis diajarkan dibangku sekolah formal dari TK-SMA walaupun dari SD-SMP belajar mata pelajaran muatan lokal. Ungkapan-ungkapan yang begitu indah tapi kemungkinan sudah hilang dari masyarakat. Lunturnya pengetahuan tentang falsafah kehidupan mieno wuna tersebut tidak terlepas dari kurangnya peran keluarga, pendidikan formal dan pemerintah daerah  dalam mengajarkan apa yang sebenarnya menjadi pegangan dalam kehidupan bermasyarakat yang menjadi warisan kehidupan pada zaman kehidupan kerajaan. 

Hancurnya tatanan kehidupan dalam masyarakat Muna hari ini sebagai akibat dari tinggalkannya falsafah kehidupan yang ada dan menjadi warisan budaya dalam masyarakat Muna. Entah falsafah itu dituangkan secara tertulis atau tidak. Kenyataan yang harus disaksikan oleh generasi muda adalah berantakannya kehidupan dalam pemerintahan, masyarakat dan keluarga. Kecenderungan masyarakat kota dalam kehidupan individualis mulai juga merasuki masyarakat pedesaan. Dikala masyarakat sudah terjebak pada logika kehidupan materialisme pada saat itu juga sebenarnya kita akan menjemput kehancuran daerah.

Para pemimpin yang hadir di daerah baik legislatif, eksekutif dan yudikatif tidak lagi memegang prinsip kehidupan yang ada dalam masyarakat yang biasa kita menyebutnya kearifan lokal. Indikator tidak dipegangnya lagi kearifan lokal itu adalah orientasi pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan adalah untuk mencari pelayanan terhadap diri sendiri, keluarga dan kelompoknya sehingga fenomena yang kita saksikan adalah APBD kebanyakan lari untuk membiayai hal-hal yang tidak perlu di lakukan. 

Munculnya pembangunan gelanggang olahraga dengan melakukan penimbunan laut, munculnya pembangunan gedung PEMKAB dan DPRD yang baru, munculnya pembangunan gedung-gedung baru, munculnya rumah jabatan bupati yang begitu mewah, habisnya kas daerah pada saat pergantian kepala daerah, dan tentunya masih ada juga hal lain yang tidak dipahami sama masyarakat. Hancurnya hutan jati di semua wilayah kabupaten Muna, hancurnya jalan raya yang hampir disemua di wilayah kabupaten Muna, pemotongan gaji pegawai yang tidak jelas arahnya, mutasi pejabat yang tidak jelas arahnya dan cenderung merugikan para pegawai sebagai korban perpolitikan busuk para bajingan dan elit daerah.

Jika dalam falsafah diatas di ungkapkan bahwa “hansuru-hansuru mbhadha, sumano konohansuru liwu”, tapi kenyataan adalah daerah sudah menuju kehancuran tetapi para elitnya terus menikmati hasil pajak masyarakat dan uang yang bersumber dari penjualan hasil sumber daya alam daerah. Dan merekalah (pejabat, keluarga, dan kelompoknya) yang menikmati semuanya, sedangkan masyarakat terus mengalami kesengsaraan. 

Jika dalam falsafah diungkapkan bahwa “hansuru-hansuru liwu, sumano konohansuru adhati”. Kenyataan bahwa kampung sudah menjalani proses penghancuran dan adat-istiadat dalam masyarakat juga sudah mulai ditinggalkan sebagai hukum yang tidak tertulis dan kecenderungan kita pada adat budaya modern yang berlandaskan pada logika materialisme dan inilah yang dipegang oleh para elit daerah.

Jika dalam falsafah diungkapkan bahwa “hansuru-hansuru adhati, sumano konohansuru agama”, kenyataan bahwa adat istiadat sudah mulai luntur dari masyarakat dan agama tidak lagi menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pertanyaan sederhana bagi generasi muda adalah apakah kita masih memegang falsafah kehidupan yang dimiliki oleh daerah Muna? 

Jika agama menjadi sesuatu yang terpenting dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, maka agama sekarang hanya menjadi sebuah ritual dan penuh ibadah tanpa makna. Agama yang hadir adalah agama yang sudah tercerabut dari akar-akarnya, agama hanya sebagai simbolitas untuk mencapai kepentingan pribadi. Agama hanya hadir sebagai hukum yang kaku yang tidak ada kritik didalamnya, dan ketika tidak ada kritik didalamnya maka pada saat itu menegakkan semua mitos kehidupan tentang agama.

Falsafah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diwariskan oleh para pendahulu kita sebagai bentuk kearifan lokal telah diputarbalikkan oleh generasi mudanya. Generasi muda telah larut dalam glamour kehidupan modern dan melupakan identitasnya sebagai mieno wuna yang datang dengan kearifan tersendirinya. Generasi muda mieno wuna kecenderungannya lebih suka budayanya orang, budaya yang tidak berasal dari masyarakatnya sendiri dan akhirnya menjadi sebuah kebablasan dalam kebudayaan masyarakat Muna.  

Falsafah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dipegang oleh mieno wuna hari ini adalah :
Hansuru-hansuru agama, sumano konohansuru adhati
(hancur-hancurlah agama, asalkan adat istiadat tidak hancur)
Hansuru-hansuru adhati, sumano konohansuru liwu
(hancur-hancurlah adat istiadat, asalkan kampung tidak hancur)
Hansuru-hansuru liwu, sumano konohansuru mbhadha.
(hancur-hancurlah kampung, asalkan badan tidak hancur)

Falsafah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagian mieno wuna telah berubah. Jika warisan para leluhur menempatkan agama sebagai puncak dari kearifan lokal dan badan sebagai sesuatu yang rendah dan hina dan tidak begitu penting, maka generasi muda mieno wuna hari ini menempatkan agama sebagai kearifan yang rendah dan badan yang material sebagai puncak dari kearifan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kenyataanlah yang akan mengantarkan pada kita untuk memahami bahwa falsafah itu memang telah diputarbalikkan. Pemutarbalikkan itu telah dimulai dari para elit daerah. Mereka telah mendudukkan kekuasaannya untuk mencapai segala kepentingan individu, keluarga maupun kelompoknya. Mereka telah membangun penguasaannya terhadap masyarakat dengan despotisme. Falsafah kehidupan yang diwariskan para leluhur kita pada saat itu adalah untuk meruntuhkan despotisme manusia dan menempatkan agama pada puncak kearifan bukan malah sebaliknya..

Tamalanrea-Makassar, 13 Februari 2012 / 20:34

Jumat, 02 Maret 2012

“Aku Lebih Baik Dari Dia”


Mencermati kondisi ke-Indonesia-an kita kekinian sangatlah menyedihkan. Berbagai macam konflik dalam masyarakat baik di akar rumput maupun elit terus bermunculan di permukaan. Konflik antar suku yang terjadi dibeberapa daerah, bentrok antara pendukung kandidat dalam pilkada yang kadang merenggut nyawa, konflik antara ORMAS dengan institusi pemerintahan, ORMAS yang suka main hakim sendiri dalam menyelesaikan konflik, kelompok agama yang satu yang suka menyerang  kelompok agama lain, suatu kelompok agama yang suka mengkafirkan kelompok lain, politikus yang suka menindas, penguasa yang despotik, ulama yang suka “menjilat” pada penguasa, mahasiswa penjilat, ilmuwan yang materialis, negarawan yang falsafahnya karung nasi. 

Manusia yang hadir dizaman modern adalah manusia yang individual [tanpa menggeneralisir] dan itu adalah konsekuensi dari perkembangan zaman yang sangat ganas dan tidak ada filter dalam sebuah masyarakat. jika kita memperhatikan banyak hal yang terjadi dalam masyarakat, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat kita hari ini cenderung pada individualisme dan menganggap dirinya yang paling baik diantara yang lain. 

Dalam Q.S Al.A’raaf [7] ayat 12. Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah."

Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa ungkapan atau kalimat “aku lebih baik dari dia” adalah kalimat yang pertama kali diungkapkan oleh iblis kepada tuhannya untuk membantah penciptaan adam. Konsep aku lebih baik daripada dia adalah konsep yang tidak hanya diterapkan pada individu-individu manusia, tetapi konsep yang dapat diterapkan pada keluarga, kelompok, suku, bangsa, ras dan mazhab pemikiran. Jika seoarang anak manusia mengatakan bahwa dia lebih baik dari manusia yang lain maka pada saat itu juga sebenarnya terjebak dalam kerangka individualisme dan kesombongan, kerangka yang tidak menghasilkan keharmonisan dan keberlanjutan kehidupan dalam alam semesta.

Jika kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menerapkan ungkapan tersebut maka pada dasarnya kita menjatuhkan diri kita dalam jurang kehinaan. Hal yang sangat sederhana tapi rumit ketika kita menganalisis pernyataan yang ada di ayat tersebut karena kita harus mengidentifikasi bagaimana sebenanrnya dan dimana kita bisa mengklasifikasikan ayat tersebut dalam realitas kehidupan bermasyarakat.

Dalam kehidupan kita menyaksikan bahwa para penguasa sering menganggap dirinya paling baik [cerdas, tahu segalanya, mampu dll] dan mengaggap masyarakat itu adalah orang-orang bodoh yang hanya bisa mendengarkan ceramah dari pemerintah. Sehingga yang hadir adalah kebijakan seragam yang tidak memperhatikan keunikan budaya yang ada di indonesia. Contoh yang paling dekat dengan kita adalah para penguasa yang ada di institusi pendidikan. Penguasa yang ada didalamnya tidak melihat peserta didik sebagai manusia yang punya keunikan tersendiri. Peserta didik hanya dilihat sebagai objek yang siap untuk menerima resep-resep dari para penguasa karena mereka menganggap bahwa merekalah yang lebih tahu kebutuhan pendidikan untuk peserta didik. Ini juga sebagai konsekuensi kehidupan di zaman modern yang mana permasalahan individu-individu hanya bisa dipecahkan oleh ilmuwan padahal yang lebih mengetahui kebutuhan individu adalah individu itu sendiri.

Dalam kehidupan juga kita akan menyaksikan para ulama yang berdebat diantara para ulama yang menganggap dirinya lebih hebat dari ulama yang lain sehingga membingungkan masyarakat dari perdebatan mereka dan lahirlah keputusan yang tidak bijak dan tidak adil. Pertentangan pemikiran diantara para ulama yang menghasilkan golongan-golongan yang terkadang pertentangan tersebut tidak dilihat secara arif oleh orang-orang yang mengikuti ulama sehingga yang muncul adalah fanatisme golongan. Fanatisme golongan memunculkan penindasan baru dengan atas nama agama. Fanatisme golongan melahirkan kekakuan cara berpikir dan bertindak dalam kehidupan karena segala sesuatunya sudah dianggap final dan tidak ada lagi perdebatan didalamnya. Padahal dalam keberagamaan para ulama dan kita hanya mengikuti riwayat yang ada dan begitu banyak dan tentunya kita hanya mengikuti riwayat yang kita bisa buktikan secara rasional dan tidak bertentangan antara dalil aqli dan naqli.

Selain itu adalah kaum intelektual yang selalu menganggap dirinya paling mengerti semua permasalahan dan jawaban yang ada dan saling menjatuhkan dengan hujjah-hujjah yang mereka munculkan sehingga yang hadir adalah tidak bertemunya arah pemikiran mereka dalam masyarakat. Di sisi lain muncul golongan intelektual yang bersekongkol dengan kekuasaan, dan ulama untuk melanggengkan penindasan. Hadirnya orang-orang yang notabene punya pengetahuan didalam masyarakat, tetapi pengetahuan tersebut tidak digunakan untuk mengantarkan umat manusia pada pembebasan. Pengetahuan yang dimiliki hanya digunakan untuk memecah belah kaum intelektual itu sendiri dan mengelompokkan diri kedalam berbagai kelompok-kelompok. Pengetahuan yang dimiliki satu kelompok selalu dianggap lebih unggul dari kelompok yang lain dan dari hal itu melahirkan kebencian dalam kehidupan kaum intelektual.   

Problematika lain yang hadir dalam kehidupan kita hari ini adalah menguatnya pandangan yang selalu menganggap dirinya lebih baik dari orang lain. Lebih baik dalam artian selalu menganggap diri, keluarga, keturunan, suku, bangsa, ras dan agamanya yang paling unggul. Dan terciptalah struktur masyarakat yang saling menghancurkan ketika tidak sama pandangannya tentang realitas kehidupan. Konflik kesukuan, konflik keagamaan dan banyak konflik yang lain yang hadir dalam masyarakat dan itu menandakan bahwa pandangan kehidupan bermasyarakat kita masih menatap masa depan yang sangat suram. Manusia indonesia tidak sampai pada persatuan karena yang ditonjolkan adalah perbedaan agama, fikih, kekayaan, suku, ras, jabatan dan ideologi. 

Manusia indonesia hari ini sampai pada persaudaraan di wilayah basyariah, sampai pada persaudaraan di wilayah keyakinan dalam satu agama dan satu mazhab pemikiran akan tetapi tidak sampai pada pandangan bahwa mereka adalah sama-sama anak manusia, dan mereka adalah makhluk ciptaan Tuhan yang berada di alam semesta yang begitu luas. Logika menganggap diri ini yang paling baik adalah mengantarkan kita pada sikap angkuh, hasud, penjilat, dengki, iri hati, dan penyakit hati yang lain. Ketika pandangan kita tentang semesta kemanusiaan tidak pernah sampai maka berharap untuk menjalankan ukhuwah insaniyah juga hal yang mustahil untuk diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat. Alih-alih meneriakkan persatuan umat manusia, tetapi yang sering dipraktekkan adalah despotisme [kesewenang-wenangan] oleh mereka-mereka yang menganggap dirinya paling baik diantara yang lain.

Tamalanrea, 30 RaA 1433 H/23 Februari 2012 M  pukul 23.55

BUNGA, LILIN dan MULUT

Ada yang mengirim bunga ada yang membakarnya,  Ada yang menyalakan lilin ada yang memadamkannya,  Semuanya tersulut dari mulut kebencian. ...