Cari Blog Ini

Selasa, 14 Februari 2012

TUJUAN UTAMA KITAB ILAHI

Hikmah Yang Hakiki Dan Tujuan Yang Dicari

 










Ketahuilah, maksud tertinggi dan inti paling jernih dari diturunkannya Kitab Illahi adalah mengajak para hamba kepada Raja Yang Maha Tinggi---Tuhan akhirat dan dunia. Tujuannya adalah mengajarkan kepada hamba untuk naik dari dasar kekurangan dan kerugian menuju puncak kesempurnaan dan pengenalan (‘irfan) serta menjekaskan bagaimana melakukan perjalanan ruhani (as-Safar) menuju Allah. Pasal-pasal, bab-bab, surah-surah, dan ayat-ayatnya mencakup enam tujuan; tiga diantaranya adalah sebagai penopang, pokok, dan pilar yang penting, sementara tiga yang lain berfungsi sebagai lampiran dan pelengkap.

Tiga pokok yang penting adalah: pertama, mengenal yang Maha benar lagi yang Mahaawal (al-Haqq al-Awwal) dan sifat-sifat dan pengaruh-pengaruh-Nya; kedua, mengenal jalan yang lurus (ash-shirath al-mustaqim) dan tingkatan-tingkatan kenaikan kepada Allah dan cara melakukan perjalanan spiritual (suluk) kepada-Nya; ketiga, mengenal al-ma’ad dan tempat kembali kepada-Nya dan ke negeri rahmat dan kemuliaan-Nya, yakni pengetahuan tentang al-ma’ad dan keimanan pada hari akhirat. 

Adapun tiga pelengkap tersebut adalah: pertama, mengenal orang-orang yang diutus dari sisi Allah untuk berdakwah kepada makhluk dan menyelamatkan jiwa-jiwa. Mereka adalah para pemandu perjalanan akhirat dan para pemimpin kafilah; kedua, penuturan pendapat kaum ateis, penyingkapan kejelakan-kejelekan mereka dan pembodohan akal mereka dalam kesesatan. Tujuannya dalam hal ini adalahmemperingatkan akan jalan kebatilan; ketiga, pengajaran cara memakmurkan tempat-tempat persinggahan (manazil) dan fase-fase perjalanan (marahil) menuju Allah, peribadatan, cara mengambil bekal dan kendaraan untuk perjalanan ke akhirat, persiapan dengan latihan menunggang kendaraan, dan pemberian makan hewan tunggangan. Tujuannya adalah bagaimana mengetahui cara pergaulan manusia dengan para penghuni dunia ini, yang sebagian darinya ada di dalam dirinya---seperti nafsu serta kekuatan syahwat dan marahnya, dan ilmu ini dinamakan pendidikan moral (tahdzib al-akhlak)---dan sebagian lainnya berada diluar dirinya. Adapun berkumpul di dalam sebah rumah, seperti dengan keluarga, pelayan, orang tua, dan anak, yang dinamakan pengaturan rumah, atau disebuah kota, yang dinamakan ilmu politik dan hukum-hukum syariat, seperti diyat, qishash, dan ketentuan-ketentuan hukum---semua ini merupakan enam bagian dari tujuan Kitab Illahi, mana yang sesuai dengan tiga bagian penting yang pada hakikatnya merupakan pilar-pilar keimanan dan pokok-pokok ‘irfan. Semoga Allah menunjuki kita ke dalam kejelasan dan keyakinan.
(Disadur dari Buku Teosofi Trasendental, Mulla Shadra)

Minggu, 12 Februari 2012

MEMBONGKAR PRIVATISASI DAN BIROKRATISASI AGAMA


Catatan ini kupersembahkan untuk saudara-saudaraku yang ada di fakultas ekonomi yang selalu berjuang atas nama agama,, semoga catatan ini bermanfaat dan menjadi bahan perenungan bersama. Selamat Membaca........





Sejak awal kemunculannya, agama-agama yang ada sampai sekarang dalam hal ini agama samawi, datang dengan wujud yang punya perhatian dan kepedulian yang sangat tinggi atas segala penderitaan dan pembodohan yang menimpa umat manusia di muka bumi ini. Agama senantiasa hadir sebagai respon atas segala penindasan dan kesengsaraan hidup yang terjadi di muka bumi. Agama adalah sebagai anak kandung yang paling sah dari penderitaan. Di sini bisa di artikan bahwa agama dating untuk membebaskan manusia dari segala penjara pembodoha. Sekiranya tidak ada agama yang datang sebagai bahan ekspresi kesenangan dan kenikmatan maka bagaimana kondisi umat manusia. Bahkan, agama terutama agama-agama besar yang pernah ada dan bertahan sampai sekarang merupakan gerakan kritik yang paling telanjang atas upaya penistaan terhadap umat manusia.

Goresan-goresan tinta dalam sejarah telah melukiskan bahwa sejumlah pembawa agama yang justru datang dari golongan masyarakat yang lama terperas dan tertindas dalam perjalananya. Orang-orang atau para Nabi seperti Musa As, Isa As, dan Muhammad SAW sudah dikenal sangat luas sebagai tonggak utama dari gerakan pembelaan dan pembebasan terhadap kelas-kelas masyarakat yang tertindas, suku-suku yang terhina, dan kelompok-kelompok masyarakat yang semakin terdesak ke pinggiran akibat pembodohan yang di lakukan oleh orang-orang cerdas dan licik. Mereka (para nabi) bukan hanya mengorbankan harta bendanya, keluarganya akan tetapi lebih dari itu bahkan mereka harus bertaruh dengan segala macam ancaman kehilangan nyawa. Dalam wilayah penderitaan umat manusia di muka bumi, agama kemudian datang menyuguhkan ajaran-ajaran cinta-kasih sebagai fondasi untuk melawan segala kegetiran dan penderitaan hidup. Di dalam ajaran Kristen, cinta kasih telah menjadi daging dalam diri Kristus. Ajaran dan dogma/doktrin cinta kasih yang menyebar di setiap agama merupakan simpati untuk membela dan membebaskan mereka yang mengalami ketertindasan.

Pembebasan adalah tujuan ajaran dari seluruh agama samawi yang pernah ada sampai sekarang. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW datang untuk melakukan pencerahan terhadap pembodohan yang dilakukan oleh orang-orang cerdas pada saat itu. Agama sangatlah identik dengan kerja-kerja advokasi untuk lapisan manusia yang berada di level paling rendah dalam strata sosial yang sering didiskusikan. Oleh karena itu, sangatlah tepat ketika suatu ungkapan menyatakan bahwa “Janganlah kejar Tuhan ke atas langit, tapi kejarlah Dia di kolong bumi”. Tuhan selalu bersama mereka yang tertindas dan kelaparan. Ungkapan ini secara gamblang hendak menegaskan bahwa agama sebenarnya bukanlah sebuah benda di langit yang sangat terpisah dari kehidupan bumi, melainkan air yang menjadi roh bagi semua kehidupan di bumi. Agama bukanlah hanya memuat resep keselamatan akhirat, melainkan juga keselamatan duniawi. Bahkan lebih dari itu, perhatian utama agama sesungguhnya lebih pada tegaknya keadilan dan kesejahteraan di dunia, baru kemudian disusul dengan keadilan dan kesejahteraan di akhirat. “Dunia akan bertahan dengan keadilan meskipun kafir Dan tidak akan bertahan dengan kezaliman meskipun islam” (Imam Ali).

Begitulah penjelasan yang ditemukan ketika orang menelaah buku-buku sejarah agama yang pernah ditulis umat manusia. Akan tetapi, akhir-akhir ini kita sering menyaksikan fenomena-fenomena ketercerabutan agama dari akar sejarah dan khitah awal kehadirannya. Agama sudah cenderung menjadi milik pribadi para elite agama dan tidak merakyat atau bukan lagi milik kelas awam. Kitab suci yang ada di dalam setiap agama sudah tidak lagi menjadi bacaan hati nurani rakyat, melainkan menjadi bacaan akademis kaum agamawan. Warga awam sudah sangat sedikit memiliki akses langsung terhadap kitab suci. Aturan-aturan teknis tata bahasa yang begitu ketat di dalam membaca kitab suci atau goresan-goresan tinta di atas kertas menyebabkan kitab suci itu semakin jauh dari umat awam, tapi sebaliknya semakin melekat kuat/melengket dengan kaum agamawan yang akademis.

Peluang kaum awam untuk membaca kitab suci yang ada telah tertutup dengan adanya ketentuan-ketentuan hasil kreasi kaum agamawan itu. Agama dengan kitab sucinya, tak bisa disangkal lagi, telah sempurna menjadi milik para elite baru di agama. Padahal agama Kristen pada era Isa As, Islam pada era Muhammad SAW adalah agama yang sangat merakyat, dan jauh dari kesan elitis. Agama mengalami privatisasi justru pada era awal formatifnya. Nabi Muhammad SAW dan Nabi Isa As tidak pernah bersabda bahwa agama Islam dan Kristen adalah properti pribadi mereka, melainkan milik seluruh umat manusia. Fenomena birokratisasi agama terasa semakin mengganggu setiap umat beragama untuk terus berkreasi dan berinovasi. Agama sudah sangat birokratis. Padahal, Islam pada masa awal kehadirannya adalah agama yang sangat praktis.

Masalah ritual-ritual peribadatan, upacara-upacara keagamaan yang sangat spektakuler telah mengaburkan konsep ajaran paling konkret dalam agama, membantu mereka yang tertindas/kaum mustadafin. Kita semua dapat menyaksikan fenomena-fenomena di setiap acara keagamaan misalnya: Idul Fitri, Natal, Paskah, dan perayaan-perayaan lain yang sangat spektakuler tapi sangat kering akan makna. Keselamatan telah dibelokkan hanya kepada keselamatan akhirati. Sehingga penderitaan hidup di dunia tidaklah mengapa karena sudah digantikan dengan keselamatan akhirat yang abstrak bahkan terlampau semu itu yang sering dikhotbahkan. Coba kita perhatikan para pendakwah agama disetiap masjid-masjid khususnya pada saat shalat Jum’at yang kebanyakan hanya fasih berbicara tentang janji-janji kesenangan eskatologis atau hari akhir, tetapi tidak mencoba untuk memberikan solusi konkrit bagi pemecahan masalah-masalah menuju kesenangan dan keselamatan duniawi. Tapi yang diberikan adalah solusi-solusi moral,akhlak, ataupun etika yang sangat kecil pengaruhnya sebagai perubahan pandangan hidup pada saat ini. Kaum awam yang termiskinkan hanya diminta untuk bersabar dan bersabar karena Tuhan akan memberikan kebahagiaan bagi mereka di akhirat sebagai balasan atas penderitaannya di dunia yang penuh limpahan materi ini. Apakah ini yang harus di jalankan???

Pengarahan agama ke arah hukum yang legal-formalistik seperti hukum positive buatan manusia sudah tampak makin menguat di kalangan umat Islam. Islam sudah menjadi rangkaian aturan hukum yang dikawal oleh sejumlah kaum agamawan yang sangat formalistik. Kecenderungan sebagian umat Islam yang sangat bernafsu dan memaksakan melakukan formalisasi syariat Islam adalah salah satu indikator yang harus di baca semua kaum tertindas. Syariat Islam yang ditampilkannya pun berupa syariat-syariat yang sangat privat. Dan di sini Islam seakan-akan hanya memuat ajaran-ajaran hukum yang sangat kaku. Islam sebagai agama kerap kali keji, yang memerintah untuk menghancurkan orang lain yang berbeda dengan mereka. Seolah-olah sudah tidak ada kerangka etika-moral yang menjadi payung utama sebagai pelindung dari seluruh gerak perjuangan Islam. Perhatian Islam terhadap penegakan keadilan, kemakmuaran, lingkungan hidup di muka bumi ini, dan lain-lain sudah mulai di lupakan sebagai syariat Islam.

Agama selalu diidentikkan dengan kitab suci yang harus dipedomani dalam keseharian pemeluknya, dan hal inilah kaum awam akan memandang bahwa agama telah terpenjara di dalam teks. Agama bukanlah hal yang hanya disederhanakan menjadi perkara teks semata, sebab teks dalam agama sesungguhnya sekunder yang berfungsi sebagai pelengkap atas kerja-kerja kemanusiaan yang diusungnya. Di luar teks suci yang dipahami kaum agamawan yang akademis tidak ada sentrum kebenaran atau Tidak dibenarkan ada ajaran-ajaran di luar teks suci agama. Agama lalu terbelenggu atau terpenjara dalam teks-teks atau goresan-goresan yang diterjemahkan tanpa makna, dan belum bisa keluar dari jeruji penjara teks itu. Agama telah diposisikan sebagai cetak biru yang kukuh dalam bangunan teks yang menjulang tingi kelangit, sehingga tidak ada pembenaran untuk seorang pun bekerja di luar bingkai itu. 

Kalau, melihat contoh kasus, Islam datang dan dibawa pada zaman Nabi Muhammad SAW sama sekali bukanlah agama yang senantiasa sibuk mengurusi dan memperbincangkan tentang teks atau gorean-goresan tinta. Karena yang penting dalam Islam bukanlah penafsiran teks yang sangat dangkal, tapi perhatian dan keseriusan dalam membela mereka yang tertindas dan terlantar. Kita pahami bahwa persoalan teks tidak menjadi diskursus yang dominan dalam perbincangan Muhammad SAW bersama para sahabatnya yang tetap berada dijalan-Nya (bukan para pengkhianat). Agama yang dipahami terbatas pada konteks teks itu sangatlah lemah, tapi yang terpenting sebenarnya adalah bagaimana menafsirkan teks ke konteks bukan konteks ke teks. Setiap umat beragama harus merefleksikan dan berjuang mengembalikan agama pada semangat awal kehadirannya sebagai agama yang memiliki fokus utama pada ajaran penebaran kasih pada seluruh umat manusia di muka bumi tanpa kecuali. Agama pada masa kini harus segera diselamatkan dari formalisme dan birokratisme yang telah lama memenjarakannya.

Agama sebenarnya mengandung doktrin dan ajaran keselamatan yang sama sekali jauh dari kesan birokratis yang sangat formal. Agama sudah sepantasnya tidak tersandera di tangan-tangan para elite-elite baru di agama. Agama bukanlah hal yang harus terjatuh dan hanya menjadi milik pribadi para agamawan akademis yang sangat terpenjara pada teks. Oleh karena itu, setiap umat manusia, karena kedudukannya sama di mata Tuhan sudah selayaknya untuk melakukan pembongkaran terhadap upaya-upaya privatisasi dan pemenjaraan agama melalui birokrasi formal yang sangat kaku dan mengekang pilihan-pilihan jalan yang akan dilalui oleh tiap umat manusia.


(Pernah dipublikasikan di fb, 12 Mei 2010)

Minggu, 05 Februari 2012

AKU SALAH













Sebelumnya aku dapat melihat kalian
Tersenyum dibawah teduhnya embun pagi
Bercanda dengan hiruk pikuk generasinya kalian
diatas permadani yang dihamparkan

Kini kalian merintih
Diiringi amukan halilintar
yang menyurutkan
Jiwa-jiwa dari manusia munafik

Senyum kalian yang dulunya teduh
kini berubah bagaikan badai
Yang akan menenggelamkan dunia
Baru aku sadari kenapa kalian merintih

Karena keangkuhankulah kalian mengadu pada halilintar
Sehingga langit pun harus marah padaku
Karena kesombonganku pada kalian
Mentari pun harus murka padaku

Maafkan aku
Kalian menangis karena ulahku
Kalian trluka karena ulahku
kalian terasingkan karena ulahku
Dimata generasi kalian sendiri
Serta di hati orang yang kalian cintai
Hingga kalian pergi tanpa jejak
seolah tertelan samudera yang luas

(Pernah dipublikasikan di fb, 7 Mei 2010)

DERITA AL QUR'AN


Perkenalkan pembaca, namaku Al-Quran. Anda pasti sudah kenal saya, secara langsung maupun tidak langsung. Saya mewarnai dunia ini sejak abad ke 7 sampai sekarang ini, dikumandangkan di seluruh pelosok dunia. Dikenal dari kolong jembatan Jakarta sampai istana raja Arabia di pegunungan Alpen. Dari Bronx di megapolitan Rio de Janeiro sampai kantor2 elit di Silicon Valley. Dari syukuran kelahiran sampai berkabung atas kematian. Dari lorong2 sempit shantytown di Uganda sampai di laptop2 mahasiswa muslim di Eropa. Aku praktis ada dimana2 pembaca, setiap detik jutaan orang membacaku. Aku adalah salah satu dari jutaan saudaraku yang menyebar di seluruh dunia. 

Minggu yang lalu aku disumbangkan oleh seorang anggota DPR di perpustakaan daerah. Jadi selama seminggu ini aku mendapatkan rumah baru, aku beruntung sekali, di tempat baru ini temanku jadi banyak. Di tempat yg lama, aku cuma dipajang saja, gak pernah dibaca. Dulu aku dijadikan mahar perkawinan anggota DPR itu dengan istri pertamanya, setelah dia bercerai karena istrinya pertamanya tidak mau dimadu, aku diserahkan ke perpustakaan daerah.

Aku merasa gembira sekali, serasa lepas dari kubangan gelap, tiap hari dulu aku hanya melihat muka2 masam, hubungan rumah tangga yg tidak harmonis, penindasan atas hak2 istri, anak2 yang tidak terdidik dengan baik. Begitu datang aku langsung disambut oleh penghuni2 lama disini, yang paling tua di sini dan paling gemuk itu namanya Veda, yg juga cukup tua walau tidak setua Veda ada Tipittaka, ada juga Injil, ada Taurat, ada Upanishad, ada Politica, Ada Republic, ada Divina Comedia, ada Das Kapital, ada banyak sekali teman2ku di sini. Walaupun begitu, aku tidak bisa langsung dekat sama mereka semua, yang paling dekat selama ini masih Injil, yang sedikit lebih tua daripada dari aku. Aku sering curhat dengannya, dia juga yang selama ini sering melindungiku dari olok2an teman2 dari rak sebelah kiri, terutama Das Kapital yang suka menggangguku. Tapi aku senang di tempat baru ini, aku semakin dewasa, banyak yang kupelajari dari teman2 baruku. Aku juga mengangkat adik, namanya Aqdas, yang terus terang kuakui kadang lebih dewasa daripada aku. 

Di tempat baru ini aku ditempatkan bersama teman2 dari jenisku, yang akhirnya aku malah sering diskusi dengan mereka semua. Dari diskusi2 itu aku menjadi terbuka akan warna-warninya dunia filsafat, itu baru dari filsafat agama. Lebih beragam lagi kalau aku kadang2 mendengarkan percakapan2 dari teman2 yang berada di rak sebelah kiri. Dari diskusi itu, aku menjadi sering merenung sendiri,

Beberapa hari lalu aku diambil dan dibaca oleh seorang anak kecil, umurnya kira2 14 tahunan, pakaiannya kumal, celananya robek disana-sini, kulitnya hitam diliputi debu. Setelah menengok kanan kiri, dia mengambilku dan segera pergi ke meja dan membacaku. Sangat bahagia diriku pembaca sekalian, setelah sekian lama aku hanya dipajang, akhirnya ada juga yang membacaku. Memang dia kurang lancar membacaku, tapi aku bisa merasakan aura kerinduan yang sangat dari tatap matanya dan desah suaranya saat membacaku. Tapi sayang pembaca, tak berapa lama kemudian petugas perpustakaan mengusirnya, disertai gertakan2 yang memilukan hatiku. 20 Tentunya bagi anak itu lebih memilukan lagi, aku melihat air mata menetes di pipinya. Aku sangat sedih sekali..

Para pembaca, terus terang saja, aku kadang iri sama Injil, Veda, Tipittaka, dan yang lain2. Bukannya apa2, tapi jelas semua mengakui bahwa mereka adalah ciptaan manusia, jadi kalau salah ya lumrah, lha memang ciptaan manusia. Tapi aku di rumah besar ini adalah satu2nya yang dianggap produk Tuhan, dianggap sebagai kata2 Tuhan, jadi kalau aku salah seperti salahnya aku tidak mengharamkan perbudakan, atau salahnya aku melakukan perhitungan matematika dalam pembagian warisan, berarti yang salah Tuhan dong, karena aku adalah kata2nya Dia. Aku bukan kata2 Muhammad. Karena Muhammad hanyalah mediumku. Injil memang banyak kesalahan di dalamnya, apalagi yang edisi Latinnya. Tetapi Injil bisa berkilah bahwa memang dia ciptaan manusia, yang membuat adalah murid2 Yesus. Veda juga bisa selamat dari tuduhan, karena memang dia ciptaan resi2, jadi kalau salah ya yang salah resi yang membuatnya. Tipittaka juga begitu, Sidharta kan juga manusia biasa, dia pasti bisa salah. Tapi aku, sekali lagi aku, aku adalah kata2 Tuhan, sungguh pedih hatiku mengingat itu. Aku telah menghina Tuhan, tuhan segala alam. Aku telah digunakan umat untuk menghina tuhan, mengapakah tuhan yang segala maha itu hanya mempunyai kata2 terbaik seperti aku. Bahasaku memang indah, diksi2ku memang mumpuni, tapi aku konstekstual, aku ada karena keadaan, aku ada karena Muhammad butuh alat untuk menyadarkan kejahiliahannya umat. Muhammad butuh dogma sebagai alat, karena orang bodoh yang celakanya 99% manusia tergolong dalam golongan orang bodoh ini butuh dogma, butuh simbol, butuh balasan atas yang dilakukannya, butuh ancaman dan butuh hadiah. Muhammad sendiri tidak butuh dogma dan simbol, karena dia manusia sangat pragmatis dan sekaligus futuristik idealis. Muhammad selalu mengingatkan akan bahaya kebodohan atau kejahiliyahan, karena dia tahu benar akan seperti apa umatnya sepeninggalnya. Waktu dia mau mati, aku ingat benar bahwa dia berkata “ Umatku..umatku…umatku…”, kekhawatiran yang tidak berlebihan jika melihat apa yang terjadi setelah dia meninggal. Yang mengantarkan jenazahnya hanya 5 orang, sedangkan yang lain ribut membicarakan vacuum of power. Umar dengan lantang akan menebas leher siapa saja yang bilang Muhammad meninggal, bibit2 kultus yang justru ada di kalangan sahabat2 terdekatnya. Belum kejadian2 memalukan beberapa lama setelah dia meninggal, istrinya Aisyah perang dengan menantunya Ali bin Abi Thalib, cucunya Hasan dan Husein dipenggal kepalanya oleh orang2 haus kekuasaan, semua sahabat terdekatnya mati terbunuh karena kecemburuan karena kekuasaan, 

Hidup lebih dari 14 abad membuatku menjadi saksi bisu kenaifan manusia, terutama justru kenaifan jutaan pembaca setiaku. Yang sangat membuatku pedih adalah ucapan Muhammad Abduh sewaktu kembali dari perjalanannya ke Eropa, dia lebih melihat Islam di sana daripada di negeri2 yang selama ini mengaku sebagai negeri Islam. Nilai2 persamaan hak lebih dihormati di Negeri yang sedikit sekali orang yang bisa membacaku, kesejahteraan rakyat kecil lebih terjamin di negeri2 itu, di saat korupsi dan komersialisasi diriku dijadikan propaganda politik oleh orang2 yang mengaku Islam yang sering hanya demi kepentingan sesaat semata. 

Jika hidupku memang ditakdirkan untuk menanggung beban ini, aku akan 21 menjalaninya dengan berat hati. Sebenarnya lebih baik aku tiada atau mati saja, daripada hidup menanggung beban melecehkan tuhan. Daripada tiap detik dikumandangkan di seluruh dunia, tapi substansi nilaiku dibuang di pojok2 sejarah, sedangkan nilai2 normatifnya saja yang jadi keributan dimana2. 

Pembaca sekalian, doakan aku ya, biar Allah menguatkan hatiku menerima perlakuan makhluk2, menguatkan aku menghadapi penghinaan2 filosofis ini. Sudahlah, kurasa sudah cukup aku curhat, yang lain sudah pada tertidur. Weda sudah ngorok kudengar, Injil dan yang lain jg sudah tidak terdengar suaranya. Aku ingin tidur, kalau bisa selamanya, agar penderitaanku ini berakhir, penderitaan peradaban yg harus kusandang, oh malang sekali diriku. Terima kasih pembaca, sudah sudi mendengarkan keluh kesahku.
(Di sadur dari buku "Ziarah Ke Makam Tuhan").
(pernah dipublikasikan di fb, 29 September 2010)

Sabtu, 04 Februari 2012

HAKIKAT BISMILLAH


Disadur Dari Beberapa Artikel Sufistik
Nabi SAW bersabda, Setiap kandungan dalam seluruh kitab-kitab Allah diturunkan, semuanya ada di dalam Al-Qur'an. Dan seluruh kandungan Al-Qur'an ada di dalam Al-Fatihah. Dan semua yang ada dalam Al-Fatihah ada di dalam Bismillnahirrahmaanirrahiim. Bahkan disebutkan,"setiap kandungan yang ada dalam Bismillahirrahmaanirrahiim ada di dalam huruf Baa', dan setiap yang terkandung di dalam Baa’ ada di dalam titik yang berada dibawah Baa'".

Sebagian para Arifin menegaskan, "Dalam perspektif orang yang ma'rifat kepada Allah, Bismillaahirrahmaanirrahim itu kedudukannya sama dengan "kun" dari Allah”. Perlu diketahui bahwa pembahasan mengenai Bismillahirrahmaanirrahiim banyak ditinjau dari berbagai segi, baik dari segi gramatikal (Nahwu dan sharaf) ataupun segi bahasa (etimologis), disamping tinjuan dari materi huruf, bentuk, karakteristik, kedudukan, susunannya serta keistemewaanya atas huruf-huruf lainnya yang ada dalam Surat Pembuka Al-Qur'an, kristalisasi dan spesifikasi huruf-huruf yang ada dalam huruf Baa', manfaat dan rahasianya.

Manusia memang berada di gerbangNya, dan setiap ada limpahan baru di dalam jiwa maka ar-Ruhul Amin turun di dalam kalbunya kertas. Ketahuilah bahwa Titik yang berada dibawah huruf Baa' adalah awal mula setiap surat dan Kitab Allah Ta’ala. Sebab huruf itu sendiri tersusun dari titik, dan sudah semestinya setiap Surat ada huruf yang menjadi awalnya, sedangkan setiap huruf itu ada titik yang menjadi awalnya huruf. Karena itu menjadi keniscayaan bahwa titik itu sendiri adalah awal dan pada setiap surat dan Kitab Allah Ta’ala.

Kerangka hubungan antara huruf Baa' dengan Tititknya secara komprehensif akan dijelaskan berikut nanti. Bahwa Baa' dalam setiap surat itu sendiri sebagai keharusan adanya dalam Bassmalah bagi setiap surat, bahkan di dalam surat Al-Baqarah. Huruf Baa' itu sendiri mengawali ayat dalam surat tersebut. Karena itu dalam konteks inilah setiap surat dalam Al-Qur'an mesti diawali dengan Baa' sebagaimana dalam hadits di atas, bahwa seluruh kandungan Al-Qur'an itu ada dalam surah Al-Fatihah, tersimpul lagi di dalam Basmalah, dan tersimpul lagi dalam Huruf Baa', akhirnya pada titik.

Hal yang sama , Allah SWT dengan seluruh yang ada secara paripurna sama sekali tidak terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Titik sendiri merupakan syarat-syarat dzat Allah Ta'ala yang tersembunyi dibalik khasanahnya ketika dalam penampakkan-Nya terhadap mahlukNya. Amboi, titik itu tidak tampak dan tidak Layak lagi bagi anda untuk dibaca selamanya mengingat kediaman dan kesuciannya dari segala batasan, dari satu makhraj ke makhraj lainya. Sebab ia adalah jiwa dari seluruh huruf yang keluar dari seluruh tempat keluarnya huruf. Maka, camkanlah, dengan adanya batin dari Ghaibnya sifat Ahadiyah.

Misalnya kita membaca titik menurut persekutuan, seperti huruf Taa' dengan dua titik, lalu kita menambah satu titik lagi menjadi huruf Tsaa’, maka yang kita baca tidak lain kecuali Titik itu sendiri. Sebab Taa' bertitik dua, dan Tsaa' bertitik tiga tidak terbaca,karena bentuknya satu, yang tidak terbaca kecuali titiknya belaka. Seandainya kita membaca di dalam diri titik itu niscaya bentuk masing-masing berbeda dengan lainnya. Karena itu dengan titik itulah masing-masing dibedakan, sehingga setiap huruf sebenarnya tidak terbaca kecuali titiknya saja. Hal yang sama dalam perspektif makhluk, bahwa makhluk itu tidak dikenal kecuali Allah.

Bahwa kita mengenal-Nya dari makhluk sesungguhnya kita mengenal-Nya dari Allah swt. Hanya saja Titik pada sebagian huruf lebih jelas satu sama lainnya, sehingga sebagian menambah yang lainnya untuk menyempurnakannya, seperti dalam huruf-huruf yang bertitik, kelengkapannya pada titik tersebut. Ada sebagian yang tampak pada kenyataannya seperti huruf Alif dan huruf-huruf tanpa Titik. Karena huruf tersebut juga tersusun dari titik-titik. Oleh sebab itulah, Alif lebih mulia dibanding Baa',karena Titiknya justru menampakkan diri dalam wujudnya, sementara dalam Baa' itu sendiri tidak tampak (Titik berdiri sendiri). Titik di dalam huruf Baa' tidak akan tampak, kecuali dalam rangka kelengkapannya menurut perspektif penyatuan. Karena Titik suatu huruf Merupakan kesempurnaan huruf itu sendiri dan dengan sendirinya menyatu dengan huruf tersebut. Sementara penyatuan itu sendiri mengindikasikan adanya faktor lain, yaitu faktor yang memisahkan antara huruf dengan titiknya.

Huruf Alif itu sendiri posisinya menempati posisi tunggal dengan sendirinya dalam setiap huruf. Misalnya kita bisa mengatakan bahwa Baa' itu adalah Alif yang di datarkan Sedang Jiim, misalnya, adalah Alif dibengkokkan' dua ujungnya. Daal adalah Alif yang yang ditekuk tenga hnya.Sedangkan Alif dalam kedudukan titik, sebagai penyusun struktur setiap huruf ibarat Masing-masing huruf tersusun dari Titik. Sementara Titik bagi setiap huruf ibarat Neucleus yang terhamparan. Huruf itu sendiri seperti tubuh yang terstruktur. Kedudukan Alif dengan kerangkanya seperti kedudukan Titik. Lalu huruf-huruf itu tersusun dari Alif sebagimana kita sebutkan, bahwa Baa’ adalah Alif yang terdatarkan.

Demikian pula Hakikat Muhammadiyyah merupakan inti dimana seluruh jagad raya ini diciptakan dari Hakikat Muhammadiyah itu. Sebagaimana hadits riwayat Jabir, yang intinya Allah swt. menciptakan Ruh Nabi saw dari Dzat-Nya, dan menciptakan seluruh alam dari Ruh Muhammad saw. Sedangkan Muhammad saw. adalah Sifat Dzahirnya Allah dalam makhluk melalui Nama-Nya dengan wahana penampakan Ilahiyah.
kita masih ingat ketika Nabi saw. diisra'kan dengan jasadnya ke Arasy yang merupakan Singgasana Ar-Rahman. Sedangkan huruf Alif, walaupun huruf-huruf lain yang tanpa titik sepadan dengannya, dan Alif merupakan manifestasi Titik yang tampak di dalamnya dengan substansinya Alif memiliki nilai tambah dibanding yang lain. Sebab yang tertera setelah Titik tidak lain kecuali berada satu derajat. Karena dua Titik manakala disusun dua bentuk alif, maka Alif menjadi sesuatu yang memanjang. Karena dimensi itu terdiri dari tiga: Panjang, Lebar dan Kedalaman.

Sedangkan huruf-huruf lainnya menyatu di dalam Alif,seperti huruf Jiim. Pada kepala huruf Jiim ada yang memanjang, lalu pada pangkal juga memanjang, tengahnya juga memanjang. Pada huruf Kaaf misalnya, ujungnya memanjang, tengahnya juga memanjang namun pada pangkalnya yang pertama lebar. Masing-masing ada tiga dimensi. Setiap huruf selain Alif memiliki dua atau tiga jangkauan yang membentang. Sementara Alif sendiri lebih mendekati titik. Sedangkan titik , tidak punya bentangan. Hubungan Alif diantara huruf-huruf yang Tidak bertitik, ibarat hubungan antara Nabi Muhammad saw, dengan para Nabi dan para pewarisnya yang paripurna. Karenanya Alif mendahului semua huruf.

Diantara huruf-huruf itu ada yang punya Titik di atasnya, ada pula yang punya Titik dibawahnya,Yang pertama (titik di atas) menempatip osisi "Aku tidak melihat sesuatu sebelumnya) kecuali melihat Allah di sana". Diantara huruf itu ada yang mempunyai Titik di tengah, seperti Titik putih dalam lobang Huruf Mim dan Wawu serta sejenisnya, maka posisinya pada tahap, "Aku tidak melihat sesuatu kecuali Allah didalamnya." Karenanya titik itu berlobang, sebab dalam lobang itu tampak sesuatu selain titik itu sendiri Lingkaran kepada kepala Miim menempati tahap, "Aku tidak melihat sesuatu" sementara Titik putih menemptai "Kecuali aku melihat Allah di dalamnya."

Alif menempati posisi "Sesungguhnya orang-orang yang berbaiat kepadamu sesungguhnya mereka itu berbaiat kepada Alllah." Kalimat "sesungguhnya" menempati posisi arti "Tidak", dengan uraian "Sesungguhnya orang-orang berbaiat" kepadamu tidaklah berbaiat kepadamu tidaklah berbaiat kepadamu, kecuali berbaiat kepada Allah."

Dimaklumi bahwa Nabi Muhammad saw. dibaiat, lalu dia bersyahadat kepada Allah pada dirinya sendiri, sesungguhnya tidaklah dia itu berbaiat kecuali berbaiat kepada Allah. Artinya, kamu sebenarnya tidak berbaiat kepada Muhammad saw. tetapi hakikat-nya berbaiat kepada Allah swt. Itulah arti sebenarnya dari Khilafah tersebut.
(pernah dipublikasikan di fb, 19 Juni 2010)

SANG AKTIVIS













Hari-hari engkau berteriak
Meneriakkan jeritan-jeritan yang terluka
Engkau tidak mengenal panas ataupun dingin
Engkau terus berjuang
Memperjuangkan tangisan yang ada disekelilingmu
Tak mengenal ancaman
Tak mengenal tekanan
Tiap kali engkau turun
Engkau dihantam
di kejar dan diburu
Dijadikan seperti penjahat
Oleh mereka yang bermuka dua
(pernah dipublikasikan di Fb, 7 Mei 2010)

ISLAM DAN BAYANGAN KEMATIANNYA



Islam adalah agama yang realistis dan mencintai alam, kekuatan, keindahan, kesehatan, kemakmuran, kemajuan, dan pemenuhan seluruh kebutuhan manusia,,, kaum muslim menanggung beban tanggung jawab sosial, dan bahkan misi universal, untuk memerangi kejahatan dan berusaha merebut kemenangan demi umat manusia, kebebasan, keadilan, dan kebaikan,,, Islam adalah agama yang dengan segera melahirkan gerakan, menciptakan kekuatan, menghadirkan kesadaran diri dan pencerahan, dan menguatkan kepekaan politik dan tanggung jawab sosial yang berkait dengan diri sendiri,,, suatu kekuatan yang meningkatkan pemikiran dan mendorong kaum tertindas agar memberontak dan menghadirkan di medan perang spirit keimanan dan keberanian......


‘Tahu’ dan ‘Pengetahuan’
Manusia adalah mahluk sempurna. Dibekali akal, hati dan indera ia menjelma sebagai mahluk yang paling berpengaruh di muka bumi ini. Inovasi tiada hentinya dalam mengasah kreasi ketiga potensinya itu telah menghasilkan kebudayaan dan peradaban yang sangat kompleks sekarang ini. Cara kita makan, minum, bertindak ini-itu, menyimpulkan harus begini-begitu, menganggap ini lurus-itu sesat, ini benar-itu salah, ini surgawi-itu nerakawi, ini duniawi-itu ukhrawi, ini kebaikan-itu keburukan, ini pahlawan-itu bajingan dan lain sebagainya adalah hasil dari pergulatan daya potensi manusia yakni akal, indera dan hati.

Hanya manusia yang memanusialah yang suka bertanya. Tapi, ini tidak berarti bahwa orang yang sehat dalam konteks memanusia adalah adalah orang yang selalu bertanya. Saya pikir orang seperti itu sinting. Lebih tepat jika dikatakan orang yang sehat adalah orang yang selalu bertanya sekaligus menjawab. Ia selalu siap ‘agkuh’ dan meragukan sesuatu, sekaligus siap rendah hati dan meyakini sesuatu”

Menyelami Ontologi dari Ilmu : Antara ADA dan TIADA 

Realitas ini adalah keberadaan. Yang nampak seperti kursi dan lain sebagainya serta yang tidak tampak seperti pikiran dan sebagainya adalah realitas. Tapi, Apakah Yang Sebenarnya Ada? Ada sebenarnya sebagai pusat Segala sesuatu? Materi atau ide, benda-benda atau apa yang ada di otak-otak kita (pikiran)? Untuk menjawabnya itu kita perlu menyimak perdebatan filosofis para mahluk ‘aneh’, yakni Filosof. Bagi kalangan materialis, yang sebenarnya ada adalah benda-benda. Apa yang tampak adalah benda-benda atau materi yang tersusun dari unsur-unsur lebih kecil yang menyatu dan membentuknya. Ya, semua benda itu terdiri dari atom-atom. Atom terdiri dari inti dan electron. Inti terdiri dari proton dan netron. Dan terakhir muncul unsur terkecil yang hingga kini dianggap tak bisa dipisah-pisah lagi yaitu quark. Karena inilah kalangan materialis berkeyakinan yang sebenarnya ada adalah benda.

Namun sayang, lembar jawaban ini masih menyisakan masalah. Masalah itu terutama datang dari kaum idealis plus religius. Bagi kaum idealis jawaban kalangan materialis tidak memuaskan kaena masih menimbulkan pertanyaan; apa sebenarnya quark itu? Mana buktinya kalau itu benar-benar ada? Bukankah sang materialis selalu bisa membuktikan data empirik melalui indera terlebih dahulu sebelum menyimpulkan? Serangan yang membuat mati kutu bagi kaum materialis itu membuat kaum idealis di atas angin. Bagi mereka yang sebenarnya ada adalah pikiran atau itu. Hore....hidup kaum idealis. Sudah finalkah, dan idealis tampil sebagai pemenang? Belum. Persoalan masih menghantui; apa sebenarnya pikiran itu?

Petarungan kembali berlanjut, bagi kaum materialis, pikiran adalah pola-pola dalam otak manusia yang sejatinya terdiri dari benda-benda. Sementara kaum idealis membantah: pikiran adalah pola-pola yang bermakna dan saling memaknai. yang bisa memaknai ini apalagi kalau bukan pikiran. Bukan benda-benda. Tibalah kita pada pandangan yang berputar-putar. Tidak lagi ke kiri atau ke kanan, kini kita sampai pada bundaran yang membingungkan. Adakah yang menjadi penunjuk jalan? Para filosof sejarah tampil ke depan. Meraka mengatakan bahwa yang benar-bena ada adalah peristiwa-peristiwa yang hakikatnya terletak pada kreativitas. Yang ideal dan yang material tak lain adalah aspek-aspek saja dari setiap proses. Jawaban yang sedikit-banyak membuat reda perang urat syaraf. Dengan demikian kita bisa mengatakan, bagi kalangan materialis yang sebenarnya ada adalah materi, bagi kaum dealis yang sebenarnya ada adalah pikiran, dan bagi filosof sejarah yang sebenanya ada adalah peristiwa-peistiwa. Tapi, Apakah “ADA” Itu Sebenarnya? Apakah yang sebenarnya ADA itu hanya materi dan apa yang bisa kita pikirkan? Bagaimana pula dengan ADA-nya Tuhan? 

ADA itu adalah sesuatu, sesuatu itu meliputi yang tampak dan tidak tampak oleh indera. Tapi, apakah ADA-nya tuhan juga demikian? Bagi Mulla Shadra seorang tokoh filsafat islam, ADA itu tanggal dan berlaku untuk semua benda, baik yang konkrit maupun yang abstrak. Meskipun begitu, Shadra mengatkan bahwa “ada”nya Tuhan adalah ADA murni, sedangkan “ada”nya yang lain becampur dengan esensi. Inilah pelipur lara bagi para pencari bukti adanya tuhan melui pendekatan filsafat. Karena ADA-nya Tuhan adalah Murni maka mengatakan bahwa Tuhan itu Tidak ada adalah sebuah kemustahilan. Karena bagaimanapun kita berpikir dan berkata bahwa Tuhan tidaka ada, Tuhan tetap ADA. Apa yang kita bicarakan di atas adalah wilayah hakikat. Kita menyaksikan bahwa bagi kalangan materialis yang hakikat adalah benda benda. Dan bagi kalangan idealis yang hakikat adalah pikiran. Bagaimana dengan islam? Apa yang hakiki menurut Islam? Tentu yang hakiki, yang ada sebenarnya adalah Tuhan, yaitu Allah SWT. Karena Allah adalah pencipta Segala sesuatu (Khaliq). Dialah kebenaran satu-satunya. Bila demikian halnya, bisakah kita mencapai kebenaran Tuhan itu? Bisakah manusia yang relativ kebenarannya mencapai kebenaran Tuhan yang mutlak? Bukankah manusia itu mahluk yang lemah? Terlebih lagi Allah SWT memberikan pengetahuannya kepada kita tidak ada kecuali sedikit (illa qaliil). Hemat saya kita perlu terjerumus pada apakah kita akan sampai pada kebenaran yang mutlak itu dan berbangga-angkuh saya telah mencapai hakikat. Yang tepenting bagi saya adalah Allah yang maha Pemurah itu telah menganugerahkan kepada kita berbagai potensi untuk berpengetahuan. Kita dianugrahkan akal, indera dan hati sebagai bekal mengarungi kehidupan dunia ini yang tidak lepas dari ruang dan waktu. Maka bagaimana kita memaksimalkan daya potensi kita di alam fana ini sebagai wujud ibadah kita kepada Allah SWT. Maksimalisasi dari semua potensi itulah yang akan mendekatkan diri kita kepada Allah. Selain itu, bekal kodrati manusia berupa akal, hati dan indera itu juga berarti menekankan kita untuk berusaha mencari kebenaran hakiki. Bukankah akal, hati dan indera juga berasal dari Tuhan? Dengan begitu, Tuhan telah memberi kesempatan kepada manusia untuk mencari pengetahuan (kebenaran) sebagai lambang pengabdian kepada Allah SWT. Itulah yang menjadikan seorang Murthada Muthahhari menyebutkan adanya kemungkinan manusia mendapatkan pengetahuan atau kebenaran.

Disinilah kita menemukan konteksnya mengenai hakikat ilmu. Ilmu bukankah seongkang usaha tanpa makna, melainkan ia mengemban amanah untuk memahami realitas sebenarnya sebagai wujud pengabdian kepada Allah SWT dan perannya di muka bumi sebagai khalifah. 

Epistemologi 
 
Sumber Pengetahuan Manusia “Dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati.” Adalah ungkapan yang sering kita dengar dan cukup mengundang ‘geli’. Bukan tanpa makna. Dalam perspektif ilmu, mata adalah sumber pengetahuan empiris dan hati sumber keyakinan diri. Dengan mata kita bisa menyaksikan hitam-putih, tampan-cantik, bulat-lonjong, mancung-pesek, kurus-gemuk, tinggi-rendah dan sebagainya. Dengan hati kita bisa merasa susah-senang, cinta-benci, tenang-khawatir, simpati-empati, takjub-mangkel dan sebagainya. Inilah sebagian pengetahuan manusia. Tapi, apakah dengan melihat dan seklaigus itu yang menyebabkan kita meyakini? Atau keyakinan itu muncul serentak begitu saja lewat intuisi kita? muncul bagai jailangkung, datang tak dijemput pulang tak diantar? Lalu, mengapa kita harus benci? mengapa kita harus khawatir? mengapa harus begini? Mengapa harus begitu? Mengapa ini tidak boleh? Mengapa itu tidak boleh? Bagaimana kita bisa mengurai, memilih dan menilai dari berbagai fenomena empiris itu yang kemudian menyimpulkan ini-itu? Apa yang menjadi sandaran kita sehingga tingkah polah kita harus seperti ini dan itu? Indera, hati atau akal? Untuk menjawabnya, kita akan melihat alat atau sumber-sumber pengetahuan manusia.
Indera Manusia memiliki berbagai indera sebagai alat untuk mengetahui sesuatu. Indera penglihatan, pendengaran, dan perasa. “Kehilangan satu indera, maka ia telah kehilangan satu.” begitulah ungkap Aristoteles. Berkaitan dengan ini Muthahhari mengilustrasikan dengan sebuah contoh orang buta sejak lahir bertanya “susu beras itu seperti apa?”. Meskipun orang berusaha menjelaskannya. Tetap sang buta tidak bisa mengerti warna susu beras itu. Selain itu, indera juga terbatas. Pengetahuan yang dihasilkan oleh indera sering kali menipu. Mata misalnya dalam melihat sesuatu akan sngat dipengaruhi oleh jarak. Contoh sederhana mengenai fatamorgana. Dari kejauhan kita melihat di terik matahati di sebuah jalan aspal yang lurus kita melihat ada  gumpalan air di atas aspal. Tapi, tatkala dikonfirmasi dengan melihatnya lebih dekat, tak ada apa-apa. Air yang tadinya tampak nyata ternyata menipu, bukan yang sebenarnya.  

Akal. Di atas keterbatasan indera itu akal muncul sebagai alat epistemology lain yang melengkapi. Ini tak lepas dari fungsinya yang bisa merenung, memilah, membuang yang tak bermakna, mencerap, menangkap makna, menimbang dan sebagainya. Seperti dikutip Musa Khazim, Murthada Muthahhari menggambarkan kinerja akal dalam lima tahap sebagai berikut:
  1. Menerima pesan dari luar. Pada tahap ini akal menagkap objek-objek alam luar melalui panca indera yang tersimpan dalam lokus mental. 
  2. Mengingat. Artinya, setelah menerima gambar atau kesan dari luar, akal mempunyai kemampuan menampakan kembali secara jelas. 
  3. Membagi atau Mengklasifikasi dan Menggabungkan atau Mensintesiskan. Dalam tahap ini akal mampu mengurai, memilah dan mengupas kesan yang masuk dalam benak atau akal. 
  4. Abstraksi dan generalisasi. Dalam hal ini akal berupaya memisahkan gambaran yang tertangkap oleh panca indera dari cirri-ciri individual dan partikularnya. 
  5. Perenungan atau penalaran dan pembuktian atau argumentasi. Pada tahap ini akal mencoba menghubungkan seerangkaian data untuk mengungkap dan mengetahui objek yang belum diketahui. 
Hati. Dapatkah hati menjadi sumber pengetahuan. Jalaludin Rumi pernah berkata bolehlah manusia dengan rasionya mengetahui segala sesuatu. Tapi, ia tidak tahu tentang dirinya sendiri. Ya, untuk keperluan ini kita bisa bertanya tentang kesedihan, kekhawatiran, bahkan keyakinan. Mungkinkah ini muncul dari rasio. Tidak ia muncul dari hati. Makanya, hati adalah alat epistemology. Alat untuk mendapatkan pengetahuan.


Aksiologi Ilmu: 

Apakah Ilmu Bebas Nilai Atau Tidak? Bagi sekuler yang memposisikan agama dan ilmu pengetahuan dalam oposisi biner menganggap bahwa ilmu bebas nilai. Ilmu tidak terkait dengan agama atau dogma-dogma tertentu. Ia lahir begitu saja dari kreasi akal dan indera, atau lebih tepatnya melalui eksperimentasi terhadap alam dalam sains. Tapi, pertanyaannya adalah apakah ilmu itu dapat terlepas dari penerapannya? Apakah ilmu itu dibuat, dirancang, dan diterapkan dalam sosio-cultural tertentu tidak terkait dengan manusianya? Betulkah ilmu itu berdiri sendiri dalam upaya aplikasinya tanpa campur tangan manusia? Tidak, Ilmu tidak bebas nilai. Kalaupun ilmu itu bebas nilai, mengapa ilmu yang dianggap adalah untuk kemajuan dan kebaikan manusia telah menjelma sebagai kekuatan menakutkan? Ia telah digunakan semena-mena untuk eksploitasi alam, invasi militer, pembobolan rekening, penyalahgunaan anggaran, pembohongan public. Dalam teknologi informasi kita melihat krisis dimana ia telah menjadi penyangga utama budaya pop atau benda yang memiskinkan kesadaran dan terjebak ‘nyaman’ dalam ruang mekanistikan.

Memeluk Ilmu Pengetahuan Islam: 

Akal, Indera, Hati dan Wahyu sebagai epistemology islam Karena kerja akal, indera dan hati telah diurai di atas, pembahasan ini akan lebih difokuskan pada interpretasi wahyu sebagai sumber pengetahuan. Hal ini menjadi sangat penting karena persoalan agama yang berhadapan dengan realitas sosial (wilayah inderawi), penafsiran (wilayah rasio) dan keyakinan apa yang mesti dilakukan sangat terkait dengan pegangan atau pembongkaran terhadap teks agama itu sendiri. Ini dapat dipahami, meskipun beragam interpretasi dan memunculkan banyak kesimpulan tetapi sumbernya tetap sama yaitu al-Qur’an dan Al-Hadis.

Sebelum menyelam ke kedalaman teks, kita perlu menjawab dahulu apakah al-Qu’an yang notabene yang oleh sebagaian kalangan dianggap universal itu bisa ditafsirkan? Melihat sejarah islam tentu jawabannnya menjadi pasti. Bisa di tafsirkan. Faktanya, doktriner-doktriner yang sampai kepada kita dibanjiri dengan ungkap-ungkap ajaran agama hasil penafsiran para ulama dan fuqaha. Bahkan penafsiran yang juga lambang dari ijtihad itu telah muncul setelah nabi meninggal. Dan kini kita pula mengenal mengenal adanya mazhab asy-Syafi’I, Maliki, Hambali, dan Hanafi. Tentu saja disamping itu banyak pula mujtahid yang tidak termasuk ulama mazhab. Hal yang sama terjadi sampai sekarang. Penafsiran akan teks sangat beragam. Ada yang bersifat fundamental ada juga liberal, ada yang menekankan pada teks ada pula yang menekankan pada rasio. Bagi seorang ‘fundamentalis’ penafsiran teks agama bersifat skriptualisme, atau meyakini al-Qur’an sebagai firman Tuhan dan dianggap tanpa kesalahan. Ini bertolak pada prinsip bahwa; Pertama, penolakan terhadap hermenetika. Ia menolak interpretasi teks secara kritis. Baginya, al-Qur’an harus dipahami secara literal saja. mereka mengajukan alasan bahwa nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Kedua, penolakan tehadap pluralisme dan relativisme karena pluralisme dianggap merupakan pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman itu harus satu dan tidak ada realtivisme dalam memahami teks tersebut. Ketiga, penolakan terhadap perkembangan histories-sosiologis. Bagi mereka, pekembangan historis-bila perlu dengan kekerasan- harus disesuaikan dengan kitab suci. Dan, Keempat, mereka sering mengambil posisi oposisionalisme. Dengan keyakinan mereka akan kebenaran mutlak teks tersebut mereka mengambil jarak dengan pemahaman-pemahaman yang ia anggap ‘sesat’. Tak jarang prinsip-prinsip ini bertumpu pada legitimasi islam kaffah, kedaulatan tuhan dan puritanisme. Sebaliknya, bagi kalangan ‘liberal’ teks yang dianggap tidak sesuai dengan sosio-historis harus di bongkar dan ditafsirkan ulang. Tak masalah baginya bila kemudian terdapat pemahaman yang berbeda-beda. Untuknya, kala wacana hermenetika mencuat. Kaum liberal menyambut baik. Berkaitan dengan teks ini Hassan Hanafi menjelaskan bahwa; Pertama, teks adalah teks dan bukan realitas. Ia hanyalah deskripsi linguistik terhadap realitas yang tidak dapat menggantikannya. Kedua, teks hanya menuntut keimanan apriori. Ketiga, teks bertumpu pada otoritas Kitab. Keempat, teks datang dari luar bukan datang dari realitas dalam. Kelima, teks selalu tekait dengan realitas yang ditunjuknya. Keenam, teks bersifat unilateral yang selalu terkait dengan teks-teks lainnya. Ketujuh, teks selalu dalam ambiguitas pilihan-pilihan yang tidak luput dari pertimbangan untung-rugi (kepentingan).

Menurut saya, memang al-Qur’an tejamin kebenarannya. Tapi kebenaran yang ada di dalamnya ada yang bersifat universal ada juga yang temporal. Ada yang sifatnya normative-universal ada pula praktis-temporal. Atau dalam istilahnya Amin Abdullah ada dimensi normative dan histories-nya. Artinya, dalam al-Qur’an ada teks-teks yang berlaku secara umum dalam semua tempat dan waktu ada pula teks yang pelaksanaanya sesuai dengan konteksnya tergantung waktu dan sosio-historisnya. 

Maka bagi saya kita tak perlu ribut-ribut apalagi saling menghujat antara yang fundamentalis dengan yang liberalis itu. Selain secara histories pemahaman manusia itu beragam juga karena posisi teks yang dihadapkan dengan tantangan zaman. Apalagi, Islam dalam teks-teks agamanya tidak melulu menekankan keyakinan akan teks-teks agama melainkan juga yang lebih penting pengaplikasiannya. Bukankah seringnya kita membicarakan kesalehan individu dan sosial itu di ruang-ruang diskusi saja? bukankah kita hanya sibuk dengan urusan sesat-menyesatkan saja sementara kita lupa dengan teks-teks kesosialan kita yang sebenarnya menyuruh memberantas kolusi, korupsi dan nepotisme, penyalahguanaan wewenang, pembodohan rakyat, dan penindasan kaum lemah? Itulah karena seringnya kita menganggap bahwa urusan ilmu adalah urusan teks. Dan teks harus diperdebatkan dan di yakini bukan direalitaskan.

Sains Diperhadapkan Dengan Agama

Sains adalah bentuk pengetahuan modern yang paling berpengaruh dewasa ini. kemunculannya menjelma menjadi kekuatan yang tak tertandingi. Sains bahkan dianggap telah membuat dunianya sendiri yang sering dianggap netral yaitu dunia sains. Bebas dari agama dan dogma-dogma. Jadilah, sains selalu dipertentangkan dengan agama. Paling tidak, usaha Galileo dan Copernicus yang sering dipertentangkan dengan kaum gereja semakin membuktikan bahwa agama dan sains saling beseteru, menyerang, membunuh, serta saling mematikan. Terlebih, dengan hasil-hasil penelitian yang menakjubkan seperti teori evolusinya Darwin, teori atom-nya Dalton, rekayasa genetika dan lains sebagainya telah mengganggu kenyamanan agama yang secara doctrinal bertentangan dengan penelitian itu. Meskipun, di abad 21 ini agama kembali bisa tersenyum karena Einstein muncul dengan teori relativitasnya. Tapi, apakah benar sains itu bertentangan dengan agama? Orang yang dianggap paling cerdas di abad 20 Albert Einstein penemu teori relativitas sekaligus penghancur teori kuantum menyatakan bahwa “ilmu pengetahuan hanya dapat diciptakan oleh mereka yang dipenuhi dengan gairah untuk mencapai kebenaran dan pemahaman. Tetapi, sumber perasaan itu berasal dari tataran agama. Termasuk di dalamnya adalah keimanan dan kemungkinan bahwa semua peraturan yang berlaku pada dunia wujud itu bersifat rasional. Artinya, dapat dipahami oleh akal. Saya tidak dapat membayangkan ada ilmuwan sejati yang tidak mempunyai keimanan yang mendalam seperti itu. Keterangan ini dapat diungkapkan dengan gambaran: ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan lumpuh.” Dengan ini kita bisa mengatakan bahwa sains dan agama tidak diposisikan sebagai sesuai yang bertentangan melainkan saling melengkapi (integrasi).

Menyelami Samudra Kematian Islam
Bagi Islam dan agama-agama lain. Dia tepat di depan mata kita. Paling tidak untuk menggambarkan dinamika keilmuan yang berpengaruh di era sekarang ini-saya dan kita harus mengakui-bahwa keilmuan barat yang bertumpu pada rasionalisme dan empirisme yang menjadikan manusia pusat segalanya merupakan kekuatan yang tidak tergoyahkan sekaligus menakutkan bagi Islam. Bahkan dalam realitasnya kita ditaburi berbagai penjelasan bahwa Islam kini tengah terpuruk. Pervez Hoodboy secara provokatif menggambarkan: “Cobalah anda bayangkan sebuah tim antropolog dari Mars Mengunjungi Bumi sekitar abad ke-9 dan ke-13. Misi mereka adalah untuk mempelajari evolusi kebudayaan dan social manusia. Pengamatan mereka menunjukan bahwa masyarakat tertentu sangat dinamis dan berevolusi mencapai bentuk yang lebih maju dan lebih canggih, sementara masyarakat yang lain statis dan lumpuh karena tradisi dan tatacara agama. Pengunjung dari Mars ini melaporkan kepada markasnya bahwa peradaban yang mempunyai masa depan adalah peradaban islam dengan baitul hikmah, observarium astronomi, rumah sakit dan sekolahnya. …sementara eropa dengan paus-paus palsunya, tampak semakin mundur dan biadab, tenggelam dalam kemuraman abad kegelapam..Anggaplah kini tim mahluk asing yang sama datang kembali ke zaman ini. Dengan rasa malu mereka harus melaporkan kembali bahwa ramalan awal mereka ternyata salah. Sebagian umat manusia yang pernah tampak menawarkan janji peradaban tersebut, kini tak pelak lagi tersejabak dalam kebekuan abad pertengahan. Mereka menolak yang baru dan dengan frustasi bergantung pada kejayaan silam. Di lain pihak, yang tadinya tampak mundur telah menaiki tangga evolusi dan kini menuju bintang-bintang. Apakah pembalikan peran yang menakjubkan ini, Tanya para pengunjung dari Mars, apakah hanya sekedar kesialan satu pihak dan keberuntungan pihak lain?” 

Hoodboy memang mengaitkan peradaban Islam yang dimaksud dengan perkembangan sains. Ia hendak mengatakan bahwa ketertinggalan Islam dalam bidang sains adalah karena ‘tidak dihargainya’ rasionalitas sebagaimana didewakan di dunia barat. Akibatnya, kubangan keterbelakangan dalam sains-hingga-kini belum beranjak dari jurang degradasi. Sebuah penelusuran yang menarik. Namun bukan hanya sains saja yang sekarang menjadi perbincangan hangat dan ditengarai sebagai biang keladi berbagai problem sosial. Dunia keilmuan secara umum sedang banyak diperbincangkan. Apalagi terkait dengan agama. Termasuk Islam. Keilmuan modern yang menyandarkan diri pada tradisi keilmuan barat sedang di gugat habis-habisan. Hal ini bisa dimaklumi karena manusia modern dengan pencapaian keilmuannya itu tidak hanya menemukan progressifitas melainkan juga degradasitas. 

Peradaban dan kebudayaan kini (modernitas) yang merupakan buah keilmuan modern itu berserta tatanan sosial yang dihasilkannya ternyata telah melahirkan berbagai konsekuensi buruk (problem modernitas) bagi kehidupan manusia dan alam pada umumnya; Pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek-objek, spiritual-material, manusia-alam dan lain sebagainya telah mengakibatkan objektivisasi alam secara berlebihan dan pengurasan (eksploitasi) alam secara semena-mena. Kedua, pandangan modern yang objektivitas dan positivistis telah menjadikan manusia objek dan direkayasa bagai mesin. Alhasil, kehidupan menjadi tidak begitu ramah dengan hal-hal yang manusiawi. Ketiga, positif-empiris sebagai kebenaran tertinggi yang dianut modernisme telah menyebabkan nilai-nilai moral dan religius kehilangan wibawanya. Apalagi ditambah dengan kuatnya pengaruh kapitalisme dalam keilmuan modern telah menjadikan nilai-nilai agama terpinggirkan dalam kehidupan sosial. Timbulah kemudian kekerasan, keterasingan, depresi mental dan lain sebagainya. Keempat, modernitas telah menjadikan materi sebagai kekayaan paling utama yang kemudian membuka pintu persaingan bebas lebar-lebar. Dalam kondisi inilah agama kembali terdesak; dipaksa ikut aturan pasar atau mati kutu. Sebagai kelanjutannya menimbulkan, Kelima, kembalinya militerisme dan Keenam, tribalisme. Cukupkah hanya disini? Jawabannya tidak. Sebagaimana disebutkan, virus-virus keilmuan modern tidak berhenti pada wilayah ilmu-ilmu alam atau sains melainkan juga sosial budaya. Dan dalam hal ini modernitas menjadi ancaman berbahaya bagi agama karena karakteristiknya yang hegemonik, progressivisme, base on economy, refresif, homogenik, non-teleologik, disekuilibrik, dan sekularistik.

Mengacu pada fakta ini, apakah ini berarti bahwa keilmuan modern sarat dengan kolonialisasi? Secara gamblang Michel Foucoult menyatakan:”the will to know, the will to power”. Artinya: Awalnya hendak sekedar mengetahui telah berubah dikemudian hari menjadi penancapan kekuasaan. Postkolonial itu telah merayap dari penjajahan sebelumnya yang berbentuk fisik pada penjajahan yang lebih halus melalui pengetahuan. Pengetahuan telah dikonstruksi sesuai dengan kepentingan si pembuatnya. Kemudian agama hanya dipandang sebagai bumbu masakan yang bisa memuluskan pihak yang berkepentingan menggunakan ilmu pengetahun. Agama sudah tidak ditempatkan sebagai norma yang mulia tetapi telah direduksi sesuai dengan kepentingan ekonomi-politik yang bertumpu pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Paling tidak ini tampak jelas dalam cara beragama kita akhir-akhir ini. Beragama harus sesuai dengan setelan mode jilbab. Berhibah harus sesuai dengan waktu kampanye. Menghormati dan menghargai harus berdasarkan ukuran status sosial, besar tidaknya kekayaan, hingga cocok tidaknya dengan mode. Berdakwah pun mulus kalau dikasih honor tinggi. Lupa, bahwa agama telah dijadikan barang dagangan. Di tambah lagi dengan bantuan ilmu dan teknologi, agama dijadikan aksesoris seruan-seruan para kapitalis untuk menjualkan dagangannya.

Kematian tidak selalu berarti hapus sama sekali. Kematian bisa berarti perpindahan bentuk dari yang satu ke yang lainnya. Dengan mengikuti alur logika ini, bisa jadi ke depan agama mengalami kematian itu. Agama yang akan kita temukan termasuk Islam tidak otentis lagi. Tak ada lagi seruan moral pembebasan yang dapat diandalakan sebagai agama rahmatan lil alamin. Yang ada hanyalah tradisi islam superficial. kemanakah ilmu yang membebaskan manusia dari ketepurukan itu. Disinilah problem keilmuan barat yang telah menghempaskan nilai-nilai agama. Itulah, karena ilmu tidak dicipta dan dipakai sebagai alat pengabdian kepada sang pencipta dan hanya dijadikan pemuas nafsu manusia. Jadilah problem modernitas menjadi penyakit akut yang hingga kini menghantui.
(Telah dipublikasikan di hmiekonomi.wordpress.com dan  facebook pada 27 april 2010)

Kamis, 02 Februari 2012

“RUMAH SAKIT ITU BUKAN TEMPAT BISNIS”


Bukan hal baru ketika membaca harian fajar makassar yang terbit hari sabtu tanggal 28 januari 2012. Pada halaman 16 Di dalam koran itu dijelaskan bahwa pendapatan rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah Propinsi Sulsel membukukan pendapatan sebesar 30,20 Miliar. Angka yang sangat mencengangkan bagi masyarakat. Pertanyaan yang akan muncul adalah bagaimana mungkin institusi yang dikelola pemerintah yang sifatnya tidak mencari keuntungan justru menghadapkannya pada kita dengan pencarian keuntungan yang besar?

Aneh memang, tapi itu adalah kenyataan yang terjadi dihadapan kita. Logika bisnis kapitalis yang telah diadopsi oleh pemerintah di negeri ini memang telah mengorbankan banyak anak negeri ini. Jika logika teori-teori dibangku perkuliahan dijelaskan bahwa perusahaan bisnis dalam setiap aktivitasnya mendapatkan keuntungan yang banyak dan melebihi target maka dianggap berhasil dalam pengelolaan organisasi bisnis itu. Sedangkan bagi instansi pemerintahan, ketika sebuah instansi pemerintah tidak menghabiskan uang yang dialokasikan maka dianggap tidak berhasil dalam menjalankan  organisasi itu dan organisasi pemerintahan lebih banyak menghabiskan uang negara daripada mencari keuntungan. Namun tidak berlaku bagi rumah sakit, karena mereka disatu sisi harus memenuhi target Pendapatan Asli Daerah. 

Pernyataan gubernur sulsel sewaktu meresmikan Instalasi Rawat Darurat, “saya impikan bahwa yang datang di Rumah Sakit Dadi ini akan merasa senang, aman dan terlindungi. Mereka tidak ada rasa sakit lagi dan rumah sakit ini menjadi familiar,” kata dia. Sepertinya bapak gubernur memahami bahwa rasa sakit itu hanya diobati dengan berkunjung di RS Dadi. Perlu dipahami bahwa orang sakit gila dll itu disebabkan oleh tekanan kehidupan yang berat akibat kebijakan yang Engkau buat. Mereka adalah orang-orang yang tersisihkan dalam pergulatan zaman. Mereka adalah orang-orang yang mungkin tidak punya akses terhadap kekuasaan, ekonomi dan politik. Pernahkah aparat negara melihat bahwa mereka yang terjaring razia yang pemerintah menamakannya razia penyakit masyarakat itu adalah orang-orang yang tersisihkan? Tentunya tidak, karena penguasa tidak mengetahui siapa mereka, dari mana mereka, apa pekerjaan mereka, dan dimana mereka tinggal? Penguasa hanya melihat mereka dalam deretan angka-angka statistik yang pada dasarnya angka tersebut tidak diketahui berada di mana. Penguasa berwatak Fira’un dan Qarun melihat mereka sebagai sumber pendapatan, melihat mereka sebagai orang-orang yang harus ditindas. Benar bahwa Nietszche mengatakan orang lemah harus disingkirkan karena mereka menjadi beban bagi orang kuat. Seperti itulah juga dalam logika penguasa yang kapitalis.     

Dengan bangga direktur rumah sakit dadi mengatakan bahwa “2011 lalu sebenarnya target pendapatan yang dibebankan hanya Rp 27, 5 miliar. Tapi kita berhasil sumbangkan Rp 30,20 M atau pencapaian pendapatan 109,9 persen kata ayunsri. “ logika bisnis yang merasuki para pengelola rumah sakit hari ini adalah telah menjadikan mereka sebagai predator bagi manusia yang lain. Jika dalam dunia bisnis kita memahami bahwa bisnis adalah seperti binatang buas yang tidak terkendali, seperti itu juga bisnis kesehatan hari ini. Rumah sakit adalah tempat yang tidak terkendali, tempat dimana kita harus menghabiskan uang, tempat di mana kita harus bersiap meregang nyawa disana, tempat kita harus menjadi seperti binatang yang harus dijinakkan, tempat kita dilihat sebagai mangsa yang siap dilahap, tempat kita menjadi bahan percobaan bagi mereka yang haus akan darah dan menghabiskan nyawa manusia.

Target pendapatan yang diinginkan adalah cerminan bagaimana orientasi dari rumah sakit itu sendiri. Jika orientasi itu adalah uang, maka pada dasarnya mereka yang masuk disana adalah orang-orang secara sukarela harus bersedia untuk menjadi objek dan menjadi sumber penghasilan bagi mereka yang berwatak rakus. Manusia yang mengalami gangguan kesehatan tidak dianggap lagi sebagai manusia sebagaimana mereka yang sehat, tapi mereka adalah akan selalu menjadi sapi perahan. Rumah sakit yang dibangun itu sudah terlalu banyak, ini mengindikasikan bahwa orang yang sakit itu semakin banyak. Orang yang mau masuk rumah sakit itu sangat banyak. Uang yang bisa didapatkan dari orang yang sakit itu sangat banyak. Bisnis kesehatan itu sangat menjanjikan. Banyakkah orang yang sakit di negeri ini? Siapa yang menciptakan penyakit itu dan kenapa harus banyak rumah sakit yang dibangun? Logika yang dibangun adalah segala sesuatunya yang dicari adalah pendapatan.

BUNGA, LILIN dan MULUT

Ada yang mengirim bunga ada yang membakarnya,  Ada yang menyalakan lilin ada yang memadamkannya,  Semuanya tersulut dari mulut kebencian. ...