Cari Blog Ini

Minggu, 06 Maret 2016

AIR MATA PRIA PARUH BAYA



Tempo hari, beberapa bulan sebelum akhir tahun 2012, di ruang tunggu pelayanan darah UTD Provinsi SULSEL saya terduduk bisu. Tanpa sepatah kata dan tak menyapa orang-orang yang lalu lalang. Salah satu pegawai sempat bertanya “keluarganya siapa pak? Butuh darah apa?” Saya tersenyum. Awalnya bingung mau jawab apa. Karena yang datang ke tempat itu kan kalau bukan petugas, iya, orang-orang yang mencari darah. Saya duduk membisu di kursi antrian paling belakang. Aktivitas saya cuma membuka kontak-kontak di handphone sesekali menggerakkan mata untuk melihat orang-orang yang datang. Ada yang sedih, ada yang panik, ada yang penuh harap, ada yang memaksa, dan berbagai macam model ekspresi wajah.

Di ruang tunggu pelayanan saya melihat seorang laki-laki paruh baya meneteskan air mata. Beliau duduk di kursi antrian barisan paling depan. Bagian ujung dekat pintu masuk. Dengan suara lirih beliau terus bertanya pada dirinya. Sesekali saya membuka kembali kontak-kontak yang ada di handphone. Samar-samar saya mendengar “dimana saya bisa mendapatkan darah atau orang-orang yang sukarela untuk menyumbangkan darahnya?” Beliau gelisah dan berdiri menyeka air matanya. Sesekali bertanya pada petugas pelayanan. Beliau mendesak petugas pelayanan tapi apa boleh buat stock darah lagi kosong. Beliau beralih kepembicaraan lain untuk meminta bantuan. Beliau disarankan ke UTD PMI.  

Saya masih mengingatnya pagi itu, masih pagi benar. Orang-orang baru berangkat ke tempat kerja masing-masing. Dengan suara lirih beliau datang dan bertanya kepada saya. Apakah saya bisa membantunya? Beliau berkata butuh bantuan donor darah beberapa kantong untuk putranya yang sedang sakit. Kemudian saya mengajaknya bercerita sebentar tentang putra semata wayangnya. Beliau bercerita dengan suara lirih serta mata berkaca-kaca membuat saya terhenyuk. Saya berusaha untuk tidak menampakkan kesedihan. Cukuplah bagi saya untuk menguatkan dirinya dengan tidak menampakkan kesedihan dihadapannya. 

Setelah itu beliau kembali ke rumah sakit untuk menjaga putranya. Saya mengatakan “saya usahakan dan tidak janji darahnya cepat atau bisa terpenuhi semua hari ini iya pak. Minta doanya, mudah-mudahan ada teman-teman mahasiswa yang mau mendonorkan darahnya secara sukarela.” Memang aturan Lingkar Donor dari awal untuk tidak memberikan janji ke keluarga pasien untuk bisa memenuhi kebutuhan darah hari itu juga. Setelah beliau pergi, saya terdiam sejenak. Bagaimana caranya iya? Saya tidak memiliki kemampuan membujuk orang supaya mereka mau mendonor. 

Permintaannya beberapa kantong golongan darah B rhesus positif. Lumayan banyak karena yang dibutuhkan komponen khusus trombosit. Berarti membutuhkan orang-orang yang memiliki bobot badan di atas 50 kg untuk mendonorkan darahnya. Kebutuhan untuk transfusi buah hatinya yang sedang terbaring lemah di bangsal rumah sakit. Buah hati semata wayangnya yang baru berumur tujuh tahun. Saya mencoba mengirim pesan singkat, sesekali menelepon ke teman-teman dekat yang ada di kampus. Mungkin diantara mereka ada yang memiliki golongan darah itu. Atau mereka punya teman yang bisa membantu mendonorkan darahnya yang memenuhi persyaratan untuk donor.   

BUNGA, LILIN dan MULUT

Ada yang mengirim bunga ada yang membakarnya,  Ada yang menyalakan lilin ada yang memadamkannya,  Semuanya tersulut dari mulut kebencian. ...