Cari Blog Ini

Selasa, 23 Februari 2016

PERCAKAPAN TERAKHIR AHMAD JALALUDDIN

Pagi itu, di hari jumat yang penuh berkah, saya berniat ke kampus untuk menyelesaikan sebuah urusan. Melepaskan sejenak aktivitas di Lingkar Donor. Sebelum berangkat, saya membeli kudapan ringan di warung pinggir jalan dekat rumah dan menikmatinya sebagai sarapan pagi bersama dua orang teman. Sarapan pagi itu menjadi nikmat. Nikmat karena pagi-pagi sudah mendengar celotehan teman tentang persoalan sosial agama di zaman modern. Persoalan yang sudah menjadi benang kusut dalam pikirannya. Telepon genggam yang telah banyak membantu beberapa kali berdering di lantai dekat tas. Rupanya ada panggilan masuk dari nomor yang saya tidak kenal. Seperti biasa pikiran saya tertuju mungkin ada pasien baru dari luar Makassar.  

Dengan rasa penasaran saya menerimanya dan mungkin dari keluarga pasien. Saya segera memberi salam. Dari balik telepon itu saya sedikit mengenali suaranya. Dengan cepat beliau memanggil nama saya dan berkata “saya bapaknya aliyah muthmainnah dari bone.” Saya kemudian bertanya bagaimana kabar dan kondisinya pak? Kapan sampai di Makassar? Setelah menjawab basa basi, kemudian  beliau menyampaikan kabar yang kurang mengenakkan. Beliau berkata “Ahmad dalam kondisi kritis.” Dengan cepat saya menjawab, “saya segera kesana pak.” Dengan bantuan teman saya meluncur ke rumah sakit. Saya lupa siapa dari dua teman yang mengantar saya ke rumah sakit pagi itu. Dalam perjalanan, telepon genggam terus berdering, sesekali saya mengangkat dan menjawabnya “tunggu iya pak, saya sementara dalam perjalanan ke rumah sakit dan sudah dekat.” Rupanya beliau memberitahukan kalau Ahmad Jalaluddin sudah pergi untuk selama-lamanya dan telah meninggalkan keluarganya. Inna lillaahi wa inna ilaihi roji’un.

Sampai di rumah sakit, saya langsung menuju kamar pemulasaran jenazah. Kemudian mengirim pesan singkat tentang kabar duka ke teman-teman Lingkar Donor yang telah banyak membantu selama perawatan di rumah sakit. Sembari menemani keluarga yang berduka, saya mendengarkan tuturan paman yang merawatnya sejak kecil. Di ruang pemulasaran jenazah itu juga saya ngobrol sama bapaknya aliyah yang memberikan kabar tadi. Mereka menuturkan kalau ahmad tidak sampai 15 menit menjalani perawatan di ruang PICU. Sebelum itu, almarhum Ahmad ketika masih terbaring di bangsal lontara sudah membuka alat bantu pernapasan yang terpasang di mulut dan hidungnya. Beliau juga meminta perlengkapan infus yang terpasang untuk dicabut dari tangannya. Lalu beliau meminta Hp untuk menghubungi bapaknya yang bermukim di Sidrap. Beliau hanya ingin mengucapkan kata “maaf” kepada bapaknya. Apakah beliau sudah mengetahui waktu kepergiannya dan orang lain bisa memahaminya? Wallahu alam. Rupanya itu adalah pembicaraan terakhir dengan bapaknya sebelum beliau melepas kesadarannya dan memejamkan matanya serta pergi untuk selama-lamanya. 

Hari itu juga jasadnya sekitar jam 11 pagi dari ruang pemulasaran jenazah RSWS dibawa ke bulukumba dengan mobil ambulance. Tentu ambulance yang dipakainya tidak gratis. Pamannya bertutur kalau ayahnya akan bertemu dengannya di bulukumba. Bertemu dalam bentuk putranya yang sudah menjadi mayat dan kaku. Tidak mendengar dan tidak menyahut lagi. Jasad yang tidak pernah disaksikannya ketika beliau menjalani hidup dan menghabiskan hari-harinya di bangsal rumah sakit. Beliau pergi dengan harapan untuk berjumpa dengan ayahnya. Harapan untuk berjumpa yang tidak pernah tercapai selama beliau terbaring lemah di rumah yang asing yang tidak diharapkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUNGA, LILIN dan MULUT

Ada yang mengirim bunga ada yang membakarnya,  Ada yang menyalakan lilin ada yang memadamkannya,  Semuanya tersulut dari mulut kebencian. ...