Kemarin tepatnya beberapa tahun yang
lalu sebelum meninggalkan kota daeng, salah satu teman berseloroh “susahmi
ki ini ana’ ditemui nanti.” Beberapa waktu yang lalu juga seorang guru
bertanya. Apa yang lebih membahagiakan dari sebuah perjumpaan? Pertanyaan ini
dilontarkan untuk menyikapi fenomena interaksi sosial “yang jauh menjadi
dekat dan yang dekat menjadi jauh.” Menurut saya, perjumpaan dengan
tatap muka lebih berkualitas dan membahagiakan dibandingkan dengan dunia maya. Setidaknya mengobati
sedikit rasa rindu. Dari situ kita juga bisa melihat secara langsung perubahan
yang terjadi pada teman. Bahasa lisan dan tubuh serta penampilan menjadi jelas.
Tiga hal yang terpadu yang menjadi ciri khas dari karakter seseorang. Secara
otomatis membentuk relasi kembali, memutar rekaman, menghadirkan gambaran yang
tersimpan rapi atau acak dalam diri seseorang dan kita mulai menontonnya.
Di sebuah forum latihan kepemimpinan
saya pernah menyampaikan “waktu dalam masyarakat urban (untuk tidak menyebutnya
masyarakat kapitalis) itu ada 3.” Saya lupa mencomotnya dari mana. Tiga waktu
itu adalah waktu untuk kerja, waktu untuk istirahat dan rekreasi, serta waktu
untuk keluarga. Karenanya, dalam masyarakat urban, menyisihkan waktu untuk
tatap muka dengan kawan lama adalah paling sulit. Mungkin virus pembagian waktu
di atas juga menyerang saya. Menurut saya, interaksi sosial dengan bertatap
muka adalah paling riil. Ini bukan paham materialisme sosial yang menganggap
hubungan manusia dengan manusia adalah karena materi. Meminjam istilahnya Baqir
Shadr dalam salah satu pelajarannya tentang tafsir sejarah dan sosial, kalau
ini adalah “hubungan maknawiyah antara manusia dengan manusia.”
Salah satu yang hilang dari waktu kita
adalah waktu untuk interaksi dengan relasi atau saudara atau masyarakat.
Kesibukan dan rutinitas menjadi dinding pembatas. Ikatan materi menguat dan
ikatan maknawi melemah. Selanjutnya, untuk mengobati hal itu dibentuklah sebuah
masyarakat baru yaitu masyarakat maya dan menganggapnya riil. Sedangkan yang
riil menjadi maya dan hanyalah fatamorgana. Dari sinilah kita selalu alpa untuk
memperhatikan bahasa tubuh dan bahasa lisan dari relasi. Bahkan keistimewaan
tatap muka hampir hilang.
Tatap bahasa, voice call, video call
menjadi jawaban atas kebisuan interaksi tatap muka. Ini tidak menggambarkan
kesesuaian realitas maknawiah dan material. Saya sedang tidak menafikan tiga
hal tersebut sebagai sebuah realitas perkembangan kehidupan. Akan tetapi saya
memandang “semakin banyak waktu yang dialokasikan untuk hal tersebut, semakin
sedikit waktu untuk kita bertatap muka.”