Cari Blog Ini

Senin, 09 Januari 2012

TRAGEDI BERDARAH OLEH KEPOLISIAN


Assalamualaiku. Wr.Wb.
Kehancuran atas kezaliman, penguasa yang lalim dan tegaklah kebenaran dan keadilan. 

Masih hangat dan Belum tuntas tragedi di Freeport papua, pembubaran paksa kongres papua, pembantaian Mesuji, kini pihak kepolisian Republik Indonesia harus kembali melakukan pembantaian terhadap masyarakat di Bima, Nusa Tenggara yang mengakibatkan dua orang tewas tertembak dan sebelas lainnya terluka ketika terjadi penembakkan terhadap aksi protes yang dilakukan oleh warga di Pelabuhan Sape, Bima. Konflik yang melibatkan antara perusahaan perkebunan, pertambangan dengan masyarakat yang terus melibatkan kepolisian juga semakin memperjelas keberpihakan polisi bukan pada masyarakat Indonesia tapi pada perusahaan. Asset negara yang dijaga bukanlah manusianya tapi benda-benda material yang justru terus membuat konflik antara masyarakat dan kepolisian. Hal ini tentu menambah daftar hitam kejahatan kepolisian di mata masyarakat Indonesia. Masih banyak kasus pelanggaran oleh kepolisisan yang belum terselesaikan kini masyarakat kembali digeramkan dengan kasus yang sama. Pertanyaannya kepada siapa polisi Indonesia berpihak dan bagaimana prosedur pengendalian massa?

Disamping kasus Mesuji, Bima, tentunya masyarakat masih mengingat kasus Freeport ketika diberitakan bahwa pihak kepolisian menerima dana dari Freeport. Entah untuk keperluan apa uang tersebut, secara etik hal tersebut tidak ada pembenarannya. Memberikan sejumlah uang kepada pihak kepolisian bisa membuat mereka menjadi tidak netral dan cenderung bergeser ketika ada permasalahan masyarakat. Struktur pihak keamanan yang biasanya dikomandoi oleh seseorang. Jika komandannya menyatakan tembak, maka orang-orang di bawahnya juga akan melakukan hal yang sama. Masyarakat harus mengingat bahwa Polisi itu berasal dari masyarakat, sama dengan seorang presiden atau anggota DPR atau birokrasi lainnya. Pada mulanya mereka adalah rakyat biasa dan mereka telah memilih jalan untuk terjun sebagai polisi. Di dalam pilihan ini, mereka seyogyanya bertanggung jawab baik secara institusional dan secara sosial. Mereka adalah pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat bukan sebagai penindas masyarakat. 

Polisi yang mudah disogok dan memihak kepada pemilik modal dan melakukan penembakan kepada warganya sendiri adalah polisi yang kehilangan kemanusiaan. Kemanusiaannya  telah dikuasai oleh hasrat untuk berkuasa dan untuk memiliki uang banyak. Akibatnya adalah hilangnya rasa kepemilikannya kepada masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Solidaritas dan kepemilikan itu adalah sebagai pengikat dalam hubungan sosial. Masyarakat miskin yang menjadi korban kebrutalan kepolisian tentu tidak mampu membayar sejumlah uang yang lebih besar untuk mendapatkan perlindungan. Melindungi,mengayomi dan melayani masyarakat harus diartikan bahwa polisi dalam keadaan netral, harus bisa mencegah adanya tindakan sewenang-wenang dari pihak pemilik modal kepada masyarakat. Ini berarti pemilik modal bisa menjalankan usahanya tanpa mencemari ataupun merusak nilai-nilai dan tradisi yang dipegang masyarakat sekitar. Nilai-nilai dan tradisi masyarakat yang harus diketahui oleh pihak kepolisian sehingga mereka tahu pada titik mana mereka melindungi dan mengamankan.

Polisi dari masyarakat dan sebagai anak manusia bukan anak binatang, bedanya mereka hanya memakai seragam dan menenteng senjata, senjata dari uang pajak rakyat, maka peluru senjata itu bukan untuk ditembakkan kemasyarakat. Polisi harus berpihak dan berlindung kepada masyarakat bukan berlindung pada ketiak penjajah, pemilik modal atau tirani penguasa. Bangkitlah untuk melawan penindasan dan kezaliman!!!

Makassar, 29 Desember 2011

Salam hormat kami kepada masyarakat indonesia. Kepada kebenaran dan keadilanlah kami berkhidmat.
Wassalamualaiku. Wr.Wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUNGA, LILIN dan MULUT

Ada yang mengirim bunga ada yang membakarnya,  Ada yang menyalakan lilin ada yang memadamkannya,  Semuanya tersulut dari mulut kebencian. ...