Cari Blog Ini

Sabtu, 04 Februari 2012

ISLAM DAN BAYANGAN KEMATIANNYA



Islam adalah agama yang realistis dan mencintai alam, kekuatan, keindahan, kesehatan, kemakmuran, kemajuan, dan pemenuhan seluruh kebutuhan manusia,,, kaum muslim menanggung beban tanggung jawab sosial, dan bahkan misi universal, untuk memerangi kejahatan dan berusaha merebut kemenangan demi umat manusia, kebebasan, keadilan, dan kebaikan,,, Islam adalah agama yang dengan segera melahirkan gerakan, menciptakan kekuatan, menghadirkan kesadaran diri dan pencerahan, dan menguatkan kepekaan politik dan tanggung jawab sosial yang berkait dengan diri sendiri,,, suatu kekuatan yang meningkatkan pemikiran dan mendorong kaum tertindas agar memberontak dan menghadirkan di medan perang spirit keimanan dan keberanian......


‘Tahu’ dan ‘Pengetahuan’
Manusia adalah mahluk sempurna. Dibekali akal, hati dan indera ia menjelma sebagai mahluk yang paling berpengaruh di muka bumi ini. Inovasi tiada hentinya dalam mengasah kreasi ketiga potensinya itu telah menghasilkan kebudayaan dan peradaban yang sangat kompleks sekarang ini. Cara kita makan, minum, bertindak ini-itu, menyimpulkan harus begini-begitu, menganggap ini lurus-itu sesat, ini benar-itu salah, ini surgawi-itu nerakawi, ini duniawi-itu ukhrawi, ini kebaikan-itu keburukan, ini pahlawan-itu bajingan dan lain sebagainya adalah hasil dari pergulatan daya potensi manusia yakni akal, indera dan hati.

Hanya manusia yang memanusialah yang suka bertanya. Tapi, ini tidak berarti bahwa orang yang sehat dalam konteks memanusia adalah adalah orang yang selalu bertanya. Saya pikir orang seperti itu sinting. Lebih tepat jika dikatakan orang yang sehat adalah orang yang selalu bertanya sekaligus menjawab. Ia selalu siap ‘agkuh’ dan meragukan sesuatu, sekaligus siap rendah hati dan meyakini sesuatu”

Menyelami Ontologi dari Ilmu : Antara ADA dan TIADA 

Realitas ini adalah keberadaan. Yang nampak seperti kursi dan lain sebagainya serta yang tidak tampak seperti pikiran dan sebagainya adalah realitas. Tapi, Apakah Yang Sebenarnya Ada? Ada sebenarnya sebagai pusat Segala sesuatu? Materi atau ide, benda-benda atau apa yang ada di otak-otak kita (pikiran)? Untuk menjawabnya itu kita perlu menyimak perdebatan filosofis para mahluk ‘aneh’, yakni Filosof. Bagi kalangan materialis, yang sebenarnya ada adalah benda-benda. Apa yang tampak adalah benda-benda atau materi yang tersusun dari unsur-unsur lebih kecil yang menyatu dan membentuknya. Ya, semua benda itu terdiri dari atom-atom. Atom terdiri dari inti dan electron. Inti terdiri dari proton dan netron. Dan terakhir muncul unsur terkecil yang hingga kini dianggap tak bisa dipisah-pisah lagi yaitu quark. Karena inilah kalangan materialis berkeyakinan yang sebenarnya ada adalah benda.

Namun sayang, lembar jawaban ini masih menyisakan masalah. Masalah itu terutama datang dari kaum idealis plus religius. Bagi kaum idealis jawaban kalangan materialis tidak memuaskan kaena masih menimbulkan pertanyaan; apa sebenarnya quark itu? Mana buktinya kalau itu benar-benar ada? Bukankah sang materialis selalu bisa membuktikan data empirik melalui indera terlebih dahulu sebelum menyimpulkan? Serangan yang membuat mati kutu bagi kaum materialis itu membuat kaum idealis di atas angin. Bagi mereka yang sebenarnya ada adalah pikiran atau itu. Hore....hidup kaum idealis. Sudah finalkah, dan idealis tampil sebagai pemenang? Belum. Persoalan masih menghantui; apa sebenarnya pikiran itu?

Petarungan kembali berlanjut, bagi kaum materialis, pikiran adalah pola-pola dalam otak manusia yang sejatinya terdiri dari benda-benda. Sementara kaum idealis membantah: pikiran adalah pola-pola yang bermakna dan saling memaknai. yang bisa memaknai ini apalagi kalau bukan pikiran. Bukan benda-benda. Tibalah kita pada pandangan yang berputar-putar. Tidak lagi ke kiri atau ke kanan, kini kita sampai pada bundaran yang membingungkan. Adakah yang menjadi penunjuk jalan? Para filosof sejarah tampil ke depan. Meraka mengatakan bahwa yang benar-bena ada adalah peristiwa-peristiwa yang hakikatnya terletak pada kreativitas. Yang ideal dan yang material tak lain adalah aspek-aspek saja dari setiap proses. Jawaban yang sedikit-banyak membuat reda perang urat syaraf. Dengan demikian kita bisa mengatakan, bagi kalangan materialis yang sebenarnya ada adalah materi, bagi kaum dealis yang sebenarnya ada adalah pikiran, dan bagi filosof sejarah yang sebenanya ada adalah peristiwa-peistiwa. Tapi, Apakah “ADA” Itu Sebenarnya? Apakah yang sebenarnya ADA itu hanya materi dan apa yang bisa kita pikirkan? Bagaimana pula dengan ADA-nya Tuhan? 

ADA itu adalah sesuatu, sesuatu itu meliputi yang tampak dan tidak tampak oleh indera. Tapi, apakah ADA-nya tuhan juga demikian? Bagi Mulla Shadra seorang tokoh filsafat islam, ADA itu tanggal dan berlaku untuk semua benda, baik yang konkrit maupun yang abstrak. Meskipun begitu, Shadra mengatkan bahwa “ada”nya Tuhan adalah ADA murni, sedangkan “ada”nya yang lain becampur dengan esensi. Inilah pelipur lara bagi para pencari bukti adanya tuhan melui pendekatan filsafat. Karena ADA-nya Tuhan adalah Murni maka mengatakan bahwa Tuhan itu Tidak ada adalah sebuah kemustahilan. Karena bagaimanapun kita berpikir dan berkata bahwa Tuhan tidaka ada, Tuhan tetap ADA. Apa yang kita bicarakan di atas adalah wilayah hakikat. Kita menyaksikan bahwa bagi kalangan materialis yang hakikat adalah benda benda. Dan bagi kalangan idealis yang hakikat adalah pikiran. Bagaimana dengan islam? Apa yang hakiki menurut Islam? Tentu yang hakiki, yang ada sebenarnya adalah Tuhan, yaitu Allah SWT. Karena Allah adalah pencipta Segala sesuatu (Khaliq). Dialah kebenaran satu-satunya. Bila demikian halnya, bisakah kita mencapai kebenaran Tuhan itu? Bisakah manusia yang relativ kebenarannya mencapai kebenaran Tuhan yang mutlak? Bukankah manusia itu mahluk yang lemah? Terlebih lagi Allah SWT memberikan pengetahuannya kepada kita tidak ada kecuali sedikit (illa qaliil). Hemat saya kita perlu terjerumus pada apakah kita akan sampai pada kebenaran yang mutlak itu dan berbangga-angkuh saya telah mencapai hakikat. Yang tepenting bagi saya adalah Allah yang maha Pemurah itu telah menganugerahkan kepada kita berbagai potensi untuk berpengetahuan. Kita dianugrahkan akal, indera dan hati sebagai bekal mengarungi kehidupan dunia ini yang tidak lepas dari ruang dan waktu. Maka bagaimana kita memaksimalkan daya potensi kita di alam fana ini sebagai wujud ibadah kita kepada Allah SWT. Maksimalisasi dari semua potensi itulah yang akan mendekatkan diri kita kepada Allah. Selain itu, bekal kodrati manusia berupa akal, hati dan indera itu juga berarti menekankan kita untuk berusaha mencari kebenaran hakiki. Bukankah akal, hati dan indera juga berasal dari Tuhan? Dengan begitu, Tuhan telah memberi kesempatan kepada manusia untuk mencari pengetahuan (kebenaran) sebagai lambang pengabdian kepada Allah SWT. Itulah yang menjadikan seorang Murthada Muthahhari menyebutkan adanya kemungkinan manusia mendapatkan pengetahuan atau kebenaran.

Disinilah kita menemukan konteksnya mengenai hakikat ilmu. Ilmu bukankah seongkang usaha tanpa makna, melainkan ia mengemban amanah untuk memahami realitas sebenarnya sebagai wujud pengabdian kepada Allah SWT dan perannya di muka bumi sebagai khalifah. 

Epistemologi 
 
Sumber Pengetahuan Manusia “Dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati.” Adalah ungkapan yang sering kita dengar dan cukup mengundang ‘geli’. Bukan tanpa makna. Dalam perspektif ilmu, mata adalah sumber pengetahuan empiris dan hati sumber keyakinan diri. Dengan mata kita bisa menyaksikan hitam-putih, tampan-cantik, bulat-lonjong, mancung-pesek, kurus-gemuk, tinggi-rendah dan sebagainya. Dengan hati kita bisa merasa susah-senang, cinta-benci, tenang-khawatir, simpati-empati, takjub-mangkel dan sebagainya. Inilah sebagian pengetahuan manusia. Tapi, apakah dengan melihat dan seklaigus itu yang menyebabkan kita meyakini? Atau keyakinan itu muncul serentak begitu saja lewat intuisi kita? muncul bagai jailangkung, datang tak dijemput pulang tak diantar? Lalu, mengapa kita harus benci? mengapa kita harus khawatir? mengapa harus begini? Mengapa harus begitu? Mengapa ini tidak boleh? Mengapa itu tidak boleh? Bagaimana kita bisa mengurai, memilih dan menilai dari berbagai fenomena empiris itu yang kemudian menyimpulkan ini-itu? Apa yang menjadi sandaran kita sehingga tingkah polah kita harus seperti ini dan itu? Indera, hati atau akal? Untuk menjawabnya, kita akan melihat alat atau sumber-sumber pengetahuan manusia.
Indera Manusia memiliki berbagai indera sebagai alat untuk mengetahui sesuatu. Indera penglihatan, pendengaran, dan perasa. “Kehilangan satu indera, maka ia telah kehilangan satu.” begitulah ungkap Aristoteles. Berkaitan dengan ini Muthahhari mengilustrasikan dengan sebuah contoh orang buta sejak lahir bertanya “susu beras itu seperti apa?”. Meskipun orang berusaha menjelaskannya. Tetap sang buta tidak bisa mengerti warna susu beras itu. Selain itu, indera juga terbatas. Pengetahuan yang dihasilkan oleh indera sering kali menipu. Mata misalnya dalam melihat sesuatu akan sngat dipengaruhi oleh jarak. Contoh sederhana mengenai fatamorgana. Dari kejauhan kita melihat di terik matahati di sebuah jalan aspal yang lurus kita melihat ada  gumpalan air di atas aspal. Tapi, tatkala dikonfirmasi dengan melihatnya lebih dekat, tak ada apa-apa. Air yang tadinya tampak nyata ternyata menipu, bukan yang sebenarnya.  

Akal. Di atas keterbatasan indera itu akal muncul sebagai alat epistemology lain yang melengkapi. Ini tak lepas dari fungsinya yang bisa merenung, memilah, membuang yang tak bermakna, mencerap, menangkap makna, menimbang dan sebagainya. Seperti dikutip Musa Khazim, Murthada Muthahhari menggambarkan kinerja akal dalam lima tahap sebagai berikut:
  1. Menerima pesan dari luar. Pada tahap ini akal menagkap objek-objek alam luar melalui panca indera yang tersimpan dalam lokus mental. 
  2. Mengingat. Artinya, setelah menerima gambar atau kesan dari luar, akal mempunyai kemampuan menampakan kembali secara jelas. 
  3. Membagi atau Mengklasifikasi dan Menggabungkan atau Mensintesiskan. Dalam tahap ini akal mampu mengurai, memilah dan mengupas kesan yang masuk dalam benak atau akal. 
  4. Abstraksi dan generalisasi. Dalam hal ini akal berupaya memisahkan gambaran yang tertangkap oleh panca indera dari cirri-ciri individual dan partikularnya. 
  5. Perenungan atau penalaran dan pembuktian atau argumentasi. Pada tahap ini akal mencoba menghubungkan seerangkaian data untuk mengungkap dan mengetahui objek yang belum diketahui. 
Hati. Dapatkah hati menjadi sumber pengetahuan. Jalaludin Rumi pernah berkata bolehlah manusia dengan rasionya mengetahui segala sesuatu. Tapi, ia tidak tahu tentang dirinya sendiri. Ya, untuk keperluan ini kita bisa bertanya tentang kesedihan, kekhawatiran, bahkan keyakinan. Mungkinkah ini muncul dari rasio. Tidak ia muncul dari hati. Makanya, hati adalah alat epistemology. Alat untuk mendapatkan pengetahuan.


Aksiologi Ilmu: 

Apakah Ilmu Bebas Nilai Atau Tidak? Bagi sekuler yang memposisikan agama dan ilmu pengetahuan dalam oposisi biner menganggap bahwa ilmu bebas nilai. Ilmu tidak terkait dengan agama atau dogma-dogma tertentu. Ia lahir begitu saja dari kreasi akal dan indera, atau lebih tepatnya melalui eksperimentasi terhadap alam dalam sains. Tapi, pertanyaannya adalah apakah ilmu itu dapat terlepas dari penerapannya? Apakah ilmu itu dibuat, dirancang, dan diterapkan dalam sosio-cultural tertentu tidak terkait dengan manusianya? Betulkah ilmu itu berdiri sendiri dalam upaya aplikasinya tanpa campur tangan manusia? Tidak, Ilmu tidak bebas nilai. Kalaupun ilmu itu bebas nilai, mengapa ilmu yang dianggap adalah untuk kemajuan dan kebaikan manusia telah menjelma sebagai kekuatan menakutkan? Ia telah digunakan semena-mena untuk eksploitasi alam, invasi militer, pembobolan rekening, penyalahgunaan anggaran, pembohongan public. Dalam teknologi informasi kita melihat krisis dimana ia telah menjadi penyangga utama budaya pop atau benda yang memiskinkan kesadaran dan terjebak ‘nyaman’ dalam ruang mekanistikan.

Memeluk Ilmu Pengetahuan Islam: 

Akal, Indera, Hati dan Wahyu sebagai epistemology islam Karena kerja akal, indera dan hati telah diurai di atas, pembahasan ini akan lebih difokuskan pada interpretasi wahyu sebagai sumber pengetahuan. Hal ini menjadi sangat penting karena persoalan agama yang berhadapan dengan realitas sosial (wilayah inderawi), penafsiran (wilayah rasio) dan keyakinan apa yang mesti dilakukan sangat terkait dengan pegangan atau pembongkaran terhadap teks agama itu sendiri. Ini dapat dipahami, meskipun beragam interpretasi dan memunculkan banyak kesimpulan tetapi sumbernya tetap sama yaitu al-Qur’an dan Al-Hadis.

Sebelum menyelam ke kedalaman teks, kita perlu menjawab dahulu apakah al-Qu’an yang notabene yang oleh sebagaian kalangan dianggap universal itu bisa ditafsirkan? Melihat sejarah islam tentu jawabannnya menjadi pasti. Bisa di tafsirkan. Faktanya, doktriner-doktriner yang sampai kepada kita dibanjiri dengan ungkap-ungkap ajaran agama hasil penafsiran para ulama dan fuqaha. Bahkan penafsiran yang juga lambang dari ijtihad itu telah muncul setelah nabi meninggal. Dan kini kita pula mengenal mengenal adanya mazhab asy-Syafi’I, Maliki, Hambali, dan Hanafi. Tentu saja disamping itu banyak pula mujtahid yang tidak termasuk ulama mazhab. Hal yang sama terjadi sampai sekarang. Penafsiran akan teks sangat beragam. Ada yang bersifat fundamental ada juga liberal, ada yang menekankan pada teks ada pula yang menekankan pada rasio. Bagi seorang ‘fundamentalis’ penafsiran teks agama bersifat skriptualisme, atau meyakini al-Qur’an sebagai firman Tuhan dan dianggap tanpa kesalahan. Ini bertolak pada prinsip bahwa; Pertama, penolakan terhadap hermenetika. Ia menolak interpretasi teks secara kritis. Baginya, al-Qur’an harus dipahami secara literal saja. mereka mengajukan alasan bahwa nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Kedua, penolakan tehadap pluralisme dan relativisme karena pluralisme dianggap merupakan pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman itu harus satu dan tidak ada realtivisme dalam memahami teks tersebut. Ketiga, penolakan terhadap perkembangan histories-sosiologis. Bagi mereka, pekembangan historis-bila perlu dengan kekerasan- harus disesuaikan dengan kitab suci. Dan, Keempat, mereka sering mengambil posisi oposisionalisme. Dengan keyakinan mereka akan kebenaran mutlak teks tersebut mereka mengambil jarak dengan pemahaman-pemahaman yang ia anggap ‘sesat’. Tak jarang prinsip-prinsip ini bertumpu pada legitimasi islam kaffah, kedaulatan tuhan dan puritanisme. Sebaliknya, bagi kalangan ‘liberal’ teks yang dianggap tidak sesuai dengan sosio-historis harus di bongkar dan ditafsirkan ulang. Tak masalah baginya bila kemudian terdapat pemahaman yang berbeda-beda. Untuknya, kala wacana hermenetika mencuat. Kaum liberal menyambut baik. Berkaitan dengan teks ini Hassan Hanafi menjelaskan bahwa; Pertama, teks adalah teks dan bukan realitas. Ia hanyalah deskripsi linguistik terhadap realitas yang tidak dapat menggantikannya. Kedua, teks hanya menuntut keimanan apriori. Ketiga, teks bertumpu pada otoritas Kitab. Keempat, teks datang dari luar bukan datang dari realitas dalam. Kelima, teks selalu tekait dengan realitas yang ditunjuknya. Keenam, teks bersifat unilateral yang selalu terkait dengan teks-teks lainnya. Ketujuh, teks selalu dalam ambiguitas pilihan-pilihan yang tidak luput dari pertimbangan untung-rugi (kepentingan).

Menurut saya, memang al-Qur’an tejamin kebenarannya. Tapi kebenaran yang ada di dalamnya ada yang bersifat universal ada juga yang temporal. Ada yang sifatnya normative-universal ada pula praktis-temporal. Atau dalam istilahnya Amin Abdullah ada dimensi normative dan histories-nya. Artinya, dalam al-Qur’an ada teks-teks yang berlaku secara umum dalam semua tempat dan waktu ada pula teks yang pelaksanaanya sesuai dengan konteksnya tergantung waktu dan sosio-historisnya. 

Maka bagi saya kita tak perlu ribut-ribut apalagi saling menghujat antara yang fundamentalis dengan yang liberalis itu. Selain secara histories pemahaman manusia itu beragam juga karena posisi teks yang dihadapkan dengan tantangan zaman. Apalagi, Islam dalam teks-teks agamanya tidak melulu menekankan keyakinan akan teks-teks agama melainkan juga yang lebih penting pengaplikasiannya. Bukankah seringnya kita membicarakan kesalehan individu dan sosial itu di ruang-ruang diskusi saja? bukankah kita hanya sibuk dengan urusan sesat-menyesatkan saja sementara kita lupa dengan teks-teks kesosialan kita yang sebenarnya menyuruh memberantas kolusi, korupsi dan nepotisme, penyalahguanaan wewenang, pembodohan rakyat, dan penindasan kaum lemah? Itulah karena seringnya kita menganggap bahwa urusan ilmu adalah urusan teks. Dan teks harus diperdebatkan dan di yakini bukan direalitaskan.

Sains Diperhadapkan Dengan Agama

Sains adalah bentuk pengetahuan modern yang paling berpengaruh dewasa ini. kemunculannya menjelma menjadi kekuatan yang tak tertandingi. Sains bahkan dianggap telah membuat dunianya sendiri yang sering dianggap netral yaitu dunia sains. Bebas dari agama dan dogma-dogma. Jadilah, sains selalu dipertentangkan dengan agama. Paling tidak, usaha Galileo dan Copernicus yang sering dipertentangkan dengan kaum gereja semakin membuktikan bahwa agama dan sains saling beseteru, menyerang, membunuh, serta saling mematikan. Terlebih, dengan hasil-hasil penelitian yang menakjubkan seperti teori evolusinya Darwin, teori atom-nya Dalton, rekayasa genetika dan lains sebagainya telah mengganggu kenyamanan agama yang secara doctrinal bertentangan dengan penelitian itu. Meskipun, di abad 21 ini agama kembali bisa tersenyum karena Einstein muncul dengan teori relativitasnya. Tapi, apakah benar sains itu bertentangan dengan agama? Orang yang dianggap paling cerdas di abad 20 Albert Einstein penemu teori relativitas sekaligus penghancur teori kuantum menyatakan bahwa “ilmu pengetahuan hanya dapat diciptakan oleh mereka yang dipenuhi dengan gairah untuk mencapai kebenaran dan pemahaman. Tetapi, sumber perasaan itu berasal dari tataran agama. Termasuk di dalamnya adalah keimanan dan kemungkinan bahwa semua peraturan yang berlaku pada dunia wujud itu bersifat rasional. Artinya, dapat dipahami oleh akal. Saya tidak dapat membayangkan ada ilmuwan sejati yang tidak mempunyai keimanan yang mendalam seperti itu. Keterangan ini dapat diungkapkan dengan gambaran: ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan lumpuh.” Dengan ini kita bisa mengatakan bahwa sains dan agama tidak diposisikan sebagai sesuai yang bertentangan melainkan saling melengkapi (integrasi).

Menyelami Samudra Kematian Islam
Bagi Islam dan agama-agama lain. Dia tepat di depan mata kita. Paling tidak untuk menggambarkan dinamika keilmuan yang berpengaruh di era sekarang ini-saya dan kita harus mengakui-bahwa keilmuan barat yang bertumpu pada rasionalisme dan empirisme yang menjadikan manusia pusat segalanya merupakan kekuatan yang tidak tergoyahkan sekaligus menakutkan bagi Islam. Bahkan dalam realitasnya kita ditaburi berbagai penjelasan bahwa Islam kini tengah terpuruk. Pervez Hoodboy secara provokatif menggambarkan: “Cobalah anda bayangkan sebuah tim antropolog dari Mars Mengunjungi Bumi sekitar abad ke-9 dan ke-13. Misi mereka adalah untuk mempelajari evolusi kebudayaan dan social manusia. Pengamatan mereka menunjukan bahwa masyarakat tertentu sangat dinamis dan berevolusi mencapai bentuk yang lebih maju dan lebih canggih, sementara masyarakat yang lain statis dan lumpuh karena tradisi dan tatacara agama. Pengunjung dari Mars ini melaporkan kepada markasnya bahwa peradaban yang mempunyai masa depan adalah peradaban islam dengan baitul hikmah, observarium astronomi, rumah sakit dan sekolahnya. …sementara eropa dengan paus-paus palsunya, tampak semakin mundur dan biadab, tenggelam dalam kemuraman abad kegelapam..Anggaplah kini tim mahluk asing yang sama datang kembali ke zaman ini. Dengan rasa malu mereka harus melaporkan kembali bahwa ramalan awal mereka ternyata salah. Sebagian umat manusia yang pernah tampak menawarkan janji peradaban tersebut, kini tak pelak lagi tersejabak dalam kebekuan abad pertengahan. Mereka menolak yang baru dan dengan frustasi bergantung pada kejayaan silam. Di lain pihak, yang tadinya tampak mundur telah menaiki tangga evolusi dan kini menuju bintang-bintang. Apakah pembalikan peran yang menakjubkan ini, Tanya para pengunjung dari Mars, apakah hanya sekedar kesialan satu pihak dan keberuntungan pihak lain?” 

Hoodboy memang mengaitkan peradaban Islam yang dimaksud dengan perkembangan sains. Ia hendak mengatakan bahwa ketertinggalan Islam dalam bidang sains adalah karena ‘tidak dihargainya’ rasionalitas sebagaimana didewakan di dunia barat. Akibatnya, kubangan keterbelakangan dalam sains-hingga-kini belum beranjak dari jurang degradasi. Sebuah penelusuran yang menarik. Namun bukan hanya sains saja yang sekarang menjadi perbincangan hangat dan ditengarai sebagai biang keladi berbagai problem sosial. Dunia keilmuan secara umum sedang banyak diperbincangkan. Apalagi terkait dengan agama. Termasuk Islam. Keilmuan modern yang menyandarkan diri pada tradisi keilmuan barat sedang di gugat habis-habisan. Hal ini bisa dimaklumi karena manusia modern dengan pencapaian keilmuannya itu tidak hanya menemukan progressifitas melainkan juga degradasitas. 

Peradaban dan kebudayaan kini (modernitas) yang merupakan buah keilmuan modern itu berserta tatanan sosial yang dihasilkannya ternyata telah melahirkan berbagai konsekuensi buruk (problem modernitas) bagi kehidupan manusia dan alam pada umumnya; Pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek-objek, spiritual-material, manusia-alam dan lain sebagainya telah mengakibatkan objektivisasi alam secara berlebihan dan pengurasan (eksploitasi) alam secara semena-mena. Kedua, pandangan modern yang objektivitas dan positivistis telah menjadikan manusia objek dan direkayasa bagai mesin. Alhasil, kehidupan menjadi tidak begitu ramah dengan hal-hal yang manusiawi. Ketiga, positif-empiris sebagai kebenaran tertinggi yang dianut modernisme telah menyebabkan nilai-nilai moral dan religius kehilangan wibawanya. Apalagi ditambah dengan kuatnya pengaruh kapitalisme dalam keilmuan modern telah menjadikan nilai-nilai agama terpinggirkan dalam kehidupan sosial. Timbulah kemudian kekerasan, keterasingan, depresi mental dan lain sebagainya. Keempat, modernitas telah menjadikan materi sebagai kekayaan paling utama yang kemudian membuka pintu persaingan bebas lebar-lebar. Dalam kondisi inilah agama kembali terdesak; dipaksa ikut aturan pasar atau mati kutu. Sebagai kelanjutannya menimbulkan, Kelima, kembalinya militerisme dan Keenam, tribalisme. Cukupkah hanya disini? Jawabannya tidak. Sebagaimana disebutkan, virus-virus keilmuan modern tidak berhenti pada wilayah ilmu-ilmu alam atau sains melainkan juga sosial budaya. Dan dalam hal ini modernitas menjadi ancaman berbahaya bagi agama karena karakteristiknya yang hegemonik, progressivisme, base on economy, refresif, homogenik, non-teleologik, disekuilibrik, dan sekularistik.

Mengacu pada fakta ini, apakah ini berarti bahwa keilmuan modern sarat dengan kolonialisasi? Secara gamblang Michel Foucoult menyatakan:”the will to know, the will to power”. Artinya: Awalnya hendak sekedar mengetahui telah berubah dikemudian hari menjadi penancapan kekuasaan. Postkolonial itu telah merayap dari penjajahan sebelumnya yang berbentuk fisik pada penjajahan yang lebih halus melalui pengetahuan. Pengetahuan telah dikonstruksi sesuai dengan kepentingan si pembuatnya. Kemudian agama hanya dipandang sebagai bumbu masakan yang bisa memuluskan pihak yang berkepentingan menggunakan ilmu pengetahun. Agama sudah tidak ditempatkan sebagai norma yang mulia tetapi telah direduksi sesuai dengan kepentingan ekonomi-politik yang bertumpu pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Paling tidak ini tampak jelas dalam cara beragama kita akhir-akhir ini. Beragama harus sesuai dengan setelan mode jilbab. Berhibah harus sesuai dengan waktu kampanye. Menghormati dan menghargai harus berdasarkan ukuran status sosial, besar tidaknya kekayaan, hingga cocok tidaknya dengan mode. Berdakwah pun mulus kalau dikasih honor tinggi. Lupa, bahwa agama telah dijadikan barang dagangan. Di tambah lagi dengan bantuan ilmu dan teknologi, agama dijadikan aksesoris seruan-seruan para kapitalis untuk menjualkan dagangannya.

Kematian tidak selalu berarti hapus sama sekali. Kematian bisa berarti perpindahan bentuk dari yang satu ke yang lainnya. Dengan mengikuti alur logika ini, bisa jadi ke depan agama mengalami kematian itu. Agama yang akan kita temukan termasuk Islam tidak otentis lagi. Tak ada lagi seruan moral pembebasan yang dapat diandalakan sebagai agama rahmatan lil alamin. Yang ada hanyalah tradisi islam superficial. kemanakah ilmu yang membebaskan manusia dari ketepurukan itu. Disinilah problem keilmuan barat yang telah menghempaskan nilai-nilai agama. Itulah, karena ilmu tidak dicipta dan dipakai sebagai alat pengabdian kepada sang pencipta dan hanya dijadikan pemuas nafsu manusia. Jadilah problem modernitas menjadi penyakit akut yang hingga kini menghantui.
(Telah dipublikasikan di hmiekonomi.wordpress.com dan  facebook pada 27 april 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUNGA, LILIN dan MULUT

Ada yang mengirim bunga ada yang membakarnya,  Ada yang menyalakan lilin ada yang memadamkannya,  Semuanya tersulut dari mulut kebencian. ...