Islam adalah agama yang
realistis dan mencintai alam, kekuatan, keindahan, kesehatan, kemakmuran,
kemajuan, dan pemenuhan seluruh kebutuhan manusia,,, kaum muslim menanggung
beban tanggung jawab sosial, dan bahkan misi universal, untuk memerangi
kejahatan dan berusaha merebut kemenangan demi umat manusia, kebebasan,
keadilan, dan kebaikan,,, Islam adalah agama yang dengan segera melahirkan
gerakan, menciptakan kekuatan, menghadirkan kesadaran diri dan pencerahan, dan
menguatkan kepekaan politik dan tanggung jawab sosial yang berkait dengan diri
sendiri,,, suatu kekuatan yang meningkatkan pemikiran dan mendorong kaum
tertindas agar memberontak dan menghadirkan di medan perang spirit keimanan dan
keberanian......
‘Tahu’
dan ‘Pengetahuan’
Manusia adalah mahluk sempurna.
Dibekali akal, hati dan indera ia menjelma sebagai mahluk yang paling
berpengaruh di muka bumi ini. Inovasi tiada hentinya dalam mengasah kreasi
ketiga potensinya itu telah menghasilkan kebudayaan dan peradaban yang sangat
kompleks sekarang ini. Cara kita makan, minum, bertindak ini-itu, menyimpulkan
harus begini-begitu, menganggap ini lurus-itu sesat, ini benar-itu salah, ini
surgawi-itu nerakawi, ini duniawi-itu ukhrawi, ini kebaikan-itu keburukan, ini
pahlawan-itu bajingan dan lain sebagainya adalah hasil dari pergulatan daya
potensi manusia yakni akal, indera dan hati.
Hanya manusia yang
memanusialah yang suka bertanya. Tapi, ini tidak berarti bahwa orang yang sehat
dalam konteks memanusia adalah adalah orang yang selalu bertanya. Saya pikir orang
seperti itu sinting. Lebih tepat jika dikatakan orang yang sehat adalah orang
yang selalu bertanya sekaligus menjawab. Ia selalu siap ‘agkuh’ dan meragukan
sesuatu, sekaligus siap rendah hati dan meyakini sesuatu”
Menyelami
Ontologi dari Ilmu : Antara ADA dan TIADA
Realitas ini adalah
keberadaan. Yang nampak seperti kursi dan lain sebagainya serta yang tidak
tampak seperti pikiran dan sebagainya adalah realitas. Tapi, Apakah Yang
Sebenarnya Ada? Ada sebenarnya sebagai pusat Segala sesuatu? Materi atau ide,
benda-benda atau apa yang ada di otak-otak kita (pikiran)? Untuk menjawabnya
itu kita perlu menyimak perdebatan filosofis para mahluk ‘aneh’, yakni Filosof.
Bagi kalangan materialis, yang sebenarnya ada adalah benda-benda. Apa yang
tampak adalah benda-benda atau materi yang tersusun dari unsur-unsur lebih
kecil yang menyatu dan membentuknya. Ya, semua benda itu terdiri dari
atom-atom. Atom terdiri dari inti dan electron. Inti terdiri dari proton dan
netron. Dan terakhir muncul unsur terkecil yang hingga kini dianggap tak bisa
dipisah-pisah lagi yaitu quark. Karena inilah kalangan materialis berkeyakinan
yang sebenarnya ada adalah benda.
Namun sayang, lembar
jawaban ini masih menyisakan masalah. Masalah itu terutama datang dari kaum
idealis plus religius. Bagi kaum idealis jawaban kalangan materialis tidak
memuaskan kaena masih menimbulkan pertanyaan; apa sebenarnya quark itu? Mana
buktinya kalau itu benar-benar ada? Bukankah sang materialis selalu bisa
membuktikan data empirik melalui indera terlebih dahulu sebelum menyimpulkan?
Serangan yang membuat mati kutu bagi kaum materialis itu membuat kaum idealis
di atas angin. Bagi mereka yang sebenarnya ada adalah pikiran atau itu.
Hore....hidup kaum idealis. Sudah finalkah, dan idealis tampil sebagai pemenang?
Belum. Persoalan masih menghantui; apa sebenarnya pikiran itu?
Petarungan kembali
berlanjut, bagi kaum materialis, pikiran adalah pola-pola dalam otak manusia
yang sejatinya terdiri dari benda-benda. Sementara kaum idealis membantah:
pikiran adalah pola-pola yang bermakna dan saling memaknai. yang bisa memaknai
ini apalagi kalau bukan pikiran. Bukan benda-benda. Tibalah kita pada pandangan
yang berputar-putar. Tidak lagi ke kiri atau ke kanan, kini kita sampai pada
bundaran yang membingungkan. Adakah yang menjadi penunjuk jalan? Para filosof
sejarah tampil ke depan. Meraka mengatakan bahwa yang benar-bena ada adalah
peristiwa-peristiwa yang hakikatnya terletak pada kreativitas. Yang ideal dan
yang material tak lain adalah aspek-aspek saja dari setiap proses. Jawaban yang
sedikit-banyak membuat reda perang urat syaraf. Dengan demikian kita bisa
mengatakan, bagi kalangan materialis yang sebenarnya ada adalah materi, bagi
kaum dealis yang sebenarnya ada adalah pikiran, dan bagi filosof sejarah yang
sebenanya ada adalah peristiwa-peistiwa. Tapi, Apakah “ADA” Itu Sebenarnya?
Apakah yang sebenarnya ADA itu hanya materi dan apa yang bisa kita pikirkan?
Bagaimana pula dengan ADA-nya Tuhan?
ADA itu adalah sesuatu, sesuatu itu meliputi yang tampak dan tidak tampak oleh
indera. Tapi, apakah ADA-nya tuhan juga demikian? Bagi Mulla Shadra seorang
tokoh filsafat islam, ADA itu tanggal dan berlaku untuk semua benda, baik yang
konkrit maupun yang abstrak. Meskipun begitu, Shadra mengatkan bahwa “ada”nya
Tuhan adalah ADA murni, sedangkan “ada”nya yang lain becampur dengan esensi.
Inilah pelipur lara bagi para pencari bukti adanya tuhan melui pendekatan
filsafat. Karena ADA-nya Tuhan adalah Murni maka mengatakan bahwa Tuhan itu
Tidak ada adalah sebuah kemustahilan. Karena bagaimanapun kita berpikir dan
berkata bahwa Tuhan tidaka ada, Tuhan tetap ADA. Apa yang kita bicarakan di
atas adalah wilayah hakikat. Kita menyaksikan bahwa bagi kalangan materialis
yang hakikat adalah benda benda. Dan bagi kalangan idealis yang hakikat adalah
pikiran. Bagaimana dengan islam? Apa yang hakiki menurut Islam? Tentu yang
hakiki, yang ada sebenarnya adalah Tuhan, yaitu Allah SWT. Karena Allah adalah
pencipta Segala sesuatu (Khaliq). Dialah kebenaran satu-satunya. Bila demikian
halnya, bisakah kita mencapai kebenaran Tuhan itu? Bisakah manusia yang relativ
kebenarannya mencapai kebenaran Tuhan yang mutlak? Bukankah manusia itu mahluk
yang lemah? Terlebih lagi Allah SWT memberikan pengetahuannya kepada kita tidak
ada kecuali sedikit (illa qaliil). Hemat saya kita perlu terjerumus pada apakah
kita akan sampai pada kebenaran yang mutlak itu dan berbangga-angkuh saya telah
mencapai hakikat. Yang tepenting bagi saya adalah Allah yang maha Pemurah itu
telah menganugerahkan kepada kita berbagai potensi untuk berpengetahuan. Kita
dianugrahkan akal, indera dan hati sebagai bekal mengarungi kehidupan dunia ini
yang tidak lepas dari ruang dan waktu. Maka bagaimana kita memaksimalkan daya
potensi kita di alam fana ini sebagai wujud ibadah kita kepada Allah SWT.
Maksimalisasi dari semua potensi itulah yang akan mendekatkan diri kita kepada
Allah. Selain itu, bekal kodrati manusia berupa akal, hati dan indera itu juga
berarti menekankan kita untuk berusaha mencari kebenaran hakiki. Bukankah akal,
hati dan indera juga berasal dari Tuhan? Dengan begitu, Tuhan telah memberi
kesempatan kepada manusia untuk mencari pengetahuan (kebenaran) sebagai lambang
pengabdian kepada Allah SWT. Itulah yang menjadikan seorang Murthada Muthahhari
menyebutkan adanya kemungkinan manusia mendapatkan pengetahuan atau kebenaran.
Disinilah kita
menemukan konteksnya mengenai hakikat ilmu. Ilmu bukankah seongkang usaha tanpa
makna, melainkan ia mengemban amanah untuk memahami realitas sebenarnya sebagai
wujud pengabdian kepada Allah SWT dan perannya di muka bumi sebagai khalifah.
Epistemologi
Sumber Pengetahuan
Manusia “Dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati.” Adalah ungkapan
yang sering kita dengar dan cukup mengundang ‘geli’. Bukan tanpa makna. Dalam
perspektif ilmu, mata adalah sumber pengetahuan empiris dan hati sumber
keyakinan diri. Dengan mata kita bisa menyaksikan hitam-putih, tampan-cantik,
bulat-lonjong, mancung-pesek, kurus-gemuk, tinggi-rendah dan sebagainya. Dengan
hati kita bisa merasa susah-senang, cinta-benci, tenang-khawatir,
simpati-empati, takjub-mangkel dan sebagainya. Inilah sebagian pengetahuan
manusia. Tapi, apakah dengan melihat dan seklaigus itu yang menyebabkan kita
meyakini? Atau keyakinan itu muncul serentak begitu saja lewat intuisi kita?
muncul bagai jailangkung, datang tak dijemput pulang tak diantar? Lalu, mengapa
kita harus benci? mengapa kita harus khawatir? mengapa harus begini? Mengapa
harus begitu? Mengapa ini tidak boleh? Mengapa itu tidak boleh? Bagaimana kita
bisa mengurai, memilih dan menilai dari berbagai fenomena empiris itu yang
kemudian menyimpulkan ini-itu? Apa yang menjadi sandaran kita sehingga tingkah
polah kita harus seperti ini dan itu? Indera, hati atau akal? Untuk
menjawabnya, kita akan melihat alat atau sumber-sumber pengetahuan manusia.
Indera Manusia memiliki berbagai indera
sebagai alat untuk mengetahui sesuatu. Indera penglihatan, pendengaran, dan
perasa. “Kehilangan satu indera, maka ia telah kehilangan satu.” begitulah
ungkap Aristoteles. Berkaitan dengan ini Muthahhari mengilustrasikan dengan
sebuah contoh orang buta sejak lahir bertanya “susu beras itu seperti apa?”.
Meskipun orang berusaha menjelaskannya. Tetap sang buta tidak bisa mengerti
warna susu beras itu. Selain itu, indera juga terbatas. Pengetahuan yang
dihasilkan oleh indera sering kali menipu. Mata misalnya dalam melihat sesuatu
akan sngat dipengaruhi oleh jarak. Contoh sederhana mengenai fatamorgana. Dari
kejauhan kita melihat di terik matahati di sebuah jalan aspal yang lurus kita
melihat ada gumpalan air di atas aspal.
Tapi, tatkala dikonfirmasi dengan melihatnya lebih dekat, tak ada apa-apa. Air
yang tadinya tampak nyata ternyata menipu, bukan yang sebenarnya.
Akal. Di atas keterbatasan indera itu
akal muncul sebagai alat epistemology lain yang melengkapi. Ini tak lepas dari
fungsinya yang bisa merenung, memilah, membuang yang tak bermakna, mencerap,
menangkap makna, menimbang dan sebagainya. Seperti dikutip Musa Khazim,
Murthada Muthahhari menggambarkan kinerja akal dalam lima tahap sebagai berikut:
- Menerima
pesan dari luar. Pada tahap ini akal menagkap objek-objek alam luar melalui
panca indera yang tersimpan dalam lokus mental.
- Mengingat.
Artinya, setelah menerima gambar atau kesan dari luar, akal mempunyai kemampuan
menampakan kembali secara jelas.
- Membagi
atau Mengklasifikasi dan Menggabungkan atau Mensintesiskan. Dalam tahap ini
akal mampu mengurai, memilah dan mengupas kesan yang masuk dalam benak atau
akal.
- Abstraksi
dan generalisasi. Dalam hal ini akal berupaya memisahkan gambaran yang
tertangkap oleh panca indera dari cirri-ciri individual dan partikularnya.
- Perenungan
atau penalaran dan pembuktian atau argumentasi. Pada tahap ini akal mencoba
menghubungkan seerangkaian data untuk mengungkap dan mengetahui objek yang
belum diketahui.
Hati. Dapatkah hati menjadi sumber
pengetahuan. Jalaludin Rumi pernah berkata bolehlah manusia dengan rasionya
mengetahui segala sesuatu. Tapi, ia tidak tahu tentang dirinya sendiri. Ya,
untuk keperluan ini kita bisa bertanya tentang kesedihan, kekhawatiran, bahkan
keyakinan. Mungkinkah ini muncul dari rasio. Tidak ia muncul dari hati.
Makanya, hati adalah alat epistemology. Alat untuk mendapatkan pengetahuan.
Aksiologi
Ilmu:
Apakah Ilmu Bebas Nilai
Atau Tidak? Bagi sekuler yang memposisikan agama dan ilmu pengetahuan dalam
oposisi biner menganggap bahwa ilmu bebas nilai. Ilmu tidak terkait dengan
agama atau dogma-dogma tertentu. Ia lahir begitu saja dari kreasi akal dan
indera, atau lebih tepatnya melalui eksperimentasi terhadap alam dalam sains.
Tapi, pertanyaannya adalah apakah ilmu itu dapat terlepas dari penerapannya?
Apakah ilmu itu dibuat, dirancang, dan diterapkan dalam sosio-cultural tertentu
tidak terkait dengan manusianya? Betulkah ilmu itu berdiri sendiri dalam upaya
aplikasinya tanpa campur tangan manusia? Tidak, Ilmu tidak bebas nilai.
Kalaupun ilmu itu bebas nilai, mengapa ilmu yang dianggap adalah untuk kemajuan
dan kebaikan manusia telah menjelma sebagai kekuatan menakutkan? Ia telah
digunakan semena-mena untuk eksploitasi alam, invasi militer, pembobolan
rekening, penyalahgunaan anggaran, pembohongan public. Dalam teknologi
informasi kita melihat krisis dimana ia telah menjadi penyangga utama budaya
pop atau benda yang memiskinkan kesadaran dan terjebak ‘nyaman’ dalam ruang
mekanistikan.
Memeluk
Ilmu Pengetahuan Islam:
Akal, Indera, Hati dan
Wahyu sebagai epistemology islam Karena kerja akal, indera dan hati telah
diurai di atas, pembahasan ini akan lebih difokuskan pada interpretasi wahyu
sebagai sumber pengetahuan. Hal ini menjadi sangat penting karena persoalan
agama yang berhadapan dengan realitas sosial (wilayah inderawi), penafsiran
(wilayah rasio) dan keyakinan apa yang mesti dilakukan sangat terkait dengan
pegangan atau pembongkaran terhadap teks agama itu sendiri. Ini dapat dipahami,
meskipun beragam interpretasi dan memunculkan banyak kesimpulan tetapi
sumbernya tetap sama yaitu al-Qur’an dan Al-Hadis.
Sebelum menyelam ke
kedalaman teks, kita perlu menjawab dahulu apakah al-Qu’an yang notabene yang
oleh sebagaian kalangan dianggap universal itu bisa ditafsirkan? Melihat
sejarah islam tentu jawabannnya menjadi pasti. Bisa di tafsirkan. Faktanya,
doktriner-doktriner yang sampai kepada kita dibanjiri dengan ungkap-ungkap
ajaran agama hasil penafsiran para ulama dan fuqaha. Bahkan penafsiran yang
juga lambang dari ijtihad itu telah muncul setelah nabi meninggal. Dan kini
kita pula mengenal mengenal adanya mazhab asy-Syafi’I, Maliki, Hambali, dan
Hanafi. Tentu saja disamping itu banyak pula mujtahid yang tidak termasuk ulama
mazhab. Hal yang sama terjadi sampai sekarang. Penafsiran akan teks sangat
beragam. Ada yang bersifat fundamental ada juga liberal, ada yang menekankan
pada teks ada pula yang menekankan pada rasio. Bagi seorang ‘fundamentalis’
penafsiran teks agama bersifat skriptualisme, atau meyakini al-Qur’an sebagai
firman Tuhan dan dianggap tanpa kesalahan. Ini bertolak pada prinsip bahwa;
Pertama, penolakan terhadap hermenetika. Ia menolak interpretasi teks secara
kritis. Baginya, al-Qur’an harus dipahami secara literal saja. mereka
mengajukan alasan bahwa nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi
yang tepat terhadap teks. Kedua, penolakan tehadap pluralisme dan relativisme
karena pluralisme dianggap merupakan pemahaman yang keliru terhadap teks kitab
suci. Pemahaman itu harus satu dan tidak ada realtivisme dalam memahami teks
tersebut. Ketiga, penolakan terhadap perkembangan histories-sosiologis. Bagi
mereka, pekembangan historis-bila perlu dengan kekerasan- harus disesuaikan
dengan kitab suci. Dan, Keempat, mereka sering mengambil posisi
oposisionalisme. Dengan keyakinan mereka akan kebenaran mutlak teks tersebut
mereka mengambil jarak dengan pemahaman-pemahaman yang ia anggap ‘sesat’. Tak
jarang prinsip-prinsip ini bertumpu pada legitimasi islam kaffah, kedaulatan
tuhan dan puritanisme. Sebaliknya, bagi kalangan ‘liberal’ teks yang dianggap
tidak sesuai dengan sosio-historis harus di bongkar dan ditafsirkan ulang. Tak
masalah baginya bila kemudian terdapat pemahaman yang berbeda-beda. Untuknya,
kala wacana hermenetika mencuat. Kaum liberal menyambut baik. Berkaitan dengan
teks ini Hassan Hanafi menjelaskan bahwa; Pertama, teks adalah teks dan bukan
realitas. Ia hanyalah deskripsi linguistik terhadap realitas yang tidak dapat
menggantikannya. Kedua, teks hanya menuntut keimanan apriori. Ketiga, teks
bertumpu pada otoritas Kitab. Keempat, teks datang dari luar bukan datang dari
realitas dalam. Kelima, teks selalu tekait dengan realitas yang ditunjuknya.
Keenam, teks bersifat unilateral yang selalu terkait dengan teks-teks lainnya.
Ketujuh, teks selalu dalam ambiguitas pilihan-pilihan yang tidak luput dari
pertimbangan untung-rugi (kepentingan).
Menurut saya, memang
al-Qur’an tejamin kebenarannya. Tapi kebenaran yang ada di dalamnya ada yang
bersifat universal ada juga yang temporal. Ada yang sifatnya
normative-universal ada pula praktis-temporal. Atau dalam istilahnya Amin
Abdullah ada dimensi normative dan histories-nya. Artinya, dalam al-Qur’an ada
teks-teks yang berlaku secara umum dalam semua tempat dan waktu ada pula teks
yang pelaksanaanya sesuai dengan konteksnya tergantung waktu dan
sosio-historisnya.
Maka bagi saya kita tak
perlu ribut-ribut apalagi saling menghujat antara yang fundamentalis dengan
yang liberalis itu. Selain secara histories pemahaman manusia itu beragam juga
karena posisi teks yang dihadapkan dengan tantangan zaman. Apalagi, Islam dalam
teks-teks agamanya tidak melulu menekankan keyakinan akan teks-teks agama
melainkan juga yang lebih penting pengaplikasiannya. Bukankah seringnya kita membicarakan
kesalehan individu dan sosial itu di ruang-ruang diskusi saja? bukankah kita
hanya sibuk dengan urusan sesat-menyesatkan saja sementara kita lupa dengan
teks-teks kesosialan kita yang sebenarnya menyuruh memberantas kolusi, korupsi
dan nepotisme, penyalahguanaan wewenang, pembodohan rakyat, dan penindasan kaum
lemah? Itulah karena seringnya kita menganggap bahwa urusan ilmu adalah urusan
teks. Dan teks harus diperdebatkan dan di yakini bukan direalitaskan.
Sains Diperhadapkan Dengan Agama
Sains adalah bentuk
pengetahuan modern yang paling berpengaruh dewasa ini. kemunculannya menjelma
menjadi kekuatan yang tak tertandingi. Sains bahkan dianggap telah membuat
dunianya sendiri yang sering dianggap netral yaitu dunia sains. Bebas dari
agama dan dogma-dogma. Jadilah, sains selalu dipertentangkan dengan agama.
Paling tidak, usaha Galileo dan Copernicus yang sering dipertentangkan dengan
kaum gereja semakin membuktikan bahwa agama dan sains saling beseteru,
menyerang, membunuh, serta saling mematikan. Terlebih, dengan hasil-hasil
penelitian yang menakjubkan seperti teori evolusinya Darwin, teori atom-nya
Dalton, rekayasa genetika dan lains sebagainya telah mengganggu kenyamanan
agama yang secara doctrinal bertentangan dengan penelitian itu. Meskipun, di
abad 21 ini agama kembali bisa tersenyum karena Einstein muncul dengan teori
relativitasnya. Tapi, apakah benar sains itu bertentangan dengan agama? Orang
yang dianggap paling cerdas di abad 20 Albert Einstein penemu teori relativitas
sekaligus penghancur teori kuantum menyatakan bahwa “ilmu pengetahuan hanya
dapat diciptakan oleh mereka yang dipenuhi dengan gairah untuk mencapai
kebenaran dan pemahaman. Tetapi, sumber perasaan itu berasal dari tataran
agama. Termasuk di dalamnya adalah keimanan dan kemungkinan bahwa semua
peraturan yang berlaku pada dunia wujud itu bersifat rasional. Artinya, dapat
dipahami oleh akal. Saya tidak dapat membayangkan ada ilmuwan sejati yang tidak
mempunyai keimanan yang mendalam seperti itu. Keterangan ini dapat diungkapkan
dengan gambaran: ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu
pengetahuan lumpuh.” Dengan ini kita bisa mengatakan bahwa sains dan agama
tidak diposisikan sebagai sesuai yang bertentangan melainkan saling melengkapi
(integrasi).
Menyelami
Samudra Kematian Islam
Bagi Islam dan
agama-agama lain. Dia tepat di depan mata kita. Paling tidak untuk
menggambarkan dinamika keilmuan yang berpengaruh di era sekarang ini-saya dan
kita harus mengakui-bahwa keilmuan barat yang bertumpu pada rasionalisme dan empirisme
yang menjadikan manusia pusat segalanya merupakan kekuatan yang tidak
tergoyahkan sekaligus menakutkan bagi Islam. Bahkan dalam realitasnya kita
ditaburi berbagai penjelasan bahwa Islam kini tengah terpuruk. Pervez Hoodboy
secara provokatif menggambarkan: “Cobalah anda bayangkan sebuah tim antropolog
dari Mars Mengunjungi Bumi sekitar abad ke-9 dan ke-13. Misi mereka adalah
untuk mempelajari evolusi kebudayaan dan social manusia. Pengamatan mereka
menunjukan bahwa masyarakat tertentu sangat dinamis dan berevolusi mencapai
bentuk yang lebih maju dan lebih canggih, sementara masyarakat yang lain statis
dan lumpuh karena tradisi dan tatacara agama. Pengunjung dari Mars ini
melaporkan kepada markasnya bahwa peradaban yang mempunyai masa depan adalah peradaban
islam dengan baitul hikmah, observarium astronomi, rumah sakit dan sekolahnya.
…sementara eropa dengan paus-paus palsunya, tampak semakin mundur dan biadab,
tenggelam dalam kemuraman abad kegelapam..Anggaplah kini tim mahluk asing yang
sama datang kembali ke zaman ini. Dengan rasa malu mereka harus melaporkan
kembali bahwa ramalan awal mereka ternyata salah. Sebagian umat manusia yang
pernah tampak menawarkan janji peradaban tersebut, kini tak pelak lagi
tersejabak dalam kebekuan abad pertengahan. Mereka menolak yang baru dan dengan
frustasi bergantung pada kejayaan silam. Di lain pihak, yang tadinya tampak
mundur telah menaiki tangga evolusi dan kini menuju bintang-bintang. Apakah
pembalikan peran yang menakjubkan ini, Tanya para pengunjung dari Mars, apakah
hanya sekedar kesialan satu pihak dan keberuntungan pihak lain?”
Hoodboy memang
mengaitkan peradaban Islam yang dimaksud dengan perkembangan sains. Ia hendak
mengatakan bahwa ketertinggalan Islam dalam bidang sains adalah karena ‘tidak
dihargainya’ rasionalitas sebagaimana didewakan di dunia barat. Akibatnya,
kubangan keterbelakangan dalam sains-hingga-kini belum beranjak dari jurang
degradasi. Sebuah penelusuran yang menarik. Namun bukan hanya sains saja yang
sekarang menjadi perbincangan hangat dan ditengarai sebagai biang keladi
berbagai problem sosial. Dunia keilmuan secara umum sedang banyak
diperbincangkan. Apalagi terkait dengan agama. Termasuk Islam. Keilmuan modern
yang menyandarkan diri pada tradisi keilmuan barat sedang di gugat habis-habisan.
Hal ini bisa dimaklumi karena manusia modern dengan pencapaian keilmuannya itu
tidak hanya menemukan progressifitas melainkan juga degradasitas.
Peradaban dan
kebudayaan kini (modernitas) yang merupakan buah keilmuan modern itu berserta
tatanan sosial yang dihasilkannya ternyata telah melahirkan berbagai
konsekuensi buruk (problem modernitas) bagi kehidupan manusia dan alam pada
umumnya; Pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi
subjek-objek, spiritual-material, manusia-alam dan lain sebagainya telah
mengakibatkan objektivisasi alam secara berlebihan dan pengurasan (eksploitasi)
alam secara semena-mena. Kedua, pandangan modern yang objektivitas dan
positivistis telah menjadikan manusia objek dan direkayasa bagai mesin. Alhasil,
kehidupan menjadi tidak begitu ramah dengan hal-hal yang manusiawi. Ketiga,
positif-empiris sebagai kebenaran tertinggi yang dianut modernisme telah
menyebabkan nilai-nilai moral dan religius kehilangan wibawanya. Apalagi
ditambah dengan kuatnya pengaruh kapitalisme dalam keilmuan modern telah
menjadikan nilai-nilai agama terpinggirkan dalam kehidupan sosial. Timbulah
kemudian kekerasan, keterasingan, depresi mental dan lain sebagainya. Keempat,
modernitas telah menjadikan materi sebagai kekayaan paling utama yang kemudian
membuka pintu persaingan bebas lebar-lebar. Dalam kondisi inilah agama kembali
terdesak; dipaksa ikut aturan pasar atau mati kutu. Sebagai kelanjutannya
menimbulkan, Kelima, kembalinya militerisme dan Keenam, tribalisme. Cukupkah hanya
disini? Jawabannya tidak. Sebagaimana disebutkan, virus-virus keilmuan modern
tidak berhenti pada wilayah ilmu-ilmu alam atau sains melainkan juga sosial
budaya. Dan dalam hal ini modernitas menjadi ancaman berbahaya bagi agama
karena karakteristiknya yang hegemonik, progressivisme, base on economy,
refresif, homogenik, non-teleologik, disekuilibrik, dan sekularistik.
Mengacu pada fakta ini,
apakah ini berarti bahwa keilmuan modern sarat dengan kolonialisasi? Secara
gamblang Michel Foucoult menyatakan:”the will to know, the will to power”.
Artinya: Awalnya hendak sekedar mengetahui telah berubah dikemudian hari
menjadi penancapan kekuasaan. Postkolonial itu telah merayap dari penjajahan
sebelumnya yang berbentuk fisik pada penjajahan yang lebih halus melalui
pengetahuan. Pengetahuan telah dikonstruksi sesuai dengan kepentingan si
pembuatnya. Kemudian agama hanya dipandang sebagai bumbu masakan yang bisa
memuluskan pihak yang berkepentingan menggunakan ilmu pengetahun. Agama sudah
tidak ditempatkan sebagai norma yang mulia tetapi telah direduksi sesuai dengan
kepentingan ekonomi-politik yang bertumpu pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
Paling tidak ini tampak jelas dalam cara beragama kita akhir-akhir ini.
Beragama harus sesuai dengan setelan mode jilbab. Berhibah harus sesuai dengan
waktu kampanye. Menghormati dan menghargai harus berdasarkan ukuran status
sosial, besar tidaknya kekayaan, hingga cocok tidaknya dengan mode. Berdakwah
pun mulus kalau dikasih honor tinggi. Lupa, bahwa agama telah dijadikan barang
dagangan. Di tambah lagi dengan bantuan ilmu dan teknologi, agama dijadikan
aksesoris seruan-seruan para kapitalis untuk menjualkan dagangannya.
Kematian tidak selalu
berarti hapus sama sekali. Kematian bisa berarti perpindahan bentuk dari yang
satu ke yang lainnya. Dengan mengikuti alur logika ini, bisa jadi ke depan
agama mengalami kematian itu. Agama yang akan kita temukan termasuk Islam tidak
otentis lagi. Tak ada lagi seruan moral pembebasan yang dapat diandalakan
sebagai agama rahmatan lil alamin. Yang ada hanyalah tradisi islam superficial.
kemanakah ilmu yang membebaskan manusia dari ketepurukan itu. Disinilah problem
keilmuan barat yang telah menghempaskan nilai-nilai agama. Itulah, karena ilmu
tidak dicipta dan dipakai sebagai alat pengabdian kepada sang pencipta dan
hanya dijadikan pemuas nafsu manusia. Jadilah problem modernitas menjadi
penyakit akut yang hingga kini menghantui.
(Telah
dipublikasikan di hmiekonomi.wordpress.com dan facebook pada 27 april 2010)