Cari Blog Ini

Minggu, 05 Februari 2012

DERITA AL QUR'AN


Perkenalkan pembaca, namaku Al-Quran. Anda pasti sudah kenal saya, secara langsung maupun tidak langsung. Saya mewarnai dunia ini sejak abad ke 7 sampai sekarang ini, dikumandangkan di seluruh pelosok dunia. Dikenal dari kolong jembatan Jakarta sampai istana raja Arabia di pegunungan Alpen. Dari Bronx di megapolitan Rio de Janeiro sampai kantor2 elit di Silicon Valley. Dari syukuran kelahiran sampai berkabung atas kematian. Dari lorong2 sempit shantytown di Uganda sampai di laptop2 mahasiswa muslim di Eropa. Aku praktis ada dimana2 pembaca, setiap detik jutaan orang membacaku. Aku adalah salah satu dari jutaan saudaraku yang menyebar di seluruh dunia. 

Minggu yang lalu aku disumbangkan oleh seorang anggota DPR di perpustakaan daerah. Jadi selama seminggu ini aku mendapatkan rumah baru, aku beruntung sekali, di tempat baru ini temanku jadi banyak. Di tempat yg lama, aku cuma dipajang saja, gak pernah dibaca. Dulu aku dijadikan mahar perkawinan anggota DPR itu dengan istri pertamanya, setelah dia bercerai karena istrinya pertamanya tidak mau dimadu, aku diserahkan ke perpustakaan daerah.

Aku merasa gembira sekali, serasa lepas dari kubangan gelap, tiap hari dulu aku hanya melihat muka2 masam, hubungan rumah tangga yg tidak harmonis, penindasan atas hak2 istri, anak2 yang tidak terdidik dengan baik. Begitu datang aku langsung disambut oleh penghuni2 lama disini, yang paling tua di sini dan paling gemuk itu namanya Veda, yg juga cukup tua walau tidak setua Veda ada Tipittaka, ada juga Injil, ada Taurat, ada Upanishad, ada Politica, Ada Republic, ada Divina Comedia, ada Das Kapital, ada banyak sekali teman2ku di sini. Walaupun begitu, aku tidak bisa langsung dekat sama mereka semua, yang paling dekat selama ini masih Injil, yang sedikit lebih tua daripada dari aku. Aku sering curhat dengannya, dia juga yang selama ini sering melindungiku dari olok2an teman2 dari rak sebelah kiri, terutama Das Kapital yang suka menggangguku. Tapi aku senang di tempat baru ini, aku semakin dewasa, banyak yang kupelajari dari teman2 baruku. Aku juga mengangkat adik, namanya Aqdas, yang terus terang kuakui kadang lebih dewasa daripada aku. 

Di tempat baru ini aku ditempatkan bersama teman2 dari jenisku, yang akhirnya aku malah sering diskusi dengan mereka semua. Dari diskusi2 itu aku menjadi terbuka akan warna-warninya dunia filsafat, itu baru dari filsafat agama. Lebih beragam lagi kalau aku kadang2 mendengarkan percakapan2 dari teman2 yang berada di rak sebelah kiri. Dari diskusi itu, aku menjadi sering merenung sendiri,

Beberapa hari lalu aku diambil dan dibaca oleh seorang anak kecil, umurnya kira2 14 tahunan, pakaiannya kumal, celananya robek disana-sini, kulitnya hitam diliputi debu. Setelah menengok kanan kiri, dia mengambilku dan segera pergi ke meja dan membacaku. Sangat bahagia diriku pembaca sekalian, setelah sekian lama aku hanya dipajang, akhirnya ada juga yang membacaku. Memang dia kurang lancar membacaku, tapi aku bisa merasakan aura kerinduan yang sangat dari tatap matanya dan desah suaranya saat membacaku. Tapi sayang pembaca, tak berapa lama kemudian petugas perpustakaan mengusirnya, disertai gertakan2 yang memilukan hatiku. 20 Tentunya bagi anak itu lebih memilukan lagi, aku melihat air mata menetes di pipinya. Aku sangat sedih sekali..

Para pembaca, terus terang saja, aku kadang iri sama Injil, Veda, Tipittaka, dan yang lain2. Bukannya apa2, tapi jelas semua mengakui bahwa mereka adalah ciptaan manusia, jadi kalau salah ya lumrah, lha memang ciptaan manusia. Tapi aku di rumah besar ini adalah satu2nya yang dianggap produk Tuhan, dianggap sebagai kata2 Tuhan, jadi kalau aku salah seperti salahnya aku tidak mengharamkan perbudakan, atau salahnya aku melakukan perhitungan matematika dalam pembagian warisan, berarti yang salah Tuhan dong, karena aku adalah kata2nya Dia. Aku bukan kata2 Muhammad. Karena Muhammad hanyalah mediumku. Injil memang banyak kesalahan di dalamnya, apalagi yang edisi Latinnya. Tetapi Injil bisa berkilah bahwa memang dia ciptaan manusia, yang membuat adalah murid2 Yesus. Veda juga bisa selamat dari tuduhan, karena memang dia ciptaan resi2, jadi kalau salah ya yang salah resi yang membuatnya. Tipittaka juga begitu, Sidharta kan juga manusia biasa, dia pasti bisa salah. Tapi aku, sekali lagi aku, aku adalah kata2 Tuhan, sungguh pedih hatiku mengingat itu. Aku telah menghina Tuhan, tuhan segala alam. Aku telah digunakan umat untuk menghina tuhan, mengapakah tuhan yang segala maha itu hanya mempunyai kata2 terbaik seperti aku. Bahasaku memang indah, diksi2ku memang mumpuni, tapi aku konstekstual, aku ada karena keadaan, aku ada karena Muhammad butuh alat untuk menyadarkan kejahiliahannya umat. Muhammad butuh dogma sebagai alat, karena orang bodoh yang celakanya 99% manusia tergolong dalam golongan orang bodoh ini butuh dogma, butuh simbol, butuh balasan atas yang dilakukannya, butuh ancaman dan butuh hadiah. Muhammad sendiri tidak butuh dogma dan simbol, karena dia manusia sangat pragmatis dan sekaligus futuristik idealis. Muhammad selalu mengingatkan akan bahaya kebodohan atau kejahiliyahan, karena dia tahu benar akan seperti apa umatnya sepeninggalnya. Waktu dia mau mati, aku ingat benar bahwa dia berkata “ Umatku..umatku…umatku…”, kekhawatiran yang tidak berlebihan jika melihat apa yang terjadi setelah dia meninggal. Yang mengantarkan jenazahnya hanya 5 orang, sedangkan yang lain ribut membicarakan vacuum of power. Umar dengan lantang akan menebas leher siapa saja yang bilang Muhammad meninggal, bibit2 kultus yang justru ada di kalangan sahabat2 terdekatnya. Belum kejadian2 memalukan beberapa lama setelah dia meninggal, istrinya Aisyah perang dengan menantunya Ali bin Abi Thalib, cucunya Hasan dan Husein dipenggal kepalanya oleh orang2 haus kekuasaan, semua sahabat terdekatnya mati terbunuh karena kecemburuan karena kekuasaan, 

Hidup lebih dari 14 abad membuatku menjadi saksi bisu kenaifan manusia, terutama justru kenaifan jutaan pembaca setiaku. Yang sangat membuatku pedih adalah ucapan Muhammad Abduh sewaktu kembali dari perjalanannya ke Eropa, dia lebih melihat Islam di sana daripada di negeri2 yang selama ini mengaku sebagai negeri Islam. Nilai2 persamaan hak lebih dihormati di Negeri yang sedikit sekali orang yang bisa membacaku, kesejahteraan rakyat kecil lebih terjamin di negeri2 itu, di saat korupsi dan komersialisasi diriku dijadikan propaganda politik oleh orang2 yang mengaku Islam yang sering hanya demi kepentingan sesaat semata. 

Jika hidupku memang ditakdirkan untuk menanggung beban ini, aku akan 21 menjalaninya dengan berat hati. Sebenarnya lebih baik aku tiada atau mati saja, daripada hidup menanggung beban melecehkan tuhan. Daripada tiap detik dikumandangkan di seluruh dunia, tapi substansi nilaiku dibuang di pojok2 sejarah, sedangkan nilai2 normatifnya saja yang jadi keributan dimana2. 

Pembaca sekalian, doakan aku ya, biar Allah menguatkan hatiku menerima perlakuan makhluk2, menguatkan aku menghadapi penghinaan2 filosofis ini. Sudahlah, kurasa sudah cukup aku curhat, yang lain sudah pada tertidur. Weda sudah ngorok kudengar, Injil dan yang lain jg sudah tidak terdengar suaranya. Aku ingin tidur, kalau bisa selamanya, agar penderitaanku ini berakhir, penderitaan peradaban yg harus kusandang, oh malang sekali diriku. Terima kasih pembaca, sudah sudi mendengarkan keluh kesahku.
(Di sadur dari buku "Ziarah Ke Makam Tuhan").
(pernah dipublikasikan di fb, 29 September 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUNGA, LILIN dan MULUT

Ada yang mengirim bunga ada yang membakarnya,  Ada yang menyalakan lilin ada yang memadamkannya,  Semuanya tersulut dari mulut kebencian. ...