Pagi itu, di hari jumat yang penuh berkah,
saya berniat ke kampus untuk menyelesaikan sebuah urusan. Melepaskan sejenak
aktivitas di Lingkar Donor. Sebelum berangkat, saya membeli kudapan ringan di
warung pinggir jalan dekat rumah dan menikmatinya sebagai sarapan pagi bersama
dua orang teman. Sarapan pagi itu menjadi nikmat. Nikmat karena pagi-pagi sudah
mendengar celotehan teman tentang persoalan sosial agama di zaman modern. Persoalan
yang sudah menjadi benang kusut dalam pikirannya. Telepon genggam yang telah banyak
membantu beberapa kali berdering di lantai dekat tas. Rupanya ada panggilan
masuk dari nomor yang saya tidak kenal. Seperti biasa pikiran saya tertuju
mungkin ada pasien baru dari luar Makassar.
Dengan
rasa penasaran saya menerimanya dan mungkin dari keluarga pasien. Saya segera
memberi salam. Dari balik telepon itu saya sedikit mengenali suaranya. Dengan
cepat beliau memanggil nama saya dan berkata “saya bapaknya aliyah muthmainnah
dari bone.” Saya kemudian bertanya bagaimana kabar dan kondisinya pak? Kapan
sampai di Makassar? Setelah menjawab basa basi, kemudian beliau menyampaikan kabar yang kurang
mengenakkan. Beliau berkata “Ahmad dalam kondisi kritis.” Dengan cepat saya
menjawab, “saya segera kesana pak.” Dengan bantuan teman saya meluncur ke rumah
sakit. Saya lupa siapa dari dua teman yang mengantar saya ke rumah sakit pagi
itu. Dalam perjalanan, telepon genggam terus berdering, sesekali saya mengangkat
dan menjawabnya “tunggu iya pak, saya sementara dalam perjalanan ke rumah sakit
dan sudah dekat.” Rupanya beliau memberitahukan kalau Ahmad Jalaluddin sudah
pergi untuk selama-lamanya dan telah meninggalkan keluarganya. Inna lillaahi wa inna ilaihi roji’un.
Sampai di rumah sakit, saya langsung menuju kamar
pemulasaran jenazah. Kemudian mengirim pesan singkat tentang kabar duka ke
teman-teman Lingkar Donor yang telah banyak membantu selama perawatan di rumah
sakit. Sembari menemani keluarga yang berduka, saya mendengarkan tuturan paman
yang merawatnya sejak kecil. Di ruang pemulasaran jenazah itu juga saya ngobrol
sama bapaknya aliyah yang memberikan kabar tadi. Mereka menuturkan kalau ahmad
tidak sampai 15 menit menjalani perawatan di ruang PICU. Sebelum itu, almarhum
Ahmad ketika masih terbaring di bangsal lontara sudah membuka alat bantu
pernapasan yang terpasang di mulut dan hidungnya. Beliau juga meminta
perlengkapan infus yang terpasang untuk dicabut dari tangannya. Lalu beliau
meminta Hp untuk menghubungi bapaknya yang bermukim di Sidrap. Beliau hanya
ingin mengucapkan kata “maaf” kepada bapaknya. Apakah beliau sudah mengetahui
waktu kepergiannya dan orang lain bisa memahaminya? Wallahu alam. Rupanya itu
adalah pembicaraan terakhir dengan bapaknya sebelum beliau melepas kesadarannya
dan memejamkan matanya serta pergi untuk selama-lamanya.
Hari
itu juga jasadnya sekitar jam 11 pagi dari ruang pemulasaran jenazah RSWS dibawa
ke bulukumba dengan mobil ambulance. Tentu ambulance yang dipakainya tidak
gratis. Pamannya bertutur kalau ayahnya akan bertemu dengannya di bulukumba.
Bertemu dalam bentuk putranya yang sudah menjadi mayat dan kaku. Tidak
mendengar dan tidak menyahut lagi. Jasad yang tidak pernah disaksikannya ketika
beliau menjalani hidup dan menghabiskan hari-harinya di bangsal rumah sakit.
Beliau pergi dengan harapan untuk berjumpa dengan ayahnya. Harapan untuk berjumpa
yang tidak pernah tercapai selama beliau terbaring lemah di rumah yang asing
yang tidak diharapkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar