Cari Blog Ini

Selasa, 23 Februari 2016

Sepenggal cerita tentang Ahmad Jalaluddin


Sebelum kepergiannya sebagaimana penuturun pamannya beliau meminta handphone. “Saya mau bicara sama bapakku sebentar.” Itulah permintaan terakhir dari Ahmad Jalaluddin di di atas bangsal yang tetap setia menemani hari-harinya sebelum dilarikan dan masuk ruang PICU RSWS. Beliau adalah salah satu pasien yang menjalani perawatan di RSWS karena mengidap penyakit Leukimia (kanker darah). Sejak tahun 2012 beliau mengidap penyakit kanker darah sebagaimana yang telah divonis oleh dokter yang memeriksanya. Beliau salah seorang pelajar kelas 1 SMA di sebuah pesantren. Usianya baru 15 tahun. Sejak tahun 2000 beliau berada dibawah asuhan pamannya pada usia 2 atau 3 tahun. Saya mengenalnya di tahun 2012 melalui Daeng Beta (pak Husein) bapaknya Egi. Pada saat itu mereka sedang mencari darah untuk kebutuhan transfusi. Dari pamannya Ahmad dan daeng Beta saya diperkenalkan lagi dengan salah satu pasien yang bernama I Made Satria dari kota Palu. Akhirnya mereka mendapat julukan  tiga serangkai. Mereka saling membantu mencari darah atau pendonor. Selain itu mereka saling menjaga dalam kondisi-kondisi kritis. 

Ahmad yang diadopsi oleh pamannya (saudara kandung ibunya) dari ibunya yang bekerja di Malaysia. Saya bertanya-tanya kepada pamannya, dimana bapak dan ibunya? Pamannya menuturkan banyak hal. ibunya telah menikah kembali di Malaysia setelah perceraian dengan suaminya yang pertama. Ibu kandungnya adalah saudara pamannya yang mengasuhnya sejak usia sekitar tiga tahun. Sedangkan ayah kandungnya beliau menetap di Sidrap berprofesi sebagai petani. Beliau telah menyerahkan putra keduanya kepada pamannya untuk dirawat. Begitupun kakaknya ahmad tinggal dalam asuhan pamannya. Ahmad yang begitu pendiam tidak mau merepotkan pamannya tentang penyakit yang dideritanya. Beliau tinggal di asrama santri sebuah pesantren. Ketika sakit, beliau tidak segera memberitahu pamannya yang mengasuhnya. Pamannya tinggal di sebuah kampung  di Bulukumba di daerah pegunungan. 

Hampir setengah tahun Ahmad telah menghabiskan hari-harinya menjalani perawatan intensif di bangsal RS. Kemudian beliau mendapat izin untuk keluar dari rumah sakit. Oleh tim dokter yang merawatnya merekomendasikan beliau kepada pamannya untuk tetap menjalani rawat jalan serta sering melakukan kontrol penyakit. Setelah keluar, sebagai seorang santri beliau mengikuti kembali pelajaran di pesantren. Lama tidak berjumpa dengannya dan kehilangan kontak. Tak ada kabar  sepotong pun yang sampai mengenai kondisinya. Setelah beberapa bulan keluar dari rumah sakit meninggalkan bangsal pembaringannya, penyakit yang terus menggerogoti badannya membuatnya semakin lemah. Dalam kondisi kritis pamannya segera membawanya ke rumah sakit di Makassar.  

Saya mengajak pamannya untuk bercerita tentang keponakan yang sedang di rawatnya. Karena berbulan-bulan tidak melakukan kontrol penyakit. Ketika sudah parah dan kritis baru beliau membawanya ke rumah sakit. Beliau bertutur kalau keponakannya menyembunyikan penyakitnya dan tidak mau bercerita tentang kondisinya. Alasannya tidak mau merepotkan pamannya dan kakaknya yang tinggal di kampung sementara dia ada di asrama santri dan ada teman-temannya. Selain itu adalah ketidakmampuan untuk membiayai biaya ketika masuk rumah sakit. Beliau hanya mengandalkan kartu Jamkesmas untuk tanggungan biaya perawatan di rumah sakit. Setelah beberapa bulan di tahun 2013 yang lalu, menjalani perawatan di bangsal pemegang kartu jamkesmas kondisi kesehatannya terus menurun. Pada hari jum’at pagi itu beliau menghembuskan nafas terakhir dan pergi untuk selama-lamanya. Meninggalkan seluruh kenangan berbulan-bulan di bangsal rumah sakit.   
Semoga Allah berkenaan menghisabnya dengan rahmat dan kasih sayang-Nya. Mengampuni dosa-dosanya dengan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya yang tak bertepi.

PERCAKAPAN TERAKHIR AHMAD JALALUDDIN

Pagi itu, di hari jumat yang penuh berkah, saya berniat ke kampus untuk menyelesaikan sebuah urusan. Melepaskan sejenak aktivitas di Lingkar Donor. Sebelum berangkat, saya membeli kudapan ringan di warung pinggir jalan dekat rumah dan menikmatinya sebagai sarapan pagi bersama dua orang teman. Sarapan pagi itu menjadi nikmat. Nikmat karena pagi-pagi sudah mendengar celotehan teman tentang persoalan sosial agama di zaman modern. Persoalan yang sudah menjadi benang kusut dalam pikirannya. Telepon genggam yang telah banyak membantu beberapa kali berdering di lantai dekat tas. Rupanya ada panggilan masuk dari nomor yang saya tidak kenal. Seperti biasa pikiran saya tertuju mungkin ada pasien baru dari luar Makassar.  

Dengan rasa penasaran saya menerimanya dan mungkin dari keluarga pasien. Saya segera memberi salam. Dari balik telepon itu saya sedikit mengenali suaranya. Dengan cepat beliau memanggil nama saya dan berkata “saya bapaknya aliyah muthmainnah dari bone.” Saya kemudian bertanya bagaimana kabar dan kondisinya pak? Kapan sampai di Makassar? Setelah menjawab basa basi, kemudian  beliau menyampaikan kabar yang kurang mengenakkan. Beliau berkata “Ahmad dalam kondisi kritis.” Dengan cepat saya menjawab, “saya segera kesana pak.” Dengan bantuan teman saya meluncur ke rumah sakit. Saya lupa siapa dari dua teman yang mengantar saya ke rumah sakit pagi itu. Dalam perjalanan, telepon genggam terus berdering, sesekali saya mengangkat dan menjawabnya “tunggu iya pak, saya sementara dalam perjalanan ke rumah sakit dan sudah dekat.” Rupanya beliau memberitahukan kalau Ahmad Jalaluddin sudah pergi untuk selama-lamanya dan telah meninggalkan keluarganya. Inna lillaahi wa inna ilaihi roji’un.

Sampai di rumah sakit, saya langsung menuju kamar pemulasaran jenazah. Kemudian mengirim pesan singkat tentang kabar duka ke teman-teman Lingkar Donor yang telah banyak membantu selama perawatan di rumah sakit. Sembari menemani keluarga yang berduka, saya mendengarkan tuturan paman yang merawatnya sejak kecil. Di ruang pemulasaran jenazah itu juga saya ngobrol sama bapaknya aliyah yang memberikan kabar tadi. Mereka menuturkan kalau ahmad tidak sampai 15 menit menjalani perawatan di ruang PICU. Sebelum itu, almarhum Ahmad ketika masih terbaring di bangsal lontara sudah membuka alat bantu pernapasan yang terpasang di mulut dan hidungnya. Beliau juga meminta perlengkapan infus yang terpasang untuk dicabut dari tangannya. Lalu beliau meminta Hp untuk menghubungi bapaknya yang bermukim di Sidrap. Beliau hanya ingin mengucapkan kata “maaf” kepada bapaknya. Apakah beliau sudah mengetahui waktu kepergiannya dan orang lain bisa memahaminya? Wallahu alam. Rupanya itu adalah pembicaraan terakhir dengan bapaknya sebelum beliau melepas kesadarannya dan memejamkan matanya serta pergi untuk selama-lamanya. 

Hari itu juga jasadnya sekitar jam 11 pagi dari ruang pemulasaran jenazah RSWS dibawa ke bulukumba dengan mobil ambulance. Tentu ambulance yang dipakainya tidak gratis. Pamannya bertutur kalau ayahnya akan bertemu dengannya di bulukumba. Bertemu dalam bentuk putranya yang sudah menjadi mayat dan kaku. Tidak mendengar dan tidak menyahut lagi. Jasad yang tidak pernah disaksikannya ketika beliau menjalani hidup dan menghabiskan hari-harinya di bangsal rumah sakit. Beliau pergi dengan harapan untuk berjumpa dengan ayahnya. Harapan untuk berjumpa yang tidak pernah tercapai selama beliau terbaring lemah di rumah yang asing yang tidak diharapkannya.

BUNGA, LILIN dan MULUT

Ada yang mengirim bunga ada yang membakarnya,  Ada yang menyalakan lilin ada yang memadamkannya,  Semuanya tersulut dari mulut kebencian. ...