Tempo hari, beberapa bulan sebelum akhir tahun 2012, di ruang
tunggu pelayanan darah UTD Provinsi SULSEL saya terduduk bisu. Tanpa sepatah
kata dan tak menyapa orang-orang yang lalu lalang. Salah satu pegawai sempat bertanya
“keluarganya siapa pak? Butuh darah apa?” Saya tersenyum. Awalnya bingung mau
jawab apa. Karena yang datang ke tempat itu kan kalau bukan petugas, iya,
orang-orang yang mencari darah. Saya duduk membisu di kursi antrian paling
belakang. Aktivitas saya cuma membuka kontak-kontak di handphone sesekali
menggerakkan mata untuk melihat orang-orang yang datang. Ada yang sedih, ada
yang panik, ada yang penuh harap, ada yang memaksa, dan berbagai macam model
ekspresi wajah.
Di ruang tunggu pelayanan saya melihat seorang laki-laki paruh baya
meneteskan air mata. Beliau duduk di kursi antrian barisan paling depan. Bagian
ujung dekat pintu masuk. Dengan suara lirih beliau terus bertanya pada dirinya.
Sesekali saya membuka kembali kontak-kontak yang ada di handphone. Samar-samar saya
mendengar “dimana saya bisa mendapatkan darah atau orang-orang yang sukarela
untuk menyumbangkan darahnya?” Beliau gelisah dan berdiri menyeka air matanya.
Sesekali bertanya pada petugas pelayanan. Beliau mendesak petugas pelayanan
tapi apa boleh buat stock darah lagi kosong. Beliau beralih kepembicaraan lain
untuk meminta bantuan. Beliau disarankan ke UTD PMI.
Saya masih mengingatnya pagi itu, masih pagi benar. Orang-orang
baru berangkat ke tempat kerja masing-masing. Dengan suara lirih beliau datang
dan bertanya kepada saya. Apakah saya bisa membantunya? Beliau berkata butuh
bantuan donor darah beberapa kantong untuk putranya yang sedang sakit. Kemudian
saya mengajaknya bercerita sebentar tentang putra semata wayangnya. Beliau bercerita
dengan suara lirih serta mata berkaca-kaca membuat saya terhenyuk. Saya
berusaha untuk tidak menampakkan kesedihan. Cukuplah bagi saya untuk menguatkan
dirinya dengan tidak menampakkan kesedihan dihadapannya.
Setelah itu beliau kembali ke rumah sakit untuk menjaga putranya. Saya
mengatakan “saya usahakan dan tidak janji darahnya cepat atau bisa terpenuhi
semua hari ini iya pak. Minta doanya, mudah-mudahan ada teman-teman mahasiswa
yang mau mendonorkan darahnya secara sukarela.” Memang aturan Lingkar Donor
dari awal untuk tidak memberikan janji ke keluarga pasien untuk bisa memenuhi
kebutuhan darah hari itu juga. Setelah beliau pergi, saya terdiam sejenak.
Bagaimana caranya iya? Saya tidak memiliki kemampuan membujuk orang supaya
mereka mau mendonor.
Permintaannya beberapa kantong golongan darah B rhesus positif.
Lumayan banyak karena yang dibutuhkan komponen khusus trombosit. Berarti
membutuhkan orang-orang yang memiliki bobot badan di atas 50 kg untuk
mendonorkan darahnya. Kebutuhan untuk transfusi buah hatinya yang sedang
terbaring lemah di bangsal rumah sakit. Buah hati semata wayangnya yang baru
berumur tujuh tahun. Saya mencoba mengirim pesan singkat, sesekali menelepon ke
teman-teman dekat yang ada di kampus. Mungkin diantara mereka ada yang memiliki
golongan darah itu. Atau mereka punya teman yang bisa membantu mendonorkan
darahnya yang memenuhi persyaratan untuk donor.