Cari Blog Ini

Senin, 17 April 2017

TATAP MUKA



Kemarin tepatnya beberapa tahun yang lalu sebelum meninggalkan kota daeng, salah satu teman berseloroh “susahmi ki ini ana’ ditemui nanti.” Beberapa waktu yang lalu juga seorang guru bertanya. Apa yang lebih membahagiakan dari sebuah perjumpaan? Pertanyaan ini dilontarkan untuk menyikapi fenomena interaksi sosial “yang jauh menjadi dekat dan yang dekat menjadi jauh.” Menurut saya, perjumpaan dengan tatap muka lebih berkualitas dan membahagiakan dibandingkan  dengan dunia maya. Setidaknya mengobati sedikit rasa rindu. Dari situ kita juga bisa melihat secara langsung perubahan yang terjadi pada teman. Bahasa lisan dan tubuh serta penampilan menjadi jelas. Tiga hal yang terpadu yang menjadi ciri khas dari karakter seseorang. Secara otomatis membentuk relasi kembali, memutar rekaman, menghadirkan gambaran yang tersimpan rapi atau acak dalam diri seseorang dan kita mulai menontonnya.
Di sebuah forum latihan kepemimpinan saya pernah menyampaikan “waktu dalam masyarakat urban (untuk tidak menyebutnya masyarakat kapitalis) itu ada 3.” Saya lupa mencomotnya dari mana. Tiga waktu itu adalah waktu untuk kerja, waktu untuk istirahat dan rekreasi, serta waktu untuk keluarga. Karenanya, dalam masyarakat urban, menyisihkan waktu untuk tatap muka dengan kawan lama adalah paling sulit. Mungkin virus pembagian waktu di atas juga menyerang saya. Menurut saya, interaksi sosial dengan bertatap muka adalah paling riil. Ini bukan paham materialisme sosial yang menganggap hubungan manusia dengan manusia adalah karena materi. Meminjam istilahnya Baqir Shadr dalam salah satu pelajarannya tentang tafsir sejarah dan sosial, kalau ini adalah “hubungan maknawiyah antara manusia dengan manusia.”
Salah satu yang hilang dari waktu kita adalah waktu untuk interaksi dengan relasi atau saudara atau masyarakat. Kesibukan dan rutinitas menjadi dinding pembatas. Ikatan materi menguat dan ikatan maknawi melemah. Selanjutnya, untuk mengobati hal itu dibentuklah sebuah masyarakat baru yaitu masyarakat maya dan menganggapnya riil. Sedangkan yang riil menjadi maya dan hanyalah fatamorgana. Dari sinilah kita selalu alpa untuk memperhatikan bahasa tubuh dan bahasa lisan dari relasi. Bahkan keistimewaan tatap muka hampir hilang.
Tatap bahasa, voice call, video call menjadi jawaban atas kebisuan interaksi tatap muka. Ini tidak menggambarkan kesesuaian realitas maknawiah dan material. Saya sedang tidak menafikan tiga hal tersebut sebagai sebuah realitas perkembangan kehidupan. Akan tetapi saya memandang “semakin banyak waktu yang dialokasikan untuk hal tersebut, semakin sedikit waktu untuk kita bertatap muka.”

BUNGA, LILIN dan MULUT

Ada yang mengirim bunga ada yang membakarnya,  Ada yang menyalakan lilin ada yang memadamkannya,  Semuanya tersulut dari mulut kebencian. ...