Mereka
melakukan bid’ah..
Mereka
sesat..
Mereka
kafir..
Mereka
musyrik..
Mereka
ikut budayanya orang..
Mereka
masuk neraka..
Mereka
sudah murtad..
Darah
mereka halal untuk ditumpahkan..
Harta mereka
halal dijarah..
Dalam
kehidupan sehari-hari kita sering berhadapan dengan berbagai macam pemikiran
dan pemikiran itu memaksa kita untuk tetap berpikir dengan kritis. Sebagai
seorang manusia yang telah dianugerahi akal, indra dan hati oleh Allah SWT pada
saat kita lahir dan itu mempertegas keunggulan kita diatas segala makhluk
ciptaan Allah yang lain. Tetapi kita terkadang mengabaikan anugerah yang telah
diberikan dan mengunci rapat dengan tidak menggunakannya atau mengabaikannya
sebagai karunia yang terbesar dalam setiap diri manusia yang sudah pasti
membedakannya dengan makhluk yang lain.
Manusia
yang mengunci akalnya, indranya dan hatinya dengan sangat rapat sering kita
temukan dalam proses interaksi antara manusia yang satu dengan yang lain.
Berbagai permasalahan yang harusnya dijawab secara rasional dan elegan menjadi
terabaikan dan yang berlaku adalah justifikasi tanpa dasar atau dengan dasar
yang rapuh. Justifikasi ini membawa setiap ummat tidak lagi pada kesatuan
tetapi pada kebencian dan perpecahan.
Fenomena
penyampaian pesan kebencian dan penyesatan terhadap sesama manusia didalam dan diatas
mimbar-mimbar rumah ibadah, dalam majelis-majelis ataupun yang dilakukan diluar
rumah ibadah, kalau kita menelusuri lebih jauh sepanjang sejarah peradaban,
kita akan menemukan fenomena ini telah terjadi berabad-abad yang lalu dan terus
muncul sepanjang zaman. Munculnya justifikasi dan fatwa-fatwa penyesatan
semakin banyak menimbulkan pertanyaan dalam tubuh agama islam itu sendiri.
Benarkah agama itu membawa pesan kebencian ataukah pesan cinta dan kasih sayang
[rahmat] bagi alam semesta?. Kenapa banyak pengkhutbahnya terus menyampaikan
pesan kebencian dan penyesatan dalam tubuh mereka sendiri. Ini harus menjadi
bahan refleksi mendalam bagi setiap orang yang berkhutbah/ceramah dan orang
yang mendengarkannya.
Ketidakmampuan
kita untuk menyusun dan menemukan permasalahan mendasar terhadap sebuah pemikiran
adalah menjadi tantangan sekaligus jawaban terhadap pertanyaan dan khutbah kebencian
dan penyesatan di dalam dan diatas mimbar itu sendiri atau di forum manapun.
Jika setiap manusia menggunakan akal sehatnya maka mereka akan mengetahui
sendiri apa sebenarnya yang terjadi dan mana yang layak untuk diikuti. Dan apa
yang diikuti oleh seorang manusia pada dasarnya adalah kebenaran yang bisa
diterima oleh akal sehat, bukan dogma. Karena dogma telah melumpuhkan dan
menghilangkan ciptaan tuhan yang ada dalam diri setiap manusia yaitu akal itu
sendiri. Dengan hati yang jernih pula kita akan menerima kebenaran dan
fakta-fakta penciptaan yang ada.
Khutbah
kebencian dan penyesatan itu kita bisa saksikan terkadang hanya disampaikan
pada orang-orang awam yang banyak tidak mengetahui secara mendalam
masalah-masalah agama sehingga yang terjadi adalah taklid buta. Sedangkan pada
orang-orang yang punya pikiran bebas terkadang tidak diizinkan untuk berdiskusi
dengan mereka bahkan dalam pandangannya mereka, orang-orang yang punya
pemikiran bebas dipukul saja atau tinggalkan karena tidak pantas berdiskusi
dengan mereka. Kalaupun yang punya pemikiran bebas bisa berdiskusi dengan
mereka, pasti mereka [yang bebas] akan menggunakan dalil-dalil yang mereka
ajukan sendiri untuk menjawab setiap pertanyaan yang ada sehingga bisa terjadi
kebuntuan diskusi. Kebuntuan setiap diskusi inilah yang kadang melahirkan
justifikasi yang lahir dari fanatisme buta. Pantaskah kita bertaklid buta jika
kita masih memiliki akal dan belum meninggalkan dunia yang fana’ ini? Termasuk
pengkhianatan terbesar kita terhadap nikmat Tuhan jika kita mengingkari dan
meninggalkan akal sehat sebagai salah satu landasan untuk mengikuti segala
sesuatu terkhusus dalam permasalahan agama.
Setidaknya
dari beberapa pengalaman, kita bisa menemukan hal ini dalam kehidupan dan
interaksi kita sehari-hari. Pernah beberapa kali dalam mimbar diskusi yang
terjadi adalah interogasi tentang kepribadian dan sistem keyakinan seseorang
sehingga apa yang seharusnya menjadi bahan diskusi tidak berjalan dengan baik.
Dalam kondisi ini yang hadir adalah justifikasi bahwa merekalah yang paling
benar dan yang lain adalah tersesat dan keluar dari konteks islam. Ditempat
lain juga dalam khutbah jum’at yang disampaikan adalah pesan justifikasi pada
kelompok lain yang salah dalam memahami agama dan seolah-olah dialah yang
menjadi pemegang kebenaran agama walaupun itu bertentangan dengan akal sehat,
alqur’an dan sejarah peradaban yang ada. Kapan orang-orang melawan ini maka
segala vonis kebencian akan keluar dari mulut tanpa hambatan sedikitpun. Dalam
aktivitas diskusi yang dibuat orang lain di rumah ibadah terkdang juga harus
diusir karena dianggap melanggar hukum-hukum islam. Dalam hal ini ada anggapan
bahwa merekalah yang punya otoritas untuk memberikan izin penggunaan rumah
ibadah dan apa-apa saja yang boleh dibahas didalamnya. Ketika kita tidak
mematuhi hal itu maka mereka menganggap apa yang dibuat di rumah ibadah adalah
sebuah kesalahan yang menentang nilai-nilai islam.
Menjadikan
diri mereka sebagai otoritas tertinggi penafsir kebenaran dan agama yang tanpa
celah dan cacat maka pada dasarnya telah merampas hak-hak Tuhan dan kenabian.
Menjadikan mereka sebagai rujukan tunggal maka secara tidak langsung mereka
membahasakan bahwa Tuhan telah menunjuk mereka sebagai penafsir tunggal
kebenaran. Ketika ini terjadi maka segalanya akan menjadi dogma yang tidak bisa
lagi digugat kebenarannya sehingga menjadikan kebenaran terkungkung dan tidak
bisa dikenali lagi. Pesan kebencian kepada orang-orang yang menentang dogma
yang dihadirkan dalam mimbar-mimbar rumah ibadah atau bukan akan menjadi
bumerang bagi mereka sendiri. Lahirnya pesan kebencian yang meluncur dari mulut
tanpa ikatan akan melahirkan banyak pertanyaan bagi orang-orang yang berpikir
bebas sehingga dapat membuka kedok dan kebusukan-kebusukan orang-orang yang
menebar pesan kebencian terhadap orang lain. Pesan-pesan kebencian yang keluar
dari rumah-rumah ibadah atau bukan dapat membuat orang-orang yang berakal
menjadi sakit jiwa.
Maka
sudah sepantasnya kita menyampaikan pesan yang tidak menguntungkan musuh-musuh ummat
dalam hal ini para penjajah. Apa yang dipesankan pada dasarnya membuat mereka
terus tertawa dan menikmati hasil dari pesan kebencian sesama ummat yaitu
perpecahan. Maka pesan yang harus kita sampaikan adalah persatuan ummat
ditengah keterbelakangan dalam berbagai aspek kehidupan. Pesan pengabdian
kepada masyarakat untuk melawan para penjajah. Pesan cinta dan kasih sayang
kepada setiap manusia tanpa memandang kelas sehingga kehidupan menjadi
harmonis.
Rumah Putih. Lakanaha, 5 Mei 2013. Pukul 22:03 WITA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar